Wikipedia

Hasil penelusuran

Jumat, 12 Juli 2013

Solitude



Oh where can I go to and what can I do?

Nothing can please me only thoughts are of you

You just laughed when I begged you to stay

I've not stopped crying since you went away
               


          Semua keputusasaan dan kesialan ini adalah buah dari apa yang telah aku lakukan dulu, mungkin dulu sekali. Pepatah cina mengatakan, apa yang kau petik itulah yang akan kau tanam. Dan apa yang kau lakukan sekarang, itulah reinkarnasimu di masa mendatang. Aku hanya orang yang ingin menjadi sempurna, namun gagal. Aku hanya ingin jadi yang terbaik, namun selalu kalah dari godaan. Semua meninggalkanku saat aku memohon untuk tetap tinggal. Suram. Masa depanku suram. Kini aku hanya sendiri di sini, di ruang yang gelap ini.

“Aku sendirian, hanya aku sendiri ..”

            “Tidak. Kau tidak sendirian, ada aku di sini..”
          
          Aku menoleh kesumber suara itu berasal. Kulihat diriku yang lain dari sudut yang gelap ruangan muncul dengan wajah ceria namun penuh aura gelap. Cukup aneh aku melihat aku yang lain penuh kecerian, sementara aku sendiri sekarang berada dalam posisi tersulit dalam hidupku. Aku hanya seorang yang lemah, tak berdaya dan cengeng.
                
            “Apa yang harus kulakukan sekarang?”
                
            “Yang harus kau lakukan? Tak ada.”
                
            “Apa maksudmu?”
                
      Aku yang lain terdiam sejenak lelu kemudian menyeringai dengan sangat lebar. Seringainya mengingatkanku pada sosok Jack Nicholson dengan senyum lebar yang licik dan penuh dengan kengerian.



                
       “Aku bukan orang yang beruntung dan masa depanku seperti diselimuti hutan belantara yang sangat gelap..”
                
          “Bagaimana kau tahu?”, tanya sosok aku yang lain.
                
          “Karna kesialan, kesepian dan kesedihan seperti sudah menjadi bagian dari hidupku...”
                
        “Bukan. Maksudku bagaiman kau tau hutan belantara itu gelap? Apa kau pernah ke sana?”
                
          Aku terdiam mendengar pertanyaan yang kembali diajukan oleh sosok aku yang lain. Sebuah pertanyaan yang cukup menusuk hati dan membuat aku berpikir untuk menemukan jawabannya.
                
            “Tidak.. Aku tak pernah kehutan apalagi hutan belantara..”
                
            “Lantas, kenapa kau berkata seperti itu?”
                
        “...... Aku tak tau, mungkin ini gambaran yang aku dapatkan dari televisi..”
                
         “Tak usah pedulikan apa yang diutarakan orang lain. Kau yang menjalankan hidupmu sendiri, hidupmu adalah pilihanmu dan jangan pernah sekalipun kau menyesal dengan apa yang kau pilih..”
                
           Aku terkejut mendengar perkataan dari diriku yang lain ini. Dia adalah diriku, seorang manusia pesimis sampah tapi bagaimana mungkin dia bisa sebijaksana ini. Aku merasa ingin terus menerus berkomunikasi dengan didirku yang lain ini, sebuah percakapan yang sebenarnya sangat kunantikan.
                
          “Kau tau, dunia ini sangat sunyi bagiku. Aku tak berati apa apa di sini. Aku selalu merasa bahwa matahari seakan menjauh dariku dan mendung sangat betah berada diatas kepalaku. Semua yang pernah kurasakan dihatiku – mereka semua pergi. Meninggalkanku...
                
            “Kalau begitu, apa yang ingin kau lakukan? Tanya aku yang lain.”
                
            “Tak tau.. Mungkin mati lebih baik...”
                
            “Setelah mati, apa yang akan kau lakukan selanjutnya?”
                
            “Bertemu Tuhan, mungkin..”
                
            “Tuhan? Kau yakin Dia ada?”
                
            “Apa maksudmu?”
                
        “Jika kau mati bunuh diri hanya untuk menyelasikan masalahmu, bukankah itu tindakan yang bodoh? Jika Dia ada, mungkin dia akan menerima kau karna kasihan akan kebodohan kau. Tapi jika Dia tak ada, kau akan menuju kemana? Kau hanya akan dikenang sebagai orang bodoh yang melukan tidakan yang sangat bodoh - intinya triple bodoh, oh tidak. Kuartet bodoh lebih layak!”
                
         “Aku hanya ingin pulang saat ini, duduk dan mengeluh akan hidupku ini mungkin pilihan yang tepat...”

 “Menangis dan berpikir tentang apa yang telah kulakukan mungkin jauh lebih baik. Tak ada yang bisa membuatku senang, mungkin hanya kau, diriku yang lain. Diriku yang selalu melihat segala hal dari sudut pandang berbeda...”
                
             “Apa yang kau banggakan dariku?”
                
      “Kau berbeda dariku. Kau adalah sosok yang kuinginkan ada dalam kepalaku...”
                
             “Kau benar benar bodoh ya?”
                
           Diriku yang lain ini benar benar sangat meledak ledak dan lugas. Setiap perkataan yang keluar dari mulutnya menunjukan sikap tegas dan kepercayaan diri yang sangat tinggi. Aku tak berdaya melawannya. Aku takut.
                
             “Apa maksudmu?”
                
             “Aku adalah kau. Dan kau bisa menjadi seperti diriku!”
                
        “Aku bukanlah orang hebat dan aku tak tau apakah aku bisa menjadi sosok yang hebat. Waktuku terus menerus berkurang, tapi aku hanya bisa merenung menangisi kesialanku dan perbuatanku di masa lalu. Aku tau aku bodoh, aku tau aku semua orang pergi meninggalkanku. Namun aku hanya ingin tetap di sini, menunggu..”
                
            “Apa yang kau tunggu?”
                
           Menunggu, apakah Tuhan itu benar benar ada..”
                
            “Apa maksudmu?”
                
      “Jika Tuhan benar benar ada, aku yakin Dia akan datang untuk menolongku keluar dari kesepian dan keputusasaanku ini. Aku adalah makhluk ciptaanNya dan Dia pasti akan memberikan yang terbaik untuk hidupku.”
                
            “Bodoh. Ternyata kau tidak mengerti apa yang telah kita bicarakan sejak tadi.”
                
             “Apa pedulimu?! Kau hanyalah diriku yang lain. Kau tak nyata!”
                
            “Bodoh!”
                
          Diriku yang lain berteriak dengan sangat kencang. Dia beranjak langsung kehadapanku dan mencengkram wajahku dengan kedua tangannya dengan sangat kuat. Tulang terkorak kepalaku seolah hampir retak karna cengkramannya. Dia mendekatkan wajahnya kekepalaku dan tampak bersiap untuk kembali berteriak kencang tapi kali ini dengan volume yang lebih kencang.
                
         “Apa kau tau? Semua orang memproyeksikan bagaimana Tuhan mereka sendiri. Dan aku adalah bagaimana proyeksimu akan Tuhan sebagai penyelamat!”
                
          Aku terkejut mendengar perkataan diriku yang lain ini. Badanku menjadi lemas tak berdaya, semua energiku habis tanpa tersisa.
                
          “Semua orang men- Tuhankan diri mereka sendiri, begitu juga kau. Kau yang selalu men- Tuhankan sifat putus asa dan pesimis, karna itulah semua kesepian dan kesedihan selalu menyelimuti hidupmu! Bagunlah kau! Dasar Bodoh! Aku muncul untuk menolongmu!”


 ***********
               


Terinspirasi dari lagu Black Sabbath – Solitude (Album Master of Reality, 1970)

Senin, 08 Juli 2013

Nama di Atas Bantal (Flash Fiction)




Aku        :               Siapa namamu?

Dia          :              Namaku? (terkejut) Kau lupa namaku?

Aku        :               Maaf, aku lupa..

Dia         :               Aku Kirana. Bagaimana mungkin kau lupa? Kita tidur bersama.

Aku        :               Baiklah, akan kutulis namamu di atas bantal.

Dia         :               Untuk apa?

Aku        :               Agar aku bisa memimpikan dan mencumbu rindu akan dirimu..

Dia         :               Hentikan! Aku yakin sudah banyak wanita yang bersandar di bantal itu!

Aku        :               Tidak! Percayalah hanya kau seorang yang tidur dibantal ini.

Dia         :               Benarkah?

Aku        :               Tentu saja. Ruangan ini adalah saksi bisu bahwa hanya kau yang pernah bersandar di  bantal lapuk ini.

Dia         :               Oke, aku terkesan. Kalau begitu, bisa kau sebutkan kembali siapa namaku?


Aku        :               Namamu..? (berpikir). Kau Deasy, kan?

Bedtime Stories: Fear of Girieg



            “Ayah, besok aku gak kuat puasa ya.. lapeeeer...”
            
           “Hari pertama puasa dong, kamu kan gendut jadi bisa nyimpen cadangan makanan - hahaha.”

            “Tapi kalo aku ga kuat gimana?”

            Pras cukup bingung menjawab pertanyaan anaknya, Dylan. Dia masih tujuh tahun tapi Pras berpikir inilah saat yang tepat untuk mengajarkannya berpuasa.

            “Kamu mau dimakan Girieg?”

       “Apa itu ayah?” Tanya Dylan dengan penuh penasaran terpancar dari tapapan matanya.

       Pras terdiam, dia sedikit menyangkal dengan apa yang baru saja dia katakan. Namun sedikit pembenaran dia tanamkan pada pikirannya. “Ah, tak apa Girieg kan hanya mitos,” ujarnya dalam hati.
            
        “Girieg itu hantu yang terkenal di kalangan penulis seperti ayah. Dia kena kutukan yang membuat wajahnya seperti babi hutan, berbadan besar dan selalu menggunakan jas seperti James Bond.”
            
             “Kenapa dikutuk?”
            
          “Karena rakus dan banyak makan. Makanya besok puasa ya...” Ucap Pras dengan pelan dengan nada yang penuh keyakinan.
            
             “Jadi kalau aku makan terus.. Nanti jadi seperti Girieg ya?”
            
        “Tidak dong. Tapi kalau besok tidak mulai puasa, kamu bakal dimakan Girieg – hahaha.”
            
             Tanpa terasa jam dinding di kamar Dylan sudah menunjukan pukul 10 malam. Pras mulai beranjak dari tempat tidur Dylan untuk kembali melanjutkan pekerjaannya sebagai penulis novel misteri. Sebelum pergi dia mencium kening Dylan sekedar memberikan ucapan selamat tidur, lalu mematikan lampu kamar.

“Nanti ayah bangunin lagi jam setengah 4 buat sahur ya.”

Dylan mengangguk tanpa menjawab perkataan Pras. Melihat anaknya yang tampak sedikit takut karna cerita tadi, membuat Pras berkata.

“Hati hati Girieg keluar dari lemari – Hahahaa!”

“Aku ngga takut, Yah!” Balas Dylan dengan teriakan yang cukup lantang.

***
            
           Mendadak Dylan terbangun saat jam tepat menunjukan pukul 12 malam, dia mengira waktu sahur telah dimulai tapi nyatanya dia baru tidur kurang lebih 2 jam. Dia kembali mencoba memejamkan mata untuk tidur namun kali ini matanya sulit terpejam, tiba tiba dia teringat dengan cerita ayahnya tentang Girieg. Rasa was was mulai menyelimutinya karna membayangkan sosok Girieg yang sangat aneh dan menyeramkan dan keadaan kamar yang gelap membuat suasana terasa makin tak menentu. Dia merasa ada sosok yang tak terlihat mata sedang mengawasinya dan melihat semua gerak geriknya. Ingin dia beranjak dari kasur untuk menyalakan lampu kamar, namun ternyata rasa takut jauh lebih besar dibanding keberaniannya.
           
           “Treek... Treekk...” Terdengar suara dari dalam lemari kayu yang berada tepat disebelah kanan tempat tidur. Suara itu terdengar cukup bising seperti ada seseorang yang bergoyang dalam lemari. Dylan takut. Keringat mengucur keluar dari kepala kecilnya. Tanpa ragu dia segera menutup seluruh badan dengan selimut, tubuhnya merinding hebat karna rasa seram yang muncul dari otaknya. Pikirannya mulai berkecamuk antara takut dan rasa penasaran, namun suara yang terus menerus berbunyi hanya membuatnya menentukan satu pilihan, “aku harus bersembunyi.”   
            
            Tak lama, suara itu tiba tiba saja berhenti. Suasana aneh tadi seketika berubah hening tanpa suara, bahkan jika ada kapas jatuh suaranya pasti akan terdengar nyaring. Perlahan Dylan membuka selimut yang menutupi kepalanya, cukup berani untuk seorang anak tujuh tahun melakukan hal ini di malam yang gelap. Perlahan dia mengeluarkan kepalanya dari balik selimut tapi tak ada yang aneh sepanjang dia melihat seluruh ruangan. Sekilas tak ada yang berubah dengan ruangan kamarnya, namun ketika dia menoleh kesebalah kanan, ternyata lemari kayunya telah terbuka lebar. Hal ini membuatnya makin takut, pikirannya mulai dipenuhi ilustrasi sosok Girieg. Sesosok orang dengan setelan jas ala James Bond tapi berkepala babi. “Hati hati Girieg keluar dari lemari...,” ucapan ayahnya seolah meraung raung dalam kepalanya. “Apa benar Girieg keluar dari dalam lemari?”, pikir Dylan yang ketakutan.
            
            Dia kembali menutup kepalanya dengan selimut, semua tubuhnya terasa sangat basah karna keringat. Tiba tiba Dylan merasa ada yang sedang memegang kakinya, tidak kuat tapi juga tak lemah. Pertanyaan mulai muncul dalam hatinya, apa ini ayah? “Ini pasti ayah!” Yakin Dylan. Dengan cepat dia membuka selimut yang menutupi kepala namun apa yang terlihat membuatnya kaget bukan kepalang. Dia berteriak dengan sangat kencang tapi tak ada sepatah katapun keluar dari mulutnya. Cengkraman tersebut tiba tiba saja berpindah ke lehernya dan makin lama terasa mengenai dan menusuk tulang. Sakit. Sangat sakit. Tapi lagi lagi dia tak bisa berteriak, tak ada yang bisa menjelaskan ini. Orang dengan setelan jas telah berdiri tegap disebelah kanan kasur sambil mencekik kencang lehernya. Dalam kegelapan samar terlihat ada sebuah taring keluar dari sisi mulut orang itu. Ditengah ketakutan, sangat jelas Dylan melihat itu adalah babi. Itu Girieg.
          
          Dylan mencoba melawan dengan standar tenaga anak seusianya, jelas itu sia sia. Dan kali ini badannya menjadi kaku tak dapat bergerak. Dylan menangis tanpa suara, hanya air mata yang keluar dari matanya. Dia hanya pasrah menutup mata menahan cengkraman Girieg yang sangat kuat. Rasa sakit yang teramat sangat muncul dari ubun ubun kepalanya. Sakit. Itu benar benar sangat sakit. Kepalanya mulai terasa ditarik oleh sesuatu yang aneh, roh seakan akan segera keluar dari tubuh gendutnya. Girieg menambah kuat cekikannya. Dan tak sampai semenit, kepala Dylan telah terpisah dari tubuhnya.

***
        
         Jam tepat menunjukan pukul setengah 4. Masih menahan kantuk, Pras menuju kamar Dylan yang berada di lantai atas. Dia membuka pintu dan langsung menyalakan lampu kamar. Dylan terlihat masih tertidur pulas dengan selimut yang menutupi tubuhnya. Namun setelah memperhatikan dengan teliti, Pras menemukan ada suatu yang janggal. Dia mendekati kasur dan perlahan membuka selimut yang nampak kosong. Padahal nyata terlihat dari wajah Dylan, bahwa dia sedang tidur sangat tenang.

            
         Pras membuka selimut. Dan dia tak melihat apapun, bahkan tubuh Dylan. Tubuhnya lenyap tanpa bekas darah setitikpun. Pras kaget bukan kepalang, darah di tubuhnya seolah naik ke kepala. Bingung, sedih dan marah bercampur jadi satu. Hanya tersisa kepala anaknya di kasur, tubuhnya hilang bak ditelan bumi. Dengan perasaan shock yang teramat sangat, Pras memeriksa sekeliling kamar dengan air mata terus mengalir. Kemudian perhatiannya berhenti pada lemari kayu yang terbuka lebar, dia teringat akan ucapannya tentang Girieg. Cepat dan penuh amarah, dia mendekati lemari itu dan memeriksanya dengan sangat teliti. Ditengah rasa bingung dan emosi yang tak menentu, dia menemukan satu kata aneh yang ditulis pada dinding lemari. Kata itu berbunyi Gluttony, di tulis dengan darah yang masih segar.