Wikipedia

Hasil penelusuran

Jumat, 24 Mei 2013

Delivery Man - Part 1


“Cepat! Cepat! Dan cepat!” Cuma itu yang aku pikirkan saat ini melihat keadaan kota yang padat karna penuhnya orang orang dengan kendaraannya yang berlomba untuk mencapai garis finish. Tapi pemikiranku ini sebenarnya sudah terlalu mainstream untuk semua orang di dunia ini, apalagi mereka yang mulai melakukan aktifitas pada senin pagi. Semua orang di kota megapolitan ini kerjanya rata rata cuma cari duit duit dan duit kalaupun ada yang lain, ya paling cari masalah yang nantinya bakal balik lagi ke duit juga. Maka tak heran semua orang di kota ini geraknya cepat, karna kalo tidak cepat ya duitnya bakal keburu diambil sama orang lain.

Di kota ini kita memang harus berlomba dengan ratusan orang untuk berangkat ke gedung gedung tinggi di pusat kota yang biasanya disebut dengan kantor. Ya kantor, yang selalu jadi tujuan semua orang untuk menghidupi diri dan juga dipakai sebagai simbol kesuksesan. Walaupun sebenarnya kesuksesan itu bukan hanya hasil kerja keras kita sendiri tapi juga ada andil jasa dari Tuhan, ya bisa dibilang takdir.

Dan juga di kota ini jangan harap mudah mendapatkan taksi untuk pergi ke pusat kota, tak jarang orang malah memesan taksi pada hari minggunya supaya tidak kehabisan taksi menuju kota. Itulah nasib jika harus kerja di pusat kota. Walaupun sebenarnya aku tidak bekerja di pusat kota tapi kenyataannya saat ini atau pagi ini aku juga sangat terburu buru, tapi berbeda dengan orang lain. Jika banyak orang meninggalkan apartment nya untuk bekerja ke pusat kota, aku justru sekarang malah sedang menuju ke apartment yang ada di pinggiran kota. Sebenarnya jalan menuju pinggaran kota sangat lancar tapi karna kesalahanku yang kesiangan, jadinya malah sekarang waktunya sudah sangat mepet. Jam tanganku sudah menunjukan pukul 6. 45 sedangkan aku janji temu pukul 7 tepat. Dengan harap harap cemas aku menggeber vespa jadulku hingga tak terasa apartment yang akan kutuju sudah terlihat penampakannya, sekitar 1 km lagi dari tempatku sekarang.

“Sampai!” Ucapkan dengan penuh membara ketika sudah memarkirkan vespaku di basement apartmen yang sebenarnya kuparkir di sebelah motor satpam. Apartmen sebesar Stadion Emirates ini tidak menyediakan parkir untuk motor dan kabarnya kendaraan termurah yang pernah parkir di sini adalah mobil Toyota Camry. Turun dari motor, aku langsung saja bergegas pergi ke lantai 19 apartment ini, karna sangat terburu buru aku sampai lupa menanyakan suatu hal yang penting kepada satpam berperut buncit dan berkumis tebal yang tadi mengizinkanku memarkirkan motor di sebelah motornya.

“Pak numpang tanya, toilet dimana ya?”

“Kalo di sini ga ada de, paling adanya toilet saya itu di sebelah.”

“Yaudah gapapa pak, saya pake dulu ya.”

Dalam 10 menit aku sudah keluar dari toilet dengan setelan jas lengkap dengan satu buket bunga yang kupegang erat di tangan kananku. Dengan bergegas aku berlari menuju lift dengan segera ke lantai 19, sesekali aku melihat jam tangan yang sudah menunjukan pukul 7.23. “Sudah telat 23 menit.”, pikirku dalam hati. Tak terasa pintu lift sudah terbuka, berasa sangat cepat berada dalam lift rasanya seperti ngupil di tempat umum yang sepi. Dengan teliti aku mencari kamar 1918, makin dekat kamar yang kutuju makin berdebar detak jantungku. Dan benar sekali! Gugup itulah yang kurasakan saat ini, rasa gugup yang seakan membuat indraku bekerja menjadi lebih tajam seolah sayup sayup aku sedikit mendengarkan rintihan “ah... ah... ah... kemochi”, oke lupakan mungkin ini cuma hayalan cabulku karna tontonanku semalam yang menyebabkan aku kesiangan sehingga telat seperti ini.

Aku sekarang sudah berdiri di depan pintu berwarna coklat yang bertuliskan angka 1918. Sejenak aku memandangi pintu itu untuk mengumpulkan kepercayaan diri dan sekedar merapikan jas hitamku yang sebenarnya masih sangat rapi karna baru saja kuambil dari laundry. Aku menarik nafas panjang kemudian memberanikan diri mengetuk pintu dengan pelan. Kuketuk tiga kali namun belom ada tanggapan dari si empunya apartment, aku diam sejenak dengan memegang erat bunga mawar putih di tangan kananku. Aku mulai berpikir apa tidak ada orang di sini, karna ini hari senin mungkin saja orangnya sedang pergi ke kantor. Namun aku masih ingin mengetuk lagi tapi kali ini dengan sedikit keras, mungkin saja tadi ketukanku agak pelan sehingga tidak terdengar orang yang berada di dalam.

“Iya sebentar..”

Baru ketukan pertama tiba tiba terdengar suara seorang wanita dari dalam kemudian pintu terbuka sehingga aku dapat melihat dengan jelas wanita oriental berambut pendek sebahu yang tingginya kira kira sepundak denganku. Aku sempat terpana sepersekian detik bingung harus berbuat apa karna melihat kecantikan dan kaos leher rendah yang dikenakannya yang membuatnya terlihat sexy.

“Ini..”

Dengan suara terbata aku segera menyerahkan buket bunga kepada wanita cantik yang berdiri di depan pintu itu, walaupun sebenarnya dia lebih tepat jika dikatakan wanita manis yang sekilas mirip Aoi Sora.

“Buatku? Oh, makasih.”, jawab wanita itu diiringi dengan senyum lebarnya.

Aku terdiam melihat wanita itu nampak senang memeluk dan menciumi bunga tersebut. Kemudian aku langsung teringat apa yang harus kulakukan sekarang. Aku sedikit mundur tiga langkah kebelakang dan kemudian...


        Paint my love
        you should paint my love

       Nyanyianku membuat wanita tersebut langsung mengalihakan pandangannya kearahku, aku menjadi sedikit takut namun hanya wajah seribu muka yang bisa kulakukan sekarang dan segera melanjutkan nyanyian agar rasa malu ini segera berakhir.“Benar benar memalukan.”,gerutuku dalam hati.



      It's the picture of thousand sunsets
      It's the freedom of a thousand doves
      Baby you should paint my love

     Aku bernyanyi dengan suara yang paling bagus dan diiringi dengan tarian kecil sebagai penunjang perform. Meskipun sudah berusaha maksimal tapi tetap hanya menghasilkan suara yang terdengar seperti suara seorang nenek yang sedang meneriaki cucunya agar tidak mencuri celana dalam miliknya sambil horse dance yang sedang terkenal itu. Tapi aku saat ini tidak sedang horse dance, aku hanya menari tarian kecil layaknya backing vokal yang sedang sok asik bernyanyi sambil menghentakan jari yang terlihat sangat atraktif.

       Since you came into my life
       The days before all fade to black and white
       Since you came into my life
       Everything has changed

      Akhirnya pertunjukan pun selesai setelah aku selesai menyanyikan bagian chorus lagu tersebut diiringi dengan tarian memutar Elvis Presley. “Akhirnya kelaaaar!”, ucapku dalam hati yang rasanya ingin kuteriakan dengan sangat lantang.

      “Lagu ini... Sweeeeet...”

       Dengan berlinang air mata haru, wanita manis tersebut langsung memeluku dengan erat sehingga aku dapat merasakan lekukan tubuhnya yang lumayan montok menantang dan sedikit menghangatkan tubuh dan suasana yang tadinya sedikit kaku.

      “Oh maaf aku terbawa suasana..”, ucap wanita itu sambil mengelap air mata yang bercucuran dari mata kecilnya.

       “Gapapa kok..”, jawabku dengan tersipu malu.

     Aku tersenyum membalas perkataan wanita itu. Kemudian aku teringat sesuatu yang masih kusimpan dalam tas ransel yang kuletakan disebalahku. Aku mencari cari sesuatu yang lupa kuletakan di bagian mana, tapi wanita itu masih sibuk melihat bunga dan mengusap air mata dengan tissue yang sudah dia siapkan sendiri. Akhirnya aku menemukan sepucuk amplop kecil berwarna biru muda yang langsung kuserahkan kepada wanita itu. Belum sempat aku menyerahkan amplop tersebut, wanita itu dengan cepat mengambil amplop tersebut. Kecepatan wanita itu persis seperti ibu kos yang mengambil uang bayaran kos bulanan, sangat cepat dan tepat sehingga mengakibatkan tanganku memar karna terkena kukunya. Tapi yang kulihat wanita itu tidak peduli denganku, dia hanya tertuju pada sepucuk surat yang baru saja keluar dari dalam amplop.


Dear fanie
Maaf hari ini aku ga bisa datang di anniversary 5 tahunan kita
Meskipun aku sibuk dengan pekerjaanku tapi ini kulakukan semua hanya untukmu
Untuk perkawinan kita
Untuk masa depan kita

Dan...

Semoga mawar dan lagu ini dapat menyegarkan pagimu hari ini
Sebagaimana setangkai mawar putih dapat menyatukan kita 5 tahun lalu dengan lagu ini sebagai saksi dimulainya kisah kita...


Your love
Kevin Waluyo


    Dengan lantang wanita manis yang baru kuketahui bernama fanie tersebut membacakan isi suratnya. Sebenarnya aku sangat tidak ingin tahu dan tidak ada kepentingan dengan urusan dia dan pacarnya yang bernama Kevin, yang memberikanku tugas. Aku hanya agen Delivery Man dan tugasku hanyalah menyampaikan pesan dari klien sesuai request.

    Seketika perasaan bete menyelimutiku. Senin pagiku serasa runtuh karena bokep semalam dan kisah anniversary wanita aneh yang ingin segera menikah, dan dia baru saja menyakitiku pergelangan tanganku karna kukunya yang tajam. Tidak hanya itu, kelakuan si Kevin yang ntah ada dimana dan menyuruhku menyanyi dan menari seperti Roger Milla saat merayakan gol di world cup 94, sangat membuat tidak nyaman. Resiko Delivery Man memang beragam tiap harinya kadang di dapet pelukan, ciuman, namun sering juga dapet apes seperti yang baru aja aku alami. Disaat seseorang senang malah aku yang merana, pagiku dimulai dengan nasib yang buruk. Apeeeees.


                                               ****

      Pukul setengah sepuluh pagi akhirnya sampe juga aku di kantor. Sebenarnya letak kantorku hanya berjarak tiga blok dari apartment tadi, tapi karna tadi tugasnya harus pagi pagi sekali makanya aku jadi keteteran apalagi jarak rumah kos ku yang berada di perbatasan kota yang ditempuh 45 menit naik vespa bututku. Dengan muka melipat karna tak diberi uang tip aku memasuki kantor yang sebenarnya tidak terlalu besar ini. Kantor ini hanya memiliki tiga lantai saja dengan duapuluh karyawan yang semuanya lelaki. Makanya orang orang sering menyebut kantorku ini dengan sebutan “Diman”, padahal sudah jelas terpampang di depan kalau kantor ini bermana Delivery Man atau biasa disebut D- Man yang diperjelas juga dengan tagline “we will make you happy” yang terbukti ampuh dalam menghipnotis pasangan di kota ini. Lantas kenapa disebut Diman? Jelas bagiku ini konspirasi untuk menjatuhkan merk dagang kantorku yang unik ini karna harusnya dibaca “Di- Men”.

        Kenapa bisa aku bilang unik? Kantor ini membebaskan karyawannya dalam berpakaian, tidak ada aturan yang mengharuskan berpakaian seperti layaknya pegawai negri yang kaku dan sangat pucat dari segi pemilihan warna bahan safari yang dikenakan, so old school. Dan ditambah lagi semua yang ada di kantor ini adalah lelaki yang uniknya lagi dengan usia yang bervariasi ada yang paling tua berusia 58 tahun dan yang paling muda 25 tahun dan itu adalah aku sendiri. Ya rasanya memang seperti berada di asrama lelaki, hal itulah yang kadang membuatku merasa bersyukur atas keberadaan bokep di dunia ini, setidaknya "benda itu" sampai saat ini dapat membuatku tidak menjadi homo.

     “Elf, gimana tadi? Asik?”, ucap seorang pria pendek paruh baya yang sudah mulai beruban yang berpapasan denganku saat akan meaniki lift.

       “Awalnya aku dipeluk.”, kataku.

       “Terus gimana?”, balas pria tersebut dengan semangat.

       “Aku dicakar terus ga dikasi uang tip, sial.”, gerutuku.

      Tawa nyaring keluar dari mulutnya, yang hanya dapat kubalas dengan menajamkan alis mataku tanda sedikit tertanggu dengan apa yang dia lakukan.

     “Ya sudah aku pergi dulu mau nganterin paket.”, ucapnya masih dengan menahan tawa karna ceritaku tadi, tawa ringkih pria tua yang sebenarnya cukup tajam bagai jarum yang siap menembus gendang telingaku.

         “Semoga aja nanti kejadian juga sama kamu.”, balasku diiringi dengan senyum lebar.

         “Liat aja, taruhan 20 sen!”

         Aku tersenyum mendengar jawaban dari Zes. Ya begitulah pria pendek paruh baya tadi di ku panggil, bukan hanya aku tapi juga seluruh orang di kantor ini memanggilnya begitu, Zes yang berarti enam dalam bahasa Belanda. Sedangkan aku sendiri adalah Elf, semua orang di sini memanggilku dengan sebutan seperti itu. Sebuah kata dengan makna ganda bisa berarti peri, mobil travel ataupun apalah itu. Tapi yang pasti aku sangat menikmati dipanggil Elf, karna kedengarannya keren aja dan rasanya seperti pemeran utama di film Power Ranger.

      Dengan segera aku menuju lantai dua untuk membuat laporan pertanggungjawaban tugasku tadi. Aku dan sembilan belas orang lainnya yang bekerja di sini memang dituntut untuk cepat dalam memberikan laporan kerja sebagai delivery man karna Ein, supervisor, kami sangat tegas dalam meminta laporan pertanggung jawaban. Tapi bukan hanya karna itu saja aku dengan pergerakan secepat kilat langsung mengerjakan laporan. Laporan itu cuma pekerjaan awal, pekerjaan sebenarnya baru akan dimulai, ya mungkin satu atau dua jam lagi.

   “Ein, ini laporanku.”, dalam sepuluh menit saja aku menyelesaikan laporanku yang langsung kuberikan kepada Ein di ruangannya yang beras di pojok kanan ruangan. 
   
     “Samuel L. Jackson!”, selalu itu yanga ada di kepalaku tiap kali bertatap muka dengan Ein, bentuk muka, mimiknya, bahkan mungkin usianya sama persis dengan bintang Pulp Fiction yang ngetop dengan kegemaran membaca ayat bible.



Bersambung...

Selasa, 14 Mei 2013

Obrolan Serius Dengan Jeni




Minggu lalu, mungkin lebih tepatnya lima hari yang lalu, Jeni sahabatku tiba tiba saja menghubungiku ketika baru saja aku melihat album foto teman lama semasa kuliah yang kusimpan dalam laptop. Jeni, aku bingung bagaimana cara mendeskripsikan dirinya, yang pasti dia adalah seorang wanita mandiri, cantik dan supel maka tak heran semasa kuliah banyak pria yang mendekatinya. Dan kini Jeni sudah menjadi seorang desainer terkenal yang rancangannya baru saja tampil di Paris. Berbeda dengan Jeni, aku masih berkutat dengan pekerjaanku sebagai seorang dosen universitas swasta yang nyambi sebagai penulis novel misteri yang tak terkenal sama sekali. Aku merasa beruntung Jeni mau bersahabat dengan pria berantakan tak jelas sepertiku, hah, tapi bukan itu yang ingin aku ceritakan. Aku ingin menceritakan obrolanku dengan Jeni yang sampai sekarang masih lekat di kepalaku.

Sudah sebulan lebih aku dan Jeni tak berkirim kabar karna kesibukan masing masing sehingga obrolan kami di telfon awalnya sedikit canggung. Lima menit pembicaraan awal berlangsung hangat, karna hanya kami lewatkan dengan menanyakan kabar dan sedikit candaan yang membuat suasana obrolan kami makin bersahabat. Di sela obrolan mendadak Jeni menanyakan sesuatu yang tak biasa, keadaan yang tadinya hangat dengan sedikit bercanda menjadi mulai serius.

“Kira kira Nobita kalo udah gede masih butuh doraemon ga ya?”, ujar Jeni dengan nada suara yang rendah.

“Ngga lah, kan udah gede masa mau jadi bocah lagi hahahaa”, aku terbahak bahak mendengar pertanyaan Jeni.

“Eh, gue serius. Gimana menurut lo dia masih butuh doraemon ga?”

“Kayanya ngga deh, kalo udah gede Nobita nya pasti bisa ngapa ngapain sendiri lah..”

“Jadi menurut lo, makin nambah umur, dia ga mau bergantung sama doraemon lagi?”, lanjut Jeni.

“Ya mungkin gitu sih Jen.. Emm kaya gini mungkin... mungkin kaya lo pertama kali dugem hahaha!”, aku tertawa terbahak bahak mengingat dugem pertama Jeni yang penuh dengan kekacauan.

“Udah deh.. Skip lah masalah kaya gitu huuu”, gerutu Jeni dengan nada yang terdengar bete.

Aku berusaha menghentikan tawaku untuk melanjutkan obrolan yang aku sendiri tak tau maksud arah dan tujuannya. Jeni hanya dapat menghela napas mendengar olokanku ini, lalu tanpa memperdulikanku yang masih menahan tawa dia melanjutkan pembicaraannya.

“Lo udah nonton The Dark Knight Rises belom?”

Pertanyaan Jeni membuatku terdiam, aku merasa terhina ditanya pertanyaan seperti ini oleh sahabatku, tak mungkin dia tak mengetahui jawabannya. Sebagai seorang fanboy Batman kelas berat, aku rela bolos ngajar demi menonton Premier akhir trilogi Batman ini.

“Lo mau bales gue, Jen?”

“Hahahaaa! Ngga ngga.. gue cuma nanya basa basi doang sih.. Jutek amat sih mas”, kali ini Jeni yang balas menertawaiku.

“Gini, ada yang mau gue tanya soal film itu.”, lanjut Jeni yang seketika membuat otak kiriku segera berubah menjadi Wikipedia yang siap menjawab seluruh pertanyaan tentang Batman.

“Itu si Joseph Gordon Levitt akhirnya jadi Robin ya?”

“Pertanyaan macam apa sih Jen itu, persis banget kaya pertanyaan anak TK yang nanyain balik jam berapa. Iya Jen, kan di jelasin di endingnya”, jawabku ketus.

“Masih aja ya si mas doyan marah marah hahahaa! Cuma bercanda guee, peace..”

Jeni menghela nafas sejenak lalu kembali melanjutkan pertanyaannya. Kali ini dengan nada suara lugas yang menunjukan keseriusan.

“Yang mau gue tanyain, kenapa ya kok Batman baru butuh Robin pas dia udah lemah?”

“Kan dia udah mulai tua, wajar kan kalo dia butuh partner yang bisa bantuin dia buat nyelesain tugasnya. Jadi Batman itu berat loh.”, ujarku menjawab pertanyaan jeni.

 “Jadi intinya makin nambah umur, orang orang pada butuh partner apa ngga sih?”, Jeni menambahkan pertanyaan yang makin membuatku bingung.

“Sumpah Jen, gue bingung sama pertanyaan lo. Emang ada apa sih?”

“Gini yaa.. Kemungkinan Nobita ga butuh doraemon lagi kalo doi udah gede tapi Batman makin butuh Robin karna dia udah makin tua. Bingung kan lo?!”

Rada bingung sih Jen, tapi kayanya kontennya sedikit beda deh kalo kata gue..”, aku menjawab pertanyaan Jeni dengan hati hati, aku sadar sepertinya Jeni sedang ada masalah yang membuatnya bingung. Saat ini dia tak butuh saran apapun dariku, yang dia butuhkan saat ini hanya teman bicara. Ya teman untuk mendengarkan keluh kesahnya.

Suara Jeni makin terdengar samar dari ujung telfon, hingga akhirnya kami harus mengakhiri obrolan karna besok pagi Jeni ada janji temu dengan seorang model. Jarang aku mendengar Jeni bicara serius seperti ini, menurutku sepertinya Jeni sedang ada masalah percintaan yang sangat rumit atau mungkin dia sedang ada masalah dengan pekerjaannya.

Walaupun aku tak tau masalah apa yang sedang Jeni hadapi saat ini, tapi sebuah kesimpulan dapat aku tarik dari obrolan tersebut.

Kita pasti bosan bila mengerjakan sesuatu yang sama secara terus menerus walaupun itu adalah sesuatu yang kita sukai, mungkin inilah yang ada dalam benak Batman yang membuatnya memutuskan mencari partner yang bisa saling bekerjasama satu sama lain. Dan di sisi lain, kita juga pasti akan bosan jika bertemu dengan orang ataupun lingkungan yang itu itu saja sepanjang waktu, mungkin inilah yang ada dalam benak Nobita dewasa hingga memutuskan meninggalkan partnernya, Doraemon.

Mungkin jika telah dewasa Nobita tak membutuhkan Doraemon lagi. Berbeda halnya dengan Batman yang makin bertambah usia dan pengalaman hidup, makin dia butuh seorang partner, ya partner dalam hal apapun.

Siap ataupun tak siap kita harus dapat menerima dikeadaan mana yang sedang kita alami sekarang. Keadaan Nobita ataukan keadaan Batman. Lingkungan dan orang orang baru dengan sifat dan karakter berbeda pasti akan muncul kapan saja seiring berjalannya waktu, ada yang membawa energi positif ada juga yang negatif. Sekarang hanya bagaimana cara survive, yang dapat membuat kita menjadi dewasa dalam menyikapi sebuah perubahan masa.

Dari obrolan singkatku dan Jeni, aku juga belajar suatu hal. Jeni yang selama ini kukenal sebagai seorang wanita yang kuat ternyata juga memiliki kelemahan dengan masalah yang menurutnya sulit ditemui jalan keluarnya. Memang bagi sebagian orang jalan keluar dari sebuah masalah akan terlihat samar, tapi sebenarnya jalan keluar itu dapat terlihat jelas jika menggunakan lensa kacamata yang tepat. Yang paling penting hanya kedewasaan tiap orang dalam menghadapi masalah besar dalam hidupnya. Positifnya jika boleh aku bicara pada Jeni, aku cuma ingin bilang, “Jen, ini jadi pendewasaan baru buat hidup lo”.