Hei jangan kesana....
Lewat jalan lain saja....
Hei jangan ke sanaaa...
AAAAAAAAAAAAAAA....!!!!
“Andra, lo denger teriakan barusan?”, ucapku kepada Andra
yang berdiri tepat dihadapanku.
“Hah? Ga denger gue, emang suara apa?”
“Suara cewe teriak, masa sih lo ga denger?”, dengan nada
getir Marta menambahkan perkataanku.
Andra
hanya menggelengkan kepala mendengar apa yang kami ucapkan, sepertinya dia
merasa kami sedang mengalami halusinasi ringan. Bukankah sudah menjadi hal
biasa jika tiga orang wanita sedang menyebrang jalan pasti salah satu
diantaranya mempunyai permasalahan “parno” dalam urusan sebrang menyebrang ini.
Namun kali ini sangat berbeda, aku yakin betul bahwa apa yang aku dengar tadi
bukanlah ilusi, melainkan sebuah realita nyata. Aku dapat merasakan suara getir
itu muncul dari lubuk hati, sebuah suara lirih yang membuat bulu kuduku semua
merinding.
Aku
dapat melihat wajah Marta yang pucat membisu, aku yakin dengan sepenuh
keyakinanku bahwa Marta juga mendengar teriakan lirih tersebut. Andra hanya
menggelengkan kepala melihat kami berdua yang hanya berdiri, terdiam dan
membisu di sisi jalan, hingga akhirnya ia pun mengambil inisiatif untuk
terlebih dahulu menyebrangi jalan yang sebenarnya tidak terlalu ramai ini.
Dengan penuh tenaga aku berusaha menggerakan kaki kananku namun semakin berat
aku berusaha, semakin berat juga kaki ku untuk menghentak. Aku hanya dapat
melihat Andra mulai berjalan menjauh mendekati sisi jalan yang lain, semakin
dia menjauh aku mulai melihat dia makin samar dari kedua bola mataku, lalu...
BRAAAAAAK!
Sebuah
papan reklame jatuh menimpa dirinya lalu seketika cairan kental berwarna merah
muncrat segala arah. Semua hilang sepersekian detik, semua yang terlihat
bergradasi menjadi buram dan hanya meninggalkan potongan kaki penuh darah yang mendarat tepat
di sejengkal di hadapanku.
***
Sudah
sebulan setelah kejadian menyeramkan itu dan aku sama sekali tak dapat
memalingkan ingatanku ke hal lain. Hampir tiap malam aku bermimpi Andra
mendatangiku untuk meminta tolong mencarikan bagian tubuhnya yang sebenarnya
sudah berserakan entah kemana. Alhasil belakangan ini badanku drop hingga aku
harus beristirahat di rumah dan kuliahku menjadi berantakan.
Beberapa
kali juga aku mencoba untuk menghubungi Marta hanya untuk menanyakan kabarnya.
Dari kabar yang kuterima teman teman kampus, Marta juga sering tidak masuk
kampus stelah kejadian itu. Aku yakin dia pasti mengalami depresi sama seperti yang sedang kualami
saat ini. Sebuah perasaan tidak tenang yang terdengar dari lubuk hati, seperti
suara wanita yang sedang bersenandung, ya bersenandung, di saat kau sedang
duduk terdiam sendiri di dalam kamar.
Mungkin
ini sudah kali ke-20 aku menelfon Marta dan sampai sekarang belum ada
jawaban yang aku terima. Padahal aku sangat ingin tahu apa yang dia lakukan dan bagaimana
keadaannya saat ini. Rasa penasaranku ini membuatku memberanikan diri
untuk mengunjungi Marta di rumahnya. Kebetulan rumahku dan Marta tidak terlalu
jauh, hanya 15 menit waktu perjalanan normal menggunakan mobil.
Tak
disangka jalanan nampak sepi, sehingga aku dapat lebih cepat 5 menit tiba di
depan rumah Marta. Nampaknya alam benar benar mengizinkanku untuk bertemu
dengan Marta kali ini. Namun tak biasanya rumah Marta sangat sepi, "aneh",
biasanya jam 7 malam seperti sekarang rumah besar ini masih sangat terang benderang walaupun penghuninya tidak ada di rumah. Tapi apa yang kulihat saat ini sangat tidak biasa. Suasana rumah sangat gelap hanya
remang cahaya lampu taman yang berdiri kokoh menyinari seisi rumah yang
halamannya yang cukup besar.
Aku
takut. Pikiranku mulai bercabang tak karuan. Namun, rasa penasaran yang teramat
besar membuatku ingin mencari tau bagaimana keadaan di dalam rumah bulat bergaya art deco ini. Aku
memalingkan pandangan sejenak dari rumah Marta untuk mengambil tas jinjing milikku yang kuletakan di kursi sebelah. Tiba tiba saat aku membalikan badanku untuk
melihat keadaan rumah. Aku terkejut seketika tubuhku merinding, suara suara
aneh mulai bermunculan dari dalam otaku.
Aku
melihat sesosok Andra berdiri di sebelah kaca mobilku, dia masih sangat
terlihat sangat cantik dan stylist walaupun dengan kepala gepeng yang sudah
setengah hancur itu. Aku terpaku, aku merasa terpesona melihat senyumnya
yang masih tergambar dengan sangat indah. Senyuman dari bibir mungil yang mampu
menyamarkan bahwa bagian atas kepalanya hanya meninggalkan otak yang berceceran.
Aku menggelengkan kepalaku untuk memastikan apakah yang kulihat ini nyata atau
masih bagian dari mimpiku. Dan benar saja, sesaat kulihat keadaan sekitar yang
ada hanya sunyi. Aku sedikit kecewa namun aku juga lega karna itu hanya
halusinasiku semata. Lalu dengan segera aku turun dari mobil untuk memuaskan
rasa penasarnku akan rumah Marta.
Bersambung...