Kemarin adalah kemarin sedangkan
hari ini adalah sebuah kenyataan yang sedang terjadi. Siang ini matahari menyinari dunia dengan sangat semangat, teriknya begitu menyengat membuat hati
dan perasaan menjadi tak menentu. Siang hari ini semuanya tampak begitu asing,
burung yang berterbangan, dahan yang tertiup sepoi angin, bahkan kendaraan yang
berjalan tak ada yang sama dengan kemarin. Perlahan aku mencoba membuka mata
melihat apa yang terjadi hari ini namun terik matahari membuatku takut untuk
melangkah menikmati indahnya hari.
Terik
siang benar benar mengingatkanku bagaimana kejadian indah hari kemarin. Sebuah hal yang menyakitkan ketika bagaimana baru saja aku kehilangan seorang
wanita yang menurutku sangat sempurna. Seorang gadis yang tak begitu
cantik, bermata sipit, bertubuh kurus dengan dada rata yang tak terlihat menonjol, dan rambut panjang padat ketinggalan jaman khas tahun 90an. Tidak cantik bahkan
banyak orang mengatakan tak menarik tapi dialah wanita yang sempurna bagiku,
dialah wanita yang aku yakini sebagai partner tepat seumur hidup. Lain kemarin
lain sekarang, dia menghilang, dia menjauh dariku, dia pergi tanpa alasan. Tak
ada pertengkaran hebat sebelumnya bahkan hanya menunjukan emosi pun kami tak
pernah melakukannya. Hubungan kami berjalan dengan teratur dan menyenangkan,
senyum dan melihat bintang di langit selalu menyelimuti hari bahagia kami tiap
malam. Memang tidak tiap malam tapi kurasa hampir tiap saat kami selalu
memandangi langit untuk mencari bintang yang bersinar paling terang.
Bintang
berganti langit, malam dingin berganti siang yang terik. Siklus hidup
selalu datang menghampiri tiap kegiatan dan perilaku manusia, tak ada hal yang
selalu indah, tak semua hal yang kita inginkan pasti mulus tercapai. Semuanya
terjadi tanpa di prediksi seperti siang yang tak selalu terik dan bintang yang
mungkin bosan menemani malam. Dia, wanita yang sempurna itu, mungkin telah jauh
meninggalkanku tanpa sepatah katapun hanya senyuman tanda perpisahan mengiri
kepergiannya. Awalnya aku tak mengerti maksud senyuman itu namun sebuah senyum
bukan hanya simbol kebahagiaan, itu dapat berarti banyak hal. Dalam kasus ini, berarti tak ada lagi menghitung bintang, tak ada lagi bintang terang
bersinar, tak ada lagi kecupan kening mesra dan tak ada lagi senyum murni tanda
kebahagiaan.
“Hari
ini adalah hari yang sangat buruk bagiku,” aku berkata pada seorang bartender
sebuah bar, dimana bar ini adalah tempat pertama kali aku bertemu dengan
wanitaku di hari ketigapuluh penghujung bulan September tahun lalu.
“Wiski
Cutty Sark?”, Ujar pelayan itu dengan menuangkan wiski ke gelas.
“Tidak,
tidak sekarang, aku sedang tidak ingin.”
“Free,
aku traktir khusus hari ini.”
Bartender meletakan segelas wiski dihadapanku, dengan penuh senyum ceria dia mendekat
kearahku seperti tertarik dengan apa yang aku alami hari ini.
“Ada
apa denganmu?”
“Dia
meninggalkanku.”
“Siapa?
Wanitamu?”
“Ya
wanitaku, wanita yang sering kuajak kemari.”
“Begitukah?
Bagaimana bisa?”
“Aku
juga tak mengerti, dia pergi meninggalkanku tadi saat siang terik melanda.
Aku tak tau alasannya, sesaat aku tak yakin bahwa itu dirinya namun
kenyataannya itu adalah dia. Aku seperti tak mengenalnya tapi benar, dia
wanitaku!”
Padahal
kemarin malam aku masih bertemu dengannya, melihat sinar bintang bersamanya dan
masih saling beradu kecupan di malam yang terang. Dia juga masih tersenyum
kepadaku walaupun dengan wajah datar karna rasa letih, tiap detik aku melihat
wajahnya tiap detik pula lah aku yakin bahwa dialah wanita sempurna untukku.
Aku telah menyimpan namanya di dalam lubuk hatiku, aku telah meyakinkan diriku
akan perjalan cinta yang selama ini aku cari. Aku mengecup keningnya sebelum
dia pergi kembali pulang kerumah.
Pagi
ini, ketika membuka mata segera rasa rindu menyelimuti pikiranku padahal baru
saja kemarin malam aku bertemu dengannya. Cinta memang gila, cinta membutakan
pikiran rasionalku seperti jam antik yang dijual mahal di pelelangan, tak masuk
akal tapi sangat berharga. Tak pernah aku merasa serindu ini dengan seseorang
bahkan dengan keluargaku sendiri. Aku menghubunginya namun tak ada jawaban,
beberapa kali aku mencoba untuk menelfonnya tapi sepertinya sia sia bahkan saat
panggilan kelima tiba tiba saja handphonenya tidak aktif.
Akhirnya
aku memutuskan untuk menemuinya dan sekedar memberikannya surprise kecil beruba
cincin murah yang kubeli di pusat pertokoan tengah kota. Wanitaku bekerja
sebagai seorang kasir di sebuah toko buku kecil di pusat pertokoan itu, dia
adalah seorang pegawai teladan jadi pada jam jam kantor seperti ini dia
biasanya berdiri manis melayani pengunjung yang membeli buku. Namun tak seperti
biasanya, siang ini toko buku sangat ramai dengan pengunjung yang hampir
memenuhi seluruh isi toko. Aku tak perduli dengan keadaan toko, aku hanya fokus
mencari keberadaan wanitaku, pikiranku pun hanya fokus menyusun kalimat apa
yang harus aku ucapkan ketika bertemu dengannya. Hampir lima belas menit aku
mencari keberadaannya namun sama sekali aku tak melihat dirinya, sampai
akhirnya aku melihatnya berjalan santai dengan membawa sekeranjang buku yang
sepertinya akan dipajang di rak.
“Hai,
tidak jaga kasir?”
“Tidak,
ada perlu apa?” Tanya wanitaku tanpa sedikitpun menoleh.
“Hanya
ingin menemuimu dan memberikanmu ini.” Dengan perlahan aku menyodorkan sebuah
kado kecil berisi cincin kepadanya.
“Apa
maksudmu?” Akhirnya dia menoleh kearahku.
Aku
bingung melihat tindakannya, mungkin dia sedang bercanda kepadaku tapi yang
kurasakan hanya sebuah ekspresi defensif yang sangat serius. Dia menatapku
seperti menatap orang asing yang sedang mengancam keselamatan jiwanya.
“Aku
kekasihmu.”
“Kau?
Aku bahkan tak mengenalmu!”
“Jangan
bercanda, ini tidak lucu!” Ujarku dengan sedikit emosi, inilah kali pertama aku
tak dapat menahan emosiku terhadapnya.
“Kau
yang jangan bercanda. Jika memang tak ada yang bisa kubantu, lebih baik kau
menyingkir, Tuan.”
Seperti
lonceng gereja yang jatuh, aku merasakan pikiran rasionalku mulai pergi
meninggalkanku, menghilang kedalam sebuah vacum cleaner raksasa. Disaat aku
mencoba tetap bertahan di hari yang terik ini, hal aneh lain kemudian
kembali menghantamku. Seorang pria muda, tampan dengan dandanan rapi nan gagah
datang menghampiri kami, dia menyadari keributan kecil yang kami
timbulkan.
“Ada
apa ini?” Ujar pria itu.
“Tidak
ada apa apa..” Jawab wanitaku yang dibalas rangkulan mesra pria asing itu,
kemudian ciuman mesra diarahkan pria itu ke bibir wanitaku yang dibalas dengan
sangat mesra olehnya. Aku bingung. Aku tak percaya. Serasa ditembak tepat
dikepala berkali kali.
“Aku tak apa apa sayang, dia hanya pria asing
yang sedikit gila.”
Setelah
ditembak tepat dikepala, aku langsung double
combo seperti terkena serangan jantung mendadak mendengar ucapannya barusan.
Tak percaya, dan aku merasa tak lagi seperti manusia seutuhnya. Bayang bayang
muncul menghantui isi kepalaku, tiba tiba saja aku merindukan kemarin saat kami
berdua masih tersenyum melihat bintang. Duniaku berputar terbalik, aku seperti
berada di planet lain dimana aku sendiri tidak mengenal diriku sendiri. Otakku
hanya flashback kejadian kemarin, kemarin dan kemarin.
****
“Sangat
menyedihkan..” Ujar bartender seraya kembali menuangkan segelas Wiski Cutty
Sark kepadaku.
Suasana
bar menjadi sangat tenang entah karna memang sedang sepi, karna suasana hatiku
yang gundah atau mungkin karna aku yang sudah sedikit mabuk, aku sudah tak
peduli sekitarku. Dalam benak dan pikiranku hanya satu hal yang kuinginkan, aku
hanya ingin hari kemarin mengulang kembali, hari dimana terakhir kalinya aku
menatap wajah syahdu wanitaku, hari dimana aku masih menatap bintang bersinar
bersamanya.
“Jelas
kemarin jauh lebih baik dari hari ini, jika bisa aku ingin bersembunyi untuk
hari ini. Aku tidak percaya dengan hari ini, aku ingin kembali kehari kemarin.”
“Apa
yang akan kau lakukan jika diberi kesempatan itu?”
Suasana
mendadak menjadi melow ketika secara random bar memutarkan lagu Yesterday dari The
Beatles. Lantunan nada petikan gitar John Lennon segera menggema seluruh isi
ruangan, kemudian dilanjutkan dengan syahdu suara Paul McCartney yang serasa mengiris
jantungku menjadi keping - keping kecil.
Why she had to go
I don't know, she wouldn't say
I said something wrong
Now I long for yesterday
Yesterday love was such an easy
game to play
Now I need a place to hide away
Oh, I believe in yesterday
......
“Kau
sudah tau akhirnya berakhir seperti ini, percuma saja kan?”
“Aku
tetap yakin dia adalah wanita yang sempurna untukku.”
Setelah mengatakan itu, aku merasa semua hal seperti
berbalik kepadaku. Semua seolah berjalan maju mundur melawan kehendak, kepalaku
pusing tak menentu tapi kurasa ini karna aku telah mabuk parah. Sekitarku
bergerak begitu cepat, semua seolah kompak berjalan mundur melebihi kecepatan
cahaya. Dalam hitungan detik aku seperti merasa berputar dan terhisap kedalam
kloset yang sangat besar, sekuat tenaga aku mencoba melawan tapi sekuat itulah
aku merasa tak dapat melakukan apapun. Aku teringat dengan senyum licik
bartender yang terus menawariku minuman, senyuman sombong penuh tipu muslihat.
Dalam
hitungan ketiga tiba tiba saja aku tersadar, aku melihat sekeliling semuanya
tampak sama tapi tak 100% persis dengan sebelumnya. Bartender pria yang tadi
melayaniku berganti dengan wanita yang terus menunjukan gestur genit menggoda,
bajuku pun tiba tiba saja tak sama dengan apa yang aku kenakan tadi. Aku
melihat kalender digital di jam tanganku, angka angka digital di jam tanganku
memberitahukan bahwa sekrang tanggal 30 bulan 9, tepat setahun yang lalu.
Sontak segera aku melihat kearah pintu kaca bar yang masih tertutup rapat
kemudian dari kejauhan aku melihat sesosok wanita kurus dengan muka pucat
tampaknya setengah mabuk datang mendekati bar. Rambut padat mengembang khas
90an miliknya terlebih dahulu masuk seakan mencuri finish kedalam bar namun tak
seorang pun memperhatikan kehadirannya.
Secara fisik memang
dia bukan wanita menarik bagi sebagian orang, tapi tak tau mengapa aku tetap
bergetar ketika melihatnya melangkah, sejenak aku kembali yakin dia adalah wanitaku.
Jika benar ini bukan halusinasi karna mabuk, artinya aku
diberikan kesempatan kedua untuk kembali jatuh cinta kepadanya, untuk merubah
akhir yang telah terjadi hari kemarin. Apakah aku harus tetap mendekatinya
atau aku harus mengantisipasi akan kehadirannya, keyakinanku mulai goyah
seiring dilema yang datang menyerbu seperti denting alarm bergema di
pagi buta.
******
Inspirasi: Yesterday by The Beatles (Album Help! 1965)
Inspirasi: Yesterday by The Beatles (Album Help! 1965)