Wikipedia

Hasil penelusuran

Senin, 29 April 2013

Diary of Laura




            Sayang...

Cahaya matahari yang mengintip masuk melalui teralis membangunkanku dari lelapnya cahaya bulan. Dan pagi ini aku sangat merindukanmu saat pertama kali membuka mata. Tak hanya pagi ini-- bahkan tiap detik senyumanmu selalu terbayang dari benakku. Memang, aku tak bisa menyentuh dan menjamah fisikmu namun pikiranku tak pernah mengizinkanku untuk memikirkan hal lain selain dirimu. Aku sangat mencintaimu, sayang. Dan aku sangat yakin 100% bahwa kau merasakan hal yang sama. Hemm... Benar kan kau merasakan yang sama sepertiku?

Sayang..

Sudah hampir tiga bulan aku terkurung di sini, aku sudah tak tahan lagi diperlakukan tak adil. Apa yang kau dan mereka mau dariku? Aku yang memimpin proyek Cerebral Boyd No 23 ini, tapi aku sendiri malah dikurung di sini. Sayang, tolong aku. Aku sangat menderita di sini, aku ingin bertemu denganmu, aku ingin bebas. Kumohon tolong aku...

Tiga hari yang lalu kau bisa hadir sebelum aku memutuskan untuk tidur, tapi kenapa sekarang kau tidak muncul kembali?! Katanya kau cinta padaku? Kau bilang kau akan menikahiku? Mana bukti cintamu?! Aku si jenius Laura Bates, tega kau melakukan ini padaku!

Kau hanya muncul dengan senyuman lalu kemudian menghilang. Aku tidak butuh senyumanmu sayang! Aku butuh pertolonganmu!

Suruh orang orangmu pergi sayang. Aku takut mereka kembali lagi ke sini dan memberiku obat itu. Obat yang kau beri selalu membuat kepalaku sakit, membuatku seperti terpisah dengan ragaku. Tubuhku selalu bergetar hebat tiap mengingat apa efek yang ditimbulkan obat itu. Emosiku menjadi sangat labil, aku merasa sangat sedih setelah mengkonsumsi obat itu. Aku terus menangis, padahal aku tak ingin menangis. Bola mataku sudah sangat kering karna terlalu sering mengeluarkan air mata yang berdampak perih tiap kali aku mencoba untuk tidur.

Sayang, sudah kucabut bola mataku sebelah kanan karna tak tahan dengan perih yang terus menerus muncul karna efek obat itu. Namun karna perbuatanku itu, kau sekarang memberiku sengatan listrik otomatis, yang akan muncul menyetrum tubuhku tiap kali kucoba untuk menarik bola mataku. Oh sayang... tolong aku...

Sayang...

Apa kau bisa merasakan kesakitanku? Aku sangat tersiksa di sini sayang. Ayo tolong aku, kumohon padamu tolong aku, hentikan perbuatanmu..

Oiya, kemarin aku bilang kepada Dr. Andra bahwa aku melihatmu di sini, ya aku bilang padanya bahwa aku melihatmu datang ke selku. Aku kira dia akan kaget dengan ceritaku, namun ternyata tidak. Kulihat dia tersenyum dan ekspresinya berubah sumringah ketika kuceritakan hal itu. Bahkan dia pun dengan semangat memintaku untuk segera menceritakan kejadian itu secara detail, wah aneh kan untuk wanita pembuat obat sepeti dia? Hahaha--

Lalu ia memberiku tiga lembar kertas dan sebuah pulpen, supaya aku dapat langsung menuliskan sesuatu bila aku bertemu denganmu. Sekarang aku dapat menulis seperti ini, aku senang, jadi aku dapat mencurahkan betapa aku cinta padamu dan betapa menderitanya aku karna perbuatanmu di rumah sakit jiwa ini.

Mereka mengira aku pembangkang karna tidak mau melanjutkan pembuatan obat yang mereka bilang sebagai obat masa depan, hmm tentu saja mereka salah. Aku menolak karna beberapa kali kucoba dengan dengan tikus percobaan, efek yang muncul malah sulit diprediksi. Saat tikus itu sendirian di dalam box dia hanya diam di sudut box dengan ekspresi yang sepertinya menunjukan kesedihan. Dan suatu hari karna kasihan aku memindahkan tikus tersebut ke box lain yang berisi banyak tikus tikus. Awalnya itu berlangsung baik, namun kau tau sayang apa yang terjadi 6 jam kemudian? Aku masih ingat kira kira jumlah tikus di dalam box itu sekitar seribu tikus tapi setelah itu, semua tikus dalam box mati dengan keadaan tanpa kepala malah setengahnya sudah rusak tercabik badannya. Box yang tadinya berwarna putih, berubah menjadi merah karna darah yang muncrat bercucuran. Aku terkejut melihat itu, namun yang lebih membuatku terkejut hanya satu tikus yang masih hidup, ya itu tikus yang kujadikan kelinci percobaan. Aku telah membuat monster, sayang. Aku tidak bermaksud menolak melanjutkan penelitian obat itu, aku hanya takut itu juga akan terjadi kepadaku..

Kau tau sayang...

Sebenarnya aku tidak terima diperlakukan seperti ini. Aku seorang wanita yang pintar. Aku seorang wanita yang kuat. Aku seorang pencipta jenius. Kau dan mereka, semua orang di Cerebral Boyd tidak berhak memperlakukanku seperti ini!!

Aku ini mudah diatur, kalian tinggal tegas terhadapku. Tapi tidak dengan perlakuan sampah seperti ini. Tunjukan padaku bagaimana persisnya mereka ingin penelitian itu dilakukan, maka aku akan belajar melakukannya dengan otomatis.

Sayang, jika kau pikir aku adalah hamba kalian, kau benar! Tapi sayangnya juga hamba dari semua pecundang. Dengan kejeniusanku kau dan mereka selama ini telah kujadikan besar. Tapi ingat dengan perlakuan kalian yang seperti ini, aku akan membalas dan kalian semua akan kujadikan pecundang!

Sayang..

Kumohon datanglah padaku malam ini, peluk aku, panggil namaku, hubungi aku. Aku sangat merindukanmu. Aku tak percaya dengan semua omongan pasien di rumah sakit ini. Mereka semua gila! Aku yakin kau masih hidup. Mereka bilang, aku memakanmu dan menggoreng matamu sebelum kumakan bersama tikus lab. Hah! Bagaimana bisa aku memakanmu?! Aku bukan kanibal. Jikalau aku seorang kanibal maka sudah sejak lama semua orang di sini kukuliti satu persatu dan kupanggang bersama potongan babi panggang presto favoritku----

...............................

***

        Suasana sel berubah menjadi kacau balau karna teriakan yang dikeluarkan pasien no 4 sangat kencang. Dia berteriak dengan raungan yang sangat memekakan telinga yang otomatis membuat seluruh penjaga datang berduyun duyun menuju selnya. Dan ketika membuka pintu sel, dapat terlihat ekspresi penjaga tersebut berubah 180 drajat dari takut menjadi sangat takut. Semuanya melihat bagaimana pasien no 4 telah menusuk bola matanya dengan pensil yang dia pakai untuk menulis sebuah pesan, ya yang tampaknya merupakan sebuah jurnal kecil. Darah muncrat bercucuran keluar dari mata kanannya yang sebenarnya hanya tinggal satu buah. Selain darah, sengatan listrik pun muncul memercikan panas ke seluruh kepalanya. Semua penjaga ketakukan untuk mendekat, mereka tak punya keberanian karna takut akan sengatan listrik yang muncul dari kepala pasien no 4.

            Tiba tiba sengatan listrik tersebut berhenti. Pasien no 4 terkulai lemas tak berdaya, banyak yang mengira dia akan mati namun tanda tanda kehidupan masih nampak jelas dari sel motoriknya yang menunjukan dia masih dapat bergerak.

      Pasien no 4 berdiri. Semua terkejut melihat hal itu. Tak ada satu orang pun berani mendekat. Sambil memegang matanya yang penuh darah, pasien no 4 berjalan dengan perlahan keluar sel menuju sekumpulan orang yang masih melihatnya dengan rasa takut.

            “Aku tau kalian semua melihatku!”, teriak pasien no 4.

         Suasana hening, tak ada satupun yang berani menjawab pertanyaan pasien No 4 yang berjalan dengan keadaan yang tergopoh gopoh menahan rasa sakit. Dia benar benar sangat marah sehingga rasa sakitpun tak dapat menghentikan laju jalannya. Pasien No 4 itu adalah, Antoni Malaka dia adalah pemimpin sekaligus kelinci percobaan proyek rahasia 23 “Blank Medicine”.

            “Dia merusak otakku!”, gumam Antoni dalam hati.

      Obat itu membuat kepribadian lain dalam diri Antoni. Kepribadian Laura Bates (seorang wanita psikopat yang telah membunuh ayah dan kekasih ayahnya sendiri dari New Jersey, USA) muncul dan seakan mengambil alih dirinya. Laura Bates adalah kepribadian ganda yang sangat gila dan mencintai dirinya sendiri. Laura Bates bahkan rela memotong kemaluan Antoni agar terlihat seperti wanita sempurna adanya. Bahkan Laura sampai memakan jempol kiri dan salah satu bola mata Antoni karna kelaparan. Untuk sementara, Antoni dapat bebas dari pengaruh Laura.

Dia sangat marah. Hanya satu orang yang dia tau harus bertanggung jawab atas kejadian ini, ya Dr. Andra. Dia tau ini hanya sementara sebelum Laura kembali mengambil alih tubuhnya, dalam waktu sesingkat ini dia harus bisa membunuh Dr. Andra untuk membalaskan dendam.

Jumat, 05 April 2013


The Tell-Tale Heart
by Edgar Allan Poe
1843


Memang benar! Aku gelisah, sangat-sangat gelisah pada waktu itu -- sekarang pun masih. Namun, mengapa kalian menyebutku gila? Rasa sakit menajamkan inderaku, bukan melemahkannya. Apalagi, membuatnya tumpul. Dibanding indera lainnya, indera pendengaranku paling tajam. Aku mendengar semua hal di langit dan di bumi. Aku mendengar suara di neraka. Bagaimana bisa aku disebut gila? Dengarlah! Kalian akan tahu betapa warasnya aku. Betapa tenangnya aku. Akan kuceritakan kepada kalian seluruh detail kejadiannya.

****

Sulit menceritakan bagaimana mula-mula pikiran itu menyusup dalam benakku. Namun, begitu masuk, pikiran memburuku siang malam. Tak ada niat dan aku tak ada dendam padanya. Aku mencintai orang tua itu. Ia tak pernah berbuat salah kepadaku. Juga tak pernah melukai hatiku. Emasnya pun tak kuinginkan. Kupikir yang menjadi persoalan adalah matanya. Hmm, ya, matanya! Salah satu bola matanya menyerupai mata burung pemangsa – mata yang biru dan berselaput. Setiap kali mata itu menatapku, darahku terasa beku. Dan sedikit demi sedikit -- secara berangsur-angsur -- aku membulatkan hati untuk membunuhnya. Sehingga, terbebas selamanya dari sergapan mata burung pemangsa itu.

Di sinilah pangkal soalnya. Kau akan menganggapku gila. Semua orang gila pasti tidak tahu apa-apa. Namun kau akan melihat bagaimana aku melakukannya. Kau akan melihat betapa cerdiknya aku menyelesaikan pekerjaanku -- begitu rapi, terencana. Kemudian, berpura-pura tidak tahu apa-apa. Aku menjadi lebih manis kepada oang tua itu pada seminggu terakhir sebelum aku membunuhnya. Setiap malam, menjelang tengah malam, aku memutar gagang pintu kamarnya dan membukanya -- hmm, begitu hati-hati. Dan kemudian ketika pintu kamar itu terkuak dan cukup bagiku untuk memasukkan kepala, kumasukkan lentera berkatup yang kurapatkan semua lempengan katupnya. Sehingga, tidak ada sinar yang menerobos keluar dari lentera itu. Lalu, kusorongkan kepalaku ke dalam. Oh, kau pasti terkejut melihat betapa cerdiknya aku menyusupkan kepala. Semua kulakukan pelan-pelan, sangat-sangat pelan. Sehingga, tidak mengganggu tidur orang tua itu. Kuperlukan satu jam untuk menempatkan posisi kepala sebaik-baiknya di celah pintu. Sehingga, aku bisa leluasa melihat orang tua itu berbaring di ranjangnya. Nah, bisakah orang gila melakukan pekerjaan secerdik ini? Dan ketika kepalaku sudah leluasa, aku membuka katup penutup lentera dengan hati-hati -- begitu hati-hati -- jangan sampai engsel katupnya berderit. Aku membuka seperlunya saja, cukup agar seberkas tipis cahaya bisa menerangi mata burung pemangsa itu. Dan pekerjaan seperti ini kulakukan selama tujuh malam berturut-turut, tiap datang tengah malam. Namun, selalu kujumpai mata itu tertutup. Dalam keadaan seperti itu tentu mustahil melanjutkan rencanaku. Karena, bukan orang tua itu yang membangkitkan marahku. Tapi, mata itu! Pagi harinya, di saat fajar, sengaja kudatangi kamarnya. Kuajak ia bercakap-cakap, kusapa namanya penuh semangat. Kutanya pula apa tidurnya nyenyak semalam. Dengan demikian, kau tahu, diperlukan kecerdasan tertentu pada si tua itu untuk menduga bahwa setiap malam, tepat pukul dua belas, aku selalu mengamatinya ketika ia tidur.

Pada malam ke delapan aku membuka pintu lebih hati-hati ketimbang malam-malam sebelumnya. Jarum menit jam dinding, bahkan lebih cepat ketimbang gerakan tanganku. Baru pada malam itu aku merasakan begitu besarnya kekuatanku -- begitu cerdiknya akalku. Hampir aku tidak bisa menahan luapan perasaan menangku. Membayangkan diriku sendiri sedang menguakkan pintu, sedikit demi sedikit, dan orang tua itu bahkan tidak pernah berkhayal tentang apa yang kulakukan dan apa yang kupikirkan. Aku tergeletak dengan lintasan pikiran ini. Mungkin, ia mendengar suaraku. Karena, tiba-tiba, ia menggerakkan tubuhnya seperti orang terkejut. Sekarang kau pasti berpikir bahwa aku akan mundur. Tidak! Kamarnya gelap pekat, jendelanya tertutup rapat. Karena itu, aku tahu bahwa ia tidak melihat pintu kamarnya terkuak, dan aku terus saja mendorong daun pintu itu sedikit demi sedikit.

Aku menyusupkan kepalaku ke celah pintu dan sedang membuka katup lentera, ketika jempolku tiba-tiba selip dan mengetuk lempengan penutup, dan si tua itu bangkit dari ranjangnya.

"Siapa itu?" teriaknya.

Aku mematung di tempatku dan tak mengeluarkan sepatah kata pun. Dalam satu jam aku sama sekali tak bergerak. Selama itu, pula aku tak mendengar ia merebahkan tubuhnya lagi. Ia tetap duduk di ranjangnya dan mendengarkan. Seperti aku, malam demi malam. Mendengar detak jam kematian di dinding.

Tiba-tiba kudengar erangan kecil, dan aku tahu itulah erangan yang muncul. Karena, teror kematian. Bukan erangan, karena sakit atau dukacita. Sama sekali bukan. Itu suara lemah orang tercekik. Suara yang muncul dari dasar jiwa yang diteror kengerian. Aku kenal sekali dengan suara itu. Beberapa malam, tepat tengah malam, di saat dunia terlelap, suara itu bangkit dari dadaku, menusuk-nusuk. Gaungnya mengerikan. Sebuah teror yang menggelisahkan. Kubilang aku kenal betul suara itu. Aku tahu apa yang dirasakan orang tua itu, dan turut berduka atas kemalangannya, meskipun dalam hati aku ketawa. Aku tahu bahwa matanya tak pernah lagi terpejam, sejak ia dikejutkan oleh suara yang membangunkannya. Rasa takutnya tumbuh semakin besar. Ia coba menenangkan diri, tapi tidak bisa. Ia yakinkan dirinya sendiri, "Tidak ada apapun, hanya angin di cerobong asap – hanya tikus yang merayap," atau "hanya jangkrik yang mengerik." Ya, ia mencoba menenangkan diri dengan dugaan-dugaan seperti itu, tapi sia-sia. Sia-sia; sebab maut yang menguntitnya diam-diam kini telah mengepung korbannya dengan bayang-bayang hitam. Dan efek muram bayang-bayang yang tak tampak itulah yang menyebabkan ia merasakan -- bukan mendengar atau melihat. Namun merasakan -- kehadiran kepalaku di kamarnya.

Setelah cukup lama menunggu, dengan sangat sabar, tanpa mendengar ia membaringkan kembali tubuhnya, maka kubuka sedikit -- sedikit sekali -- katup lentera untuk membuka celah kecil. Kau takkan bisa membayangkan betapa hati-hatinya aku membuka katup itu. Sehingga, akhirnya seutas cahaya, setipis sulur benang laba-laba, memancar dari celah lentera dan jatuh tepat di mata burung pemangsa itu.

Mata itu terbuka, begitu lebar. Amarahku bangkit ketika melihat mata itu terbuka. Jelas sekali kulihat -- mata biru berkabut, dengan selaput yang mengerikan, yang menusukkan hawa dingin di sumsum tulangku. Namun, sama sekali tak kulihat wajah orang tua itu: sebab seolah dibimbing oleh naluriku, cahaya lentera kuarahkan tepat pada bulatan mata keparat itu.

Jadi, bukanlah yang kau sebut gila itu sesungguhnya adalah inderaku yang begitu tajam? Sekarang aku mendengar suara lemah, samar-samar, berdetak dalam tempo cepat seperti detak jam yang terbungkus kain. Aku kenal betul suara itu. Ialah bunyi detak jantung orang tua itu. Kemarahanku memuncak, sebagaimana keberanian seorang serdadu naik, karena pukulan genderang.

Kendati demikian aku masih menahan diri. Kutahan napasku. Kujaga lentera di tanganku. Kujaga agar sinarnya tetap jatuh ke matanya. Sementara detak jantung terkutuk itu temponya semakin meningkat. Makin lama makin cepat, dan makin keras. Ketakutan si tua itu, pastilah luar biasa! Suara itu makin keras, kubilang, bertambah keras setiap saat. Kau catatkah omonganku baik-baik? Telah kukatakan kepadamu bahwa aku gelisah: begitulah yang kurasakan. Dan sekarang pada jam kematian malam itu, di tengah kebisuan yang mencekam di rumah tua itu, dentam aneh itu menyiksaku layaknya sebuah teror yang tak tertanggungkan. Aku masih menahan diri beberapa menit dan tetap tak beraksi. Namun, dentam itu makin memekakkan. Kupikir jantungnya pasti segera meledak. Dan sekarang aku merasakan kecemasan baru -- para tetangga pasti akan mendengar bunyi itu! Tiba sudah waktu bagi si tua! Dengan teriakan keras, aku membuka semua katup lentera dan merangsek masuk ke dalam kamar. Sekali ia memekik, hanya sekali. Dalam sekejap aku menyeretnya ke lantai dan membekapnya dengan kasur tebalnya. Setelah itu, senyumku mengembang, semua pekerjaan beres. Bermenit-menit jantung itu masih berdetak samar-samar. Namun, tak lagi membuatku jengkel. Suaranya takkan mampu menembus dinding. Akhirnya bunyi itu berhenti. Si tua mati. Aku mengangkat kasur dan memeriksa mayatnya. Ya, ia sudah mati. Matanya takkan menyusahkan aku lagi.

Kalau masih kau anggap gila aku, anggapan itu tak akan berlaku lagi bila kulukiskan apa yang kulakukan untuk menyembunyikan mayatnya. Malam melarut, dan aku mengebut pekerjaanku, tanpa suara. Pertama-tama kumutilasi mayat itu. Kupenggal kepalanya, kedua lengannya, dan kedua kakinya.

Kemudian, kubongkar tiga bilah papan lantai kamar itu dan kumasukkan potongan-potongan tubuhnya ke dalam rongga di bawah lantai kamar. Setelah itu kukembalikan lagi papan lantai seperti semula, begitu sepele, begitu rapi. Sehingga, tak satupun mata -- termasuk mata si tua itu -- yang menemukan adanya kejanggalan. Tak ada yang perlu dicuci. Karena, tak ada ceceran noda apa pun. Tak ada bercak darah sekecil apa pun. Aku sangat waspada terhadap semua itu. Bak mandi sudah menampung semuanya. Ha! Ha!

Jam empat pagi semua pekerjaanku selesai sudah. Hari masih gelap seperti tengah malam. Bersamaan dengan dentang lonceng jam, terdengar ketukan di pintu depan. Aku turun dengan perasaan ringan. Apalagi, yang perlu ditakutkan kini? Kubuka pintu, tiga orang lelaki masuk. Mereka memperkenalkan diri dengan sangat sopan sebagai petugas-petugas kepolisian. Seorang tetangga mendengar pekik si tua itu semalam. Menduga ada tindak kejahatan, ia melapor kantor polisi. Dan mereka (para polisi itu) ditugasi untuk melakukan penyidikan atas kecurigaan si tetangga.

Aku tersenyum. Apalagi, yang perlu ditakutkan? Dengan ramah kupersilakan mereka masuk. Pekik itu, kataku, keluar dari mulutku di saat mimpi. Kujelaskan kepada mereka bahwa si orang tua sedang tidak di rumah. Lalu, kubawa mereka melihat-lihat seisi rumah. Kupersilakan mereka memeriksa -- memeriksa dengan teliti. Akhirnya, kubawa ketiga orang itu ke kamar si tua. Kuperlihatkan kepada mereka barang-barang berharga miliknya. Semua aman, tak tercolek. Dengan kepercayaan diri yang melambung, aku mengusung kursi-kursi ke dalam kamar itu. Dan meminta mereka untuk melepas lelah di tempat itu. Sementara aku sendiri, dalam gelegak keberanian, karena kemenangan yang sempurna, meletakkan kursiku tepat di atas tempat aku menyimpan mayat si tua.

Para petugas merasa puas. Perlakuanku meyakinkan mereka. Aku sendiri merasa tenang. Mereka duduk. Sementara aku menjawab pertanyaan-pertanyaan dengan keseharian yang normal. Tapi, sebentar kemudian aku merasa parasku memucat dan berharap agar mereka segera pergi. Kepalaku pening, dan aku merasakan penging di telingaku. Namun, mereka tetap duduk dan bercakap-cakap. Suara penging itu makin jelas: terus-menerus dan makin jelas. Aku bicara lebih keras untuk mengusir perasaan itu. Namun, suara penging itu terus saja dan makin pasti. Sampai akhirnya aku sadar bahwa suara penging itu bukan di dalam telingaku.

Parasku, aku yakin makin memucat. Namun, bicaraku lebih fasih dan lebih lantang. Suara penging itu "bangkit". Aduh, apa yang bisa kulakukan? Kudengar suara lemah, samar-samar, yang berdetak dalam tempo cepat. Seperti, detak jam yang terbungkus kain. Napasku tersengal. Namun, para petugas itu tidak mendengarnya. Bicaraku lebih cepat, lebih meyakinkan. "Bebunyian" keparat itu makin kuat. Aku bangkit dan mendebat segala topik pembicaraan yang sepele, dalam nada tinggi dan gerak tubuh yang kasar. Dan bunyi itu terus menguat.

Mengapa mereka tidak mau pergi? Aku mondar-mandir dengan langkah panjang dan menghentak. Seolah-olah merasa terganggu oleh pemeriksaan yang mereka lakukan. Tapi, bunyi keparat itu terus menguat. Ya, Tuhan! Apa yang bisa kulakukan? Aku meradang. Aku meracau. Aku mengutuk! Kuangkat kursi yang kududuki dan kuhempaskan benda itu ke lantai papan. Namun, kegaduhan yang ditimbulkanya tertelan oleh bunyi detak keparat yang terus menguat itu. Suara itu makin kencang, makin kencang, makin kencang! Para petugas, tetap melanjutkan percakapan seperti tak terjadi apa-apa. Mereka cuma tersenyum. Bagaimana mungkin mereka tidak mendengar suara itu? Demi Tuhan! Tidak! Tidak! Mereka juga mendengar. Mereka curiga. Mereka tahu! Mereka pasti sedang menemoohkan ketakutanku. Kupikir begitu. Cara lain kurasa jauh lebih baik dari siksaan seperti ini! Cara lain apa pun lebih bisa ditanggungkan daripada pelecehan ini! Aku tidak kuat lagi melihat senyum pura-pura mereka. Aku merasa bahwa aku harus berteriak. Atau aku mampus! Dan sekarang, bunyi itu lagi. Dengar! Makin kencang. Makin kencang. Makin kencang!

"Jahanam!" aku memekik, "tak usah berpura-pura lagi! Aku yang melakukan semuanya! Bongkar saja papan ini di sini, di sini! Di sinilah dentam jantung keparat itu!"

Selasa, 02 April 2013

Whisper 2 - Tamat



“Tok.. Tok..”

Dengan pelan aku mengetuk pintu rumah Marta. Keadaan yang sepi dan gelap gulita membuatku takut. Hal yang kutakutkan bukanlah hantu atau dedemit melainkan manusia, bagaimana jika tiba tiba muncul pencuri atau siapalah, bisa habis aku diculik atau mungkin diperkosa oleh para pria bejat. Sama sekali tak ada sautan dari ketukanku, aku berhenti sejenak untuk berpikir sebaiknya apa yang harus kulakukan. Aku melihat kekanan dan kiri untuk memastikan keadaan sekitar, aku merasa seperti ada yang memperhatikanku. Semuanya seperti tertuju kearahku.

“Tok... Tok...”, aku mengetuk pintu untuk kali kedua dan juga sama sekali masih tak ada jawaban muncul dari dalam kediaman Marta. Aku makin penasaran dan makin ingin mencari tau apakah ada orang di dalam rumah atau tidak. Di sebelah kanan pintu ada sebuah jendela berukuran besar, aku perlahan mendekat kearah jendela lalu mencoba mengintip dari jendela berdiri besar itu, namun tak ada apapun ketemui. Sepanjang penglihatan yang aku lihat dari jendela tak ada satupun yang jelas, tak adanya lampu dan gorden yang menjuntai membuat semuanya hitam pekat. Aku memalingkan pandanganku dari jendela kembali ke pintu rumah, mulanya dengan pelan aku mendorong mencoba membuka pintu rumah tapi sia sia. Pintu rumah dikunci, walau kudorong dengan penuh tenaga pun rasanya percuma. Aku terdiam sejenak untuk berpikir apa yang harus kulakukan sekarang tapi yang ada di pikiranku hanyalah menelfon Marta. Namun untuk kali ini entah kenapa aku mempunyai firasat bahwa telfon ini akan memberikan sebuah jawaban.

“Ah.. Anjir”, gumamku dalam hati. Firasatku benar benar sampah. Sudah 5 kali aku mencoba menelfon Marta namun tak ada jawaban darinya, malah di ditelfon terkhir tiba tiba telfonnya mati seperti sengaja untuk di non aktifkan. Entah kenapa aku merasa seperti di permainkan oleh Marta, padahal kenyataannya aku datang kemari atas kesadaranku sendiri. Tapi tetap saja, ini adalah hal yang cukup tai yang pernah kulakukan seumur hidupku. Datang kerumah orang sendirian malam malam, sedangkan si pemilik rumah entah kemana rimbanya, kurang tai apa lagi?? “Pulang. Ya, aku harus pulang sekarang., hanya kata kata ini yang terlintas di kepalaku.

Iya pulang saja...

Ngapain di sini...

Pulang sajaa...

Aku berhenti berjalan. Aku terdiam di tempat. Suara wanita itu muncul lagi, muncul lagi! Kali ini seratus persen aku yakin bahwa sumber suara itu tepat muncul dari belakangku. Suara yang merasuk sampai kedalam tulang dan otakku. Keadaan menjadi merinding, oh, aku tak sanggup membayangkat apa yang ada di belakangku saat ini. Desiran suara asing yang terdengar lirih itu seakan mulai merobek gendang telingaku. Aku mencoba untuk menggerakan tubuhku, namun tenagaku seakan kalah oleh rasa takut yang timbul dari alam bawah sadar. Aku memacu waktu, aku mempercepat jalan pikiranku. Suara itu makin mendekat, mendekat dan mendekat. Aku mulai merasa ada sesuatu yang menempel dan menekan pundakku. Ya Tuhan.. apa itu.....

“Kriiiing... Kriiiiing....”

Dari dalam tas tiba tiba handphone ku berdering dengan cukup keras. Seketika aku tersadar dan mendadak tubuhku dapat digerakan kembali. Suara handphone yang meraung raung makin keras membuatku lupa akan keinginanku untuk memastikan apa yang ada di belakang tadi. Dengan sibuk aku mencari handphone ku untuk mengankat telfon yang berdering ini, seketika kuambil aku kaget bukan kepalang melihat siapa yang menghubungiku. Nama Martha muncul di layar, tanpa berpikir panjang aku langsung mengangkat telfon dengan penuh emosi.

“Halo! Lo dimana?!”, teriaku penuh amarah.
...........

Hening terdengar dari ujung telfon, Marta tak menjawab apa yang kutanyakan. Aku langsung melihat hp ku untuk memastikan apakah telfon tersebut masih terhubung. Dan benar itu masih terhubung. Mendadak aku kembali ketakutan, tubuhku merinding tak karuan.

“Halo Mar? Lo di sana kan?”, aku mulai memelankan tempo suaraku.

“Iya..”, dari ujung telfon suara Marta terdengar halus dan lembut sangat berbeda dari biasanya.

“Lo dimana?”
...........

Kembali hening muncul ke permukaan, suara Marta kembali menghilang. Keringatku mulai bercucuran dari kepala, mataku mulai berkunang kunang. Saat ini aku benar benar sangat takut, takut setakut takutnya.

“Gue balik ya Mar, gue takut...”, ujarku dengan suara pelan.

“Mau kemana? Ayo masuk ke rumah..”, suara Marta tiba tiba muncul kembali, suaranya yang lembut dengan tempo pelan makin membuatku ingin pulang. Aku langsung mematikan telfon tersebut, aku benar benar takut.

Rasa penasaran yang cukup kuat membuatku menoleh kearah rumah, hanya untuk sekedar memastikan apa yang telah terjadi. Namun aku terkejut dengan apa yang kulihat, rumah yang tadinya terkunci rapat kini pintunya telah terbuka lebar walaupun dengan keadaan yang masih gelap gulita. Tanpa diperintah aku berjalan menuju rumah Marta, akupun tak tau kenapa aku yang tadinya ingin pulang malah berjalan menuju dalam rumah Marta. Dengan wajah pucat dan keringat yang bercucuran, aku berjalan dengan cukup cepat menuju kedalam rumah, detik per detik pun bergerak sangat cepat. Aku sangat takut tapi aku tak kuasa menghentikan jejak langkahku yang seperti sedang digerakkan oleh sesuatu. Sesuatu yang sebenarnya aku sendiri tak tau itu apa.

Di depan pintu rumah aku masih disambut dengan keadaan gelap nan mencekam. Hanya bedanya kali ini persentase kengeriannya naik 100%, pintu rumah yang terbuka membuat aku dapat melihat keadaan rumah yang sangat berantakan. Berantakan dan sangat tak teratur, sepertinya ada dua gerobak sampah yang baru saja membuang sampah kesini. Sangat bau dan tidak nyaman.

“Mar.. Mar...”, aku mulai memanggil nama Marta untuk memastikan apakah benar yang dia katakan di telfon tadi. 1 menit berlalu, 2 menit berlalu masih juga belum ada jawaban yang kuterima. Bau sampah ini benar benar membuatku jijik dan membuatku tak dapat menahan diri lagi untuk segera meninggalkan tempat ini, tapi lagi lagi kaki ku yang tak dapat digerakkan hanya membuatku diam tak melakukan sesuatu.

Tiba tiba di dalam kegelapan ini aku melihat sebuah cahaya yang nampaknya sebuah lilin, makin lama makin mendekat. Cahaya itu makin mendekatiku membuatku benar benar panas hingga keringat kembali bercucuran dari ubun ubun kepalau. “Cahaya itu mendekat, cahaya itu mendekat!”, gumamku dalam hati. Perlahan namun pasti aku melihat sebuah wajah, sebuah wajah yang sedang membawa cahaya lilin itu. Wajah yang tak asing bagiku, wajah yang sangat aku kenal. Ya benar itu wajah Andra. Oh Tuhan apa aku berhalusinasi lagi, oh Tuhan jangan lakukan ini padaku sekarang. Aku takut.

Wajah Andra yang menyeringai tajam dengan tatapan kosongnya perlahan mendekat padaku. Namun kali ini wajahnya masih lengkap, tidak hancur seperti bagaimana dia mati. Aku yakin ini halusinasiku lagi, bagaimana mungkin Andra yang aku yakin 100% telah mati, sekarang malah muncul di hadapanku dengan sebuah lilin kecil yang dibawanya. Kini aku dan Andra berdiri saling berhadapan, aku ingin memeluknya, aku merindukannya tapi rasa takut yang amat sangat membuatku menghilangkan niat itu. Wajah Andra pucat pasih tanpa ekspresi dia hanya diam sambil melihat wajahku yang sebenarnya sudah sangat takut.

“JREEEB!”

“Oh Tuhan. Oh Tuhan. Ohhhh Tuhan. Ada apa ini?”. Aku merasalan sakit yang amat sangat di dadaku, aku tak mengerti apa yang terjadi. Tiba tiba ada sebilah pisau dapur menacap kuat di dadaku. Darahku mengucur, aku mulai merasakan pusing. Mataku kabur tak karuan. Tapi aku masih melihat Andra memegang pisau tersebut dan makin menancapkannya di dadaku. Aku tak mengerti kenapa ini terjadi, “SAKIIIIIIT!”, aku ingin berteriak dengan kencang namun mulutku tak dapat digerakkan. Oh Tuhan! Tuhan! Ada apa ini?! Ini sakit. Sakit!! Sakit!! SAKIIIIIT! Ya Tuhan kenapa kau tega?!!!

Pandanganku kearah Andra makin kabur dan semu. Rasa sakitnya sudah mulai hilang. Aku dapat merasakan tubuhku mulai kehilangan kontrol atas diriku. Inikah rasanya mati itu? Aku belum siap untuk mati..

***

“Bagaimana sudah beres?”

“Iya, sudah.”

“Sulit juga manipulasi otak itu.”, ujar Andra seorang wanita berambut pendek kepada Marta yang berdiri di sebelahnya.

S, seorang pasien rumah sakit jiwa yang kabur akhirnya telah kembali lagi ke habitatnya sebagai orang tidak waras. Sudah 2 bulan X kabur setelah membunuh salah satu suster rumah sakit dan mengambil seluruh barangnya termasuk kunci kontrakan dan sebuah handphone. Hingga akhirnya sebuah chip yang memang telah ditanam di kepala setiap pasien membuatnya kembali lagi ke sebuah rumah sakit jiwa yang dikelola secara misterius oleh pemerintah ini. 
Dany Cerebral Boig Hospital atau yang biasa disebut DCB berdiri dipinggir kota, tepat setelah melewati hutan tropis yang terkenal dengan fenomena bunuh diri masal tahun 1989.

DCB dilabeli sangat rahasia oleh pemerintah. Karna dibalik cover nya sebagai rumah sakit jiwa, di sana juga merupakan tempat uji coba sebuah chip buatan nazi sejak perang dunia kedua. Sebuah benda kecil berbentuk sebesar sim card yang gunanya hanya untuk menyiksa musuh secara psikis dengan cara memainkan cara berpikir otak terhadap objek yang akan dilihat subjek. Praktisnya, chip ini dapat membuat kita mengatur apa yang harus dilihat dan dilakukan oleh orang tersebut, dulu biasa disebut Puppe Project oleh para Nazi. Cara penggunaan chip tersebut, dikontrol dari sebuah komputer dengan menggunakan aplikasi khusus. Sebenarnya project ini sudah dilarang pemakaiannya, namun secara rahasia praktek dan uji coba chip ini masih berjalankan di DCB. Ya, dengan pasiennya sebagai kelinci percobaan.

“Tapi dia tak akan mati kan?”, ujar Marta dengan nada suara yang sedikit takut.

“Tidak, dia hanya mati dalam pikirannya tapi badannya masih tetap hidup.”, Andra menjawab dengan tenang, pelan namun pasti.

Marta terdiam sejenak namun dia langsung berinisiatif untuk menggotong tubuh X, lebih tepatnya pasien dengan kode X. Dia bermaksud untuk membawa X kembali kedalam ruangan kamarnya.

“Aku sudah sering membuatnya merasakan mati.. emm.. kalo seingatku ya.. ya mungkin udah 6 kali dia kubuat mati.. hehee..”, tiba tiba Andra melanjutkan perkataannya dengan penuh semangat, wajahnya yang tadinya tenang kini berubah 100%  layaknya seorang anak kecil yang baru saja mendapatkan mainan baru.

Marta tidak membalas perkataan Andra, dia merasa kotor dan hina. Namun dia pun tak punya kuasa untuk melawan. Andra tak terlihat tertarik membantu Marta walaupun hanya untuk sekedar memapah X. Dia lebih tertarik untuk melihat sambil memilih pilih foto foto semua pasien DCB yang teletak diatas meja kerjanya yang diiringi dengan seringaian kecil dari bibirnya.

“Hei Marta!”, kembali Andra memanggil Marta yang sebenarnya sudah tak tertarik dengan pembicaraan ini.

“Chip itu bisa membuat kita menjadi Tuhan, kau harus mencobanya hahaha!”, tawa lantang yang memecah sunyinya suasana membuat suasana ruangan kotor ini menjadi makin kotor dan menjijikan.

TAMAT