Wikipedia

Hasil penelusuran

Selasa, 29 Oktober 2013

Ode Untuk si Kembar



                “Ini bukan waktunya untuk bercanda kan?”

                “Tentu tidak, buat apa aku bercanda.”

                “Berhenti menjahiliku!”

                “Tidak!”

                “Berhenti atau kulaporkan ibu!”

                “Laporkan saja!”

                “Berikan bonekaku, kalau tidak kubunuh kau!


                                                                                  ***

      Karin, saudari kembarku adalah wanita paling jahil yang pernah tercipta didunia, aku sempat berpikir bahwa jahil lebih penting baginya dibandingkan oksigen. Bukan hanya aku korban kejahilannya tapi hampir seluruh orang yang dia kenal pernah mengalami bagaimana menjengkelkannya Karin. Kami memang kembar tapi kami sama sekali tak memiliki keterikatan antara satu sama lain, dunia kami, kebiasaan kami bahkan kepribadian kami sangat berbeda drastis, ya bisa dibilang seperti warna televisi tahun 40an, hitam dan putih. Bahkan diusia kami yang sama sama telah menginjak 20 tahun kami tidak pernah saling bertukar pikiran satu sama lain. Ayah dan ibu juga terkesan tak perduli dengan pergaulan Karin, dia anak menjengkelkan yang bermasalah di setiap lingkungan sosial dan susah diatur, sedangkan aku kebalikan darinya.

         Tak terhitung sudah berapa kali dia memotong kepala boneka favoritku dan juga sudah tak terhitung pula sudah berapa kali aku menyumpahi dia mati. Tapi Tuhan sama sekali tak pernah mendengar doaku, Tuhan terus menerus membiarkan Karin hidup dan meneruskan perbuatan menyebalkannya, bukan hanya padaku tapi juga pada anak anak lain. Selang beberapa tahun akhirnya doaku di dengar Tuhan, hanya sampai usia 20 tahun saja Karin hidup di dunia. Akhirnya sekarang dia mati juga tapi tentu bukan aku yang membunuhnya. Dia mati oleh kekasihnya saat sedang berhubungan seks, kepalanya di gorok dengan pisau dapur. Pria itu adalah jawaban atas doaku selama ini.

Setelah hampir setahun setelah kematian Karin, rasa senang itu hilang, rasa sedih dan kesepian muncul seperti hujan di sore hari. Aku juga tak mengerti, aku merasa sangat merindukan Karin. Pernah suatu hari ketika sedang mengitari seisi rumah aku selalu merasa seperti diperhatikan oleh seseorang, bukan orang tuaku, bukan pembantu, bukan pula orang asing, tapi perasaan seperti sedang diperhatikan oleh Karin. Aku tak pernah lupa bagaimana feeling aneh menyelimutiku ketika dia tengah bersiap untuk melakukan tindakan jahat, dalam hati selalu kuulang kata, “Karin telah mati.” Faktanya memang dia telah mati tapi entah mengapa saat ini aku merasakan kehadirannya. Selain itu, bau keringatnya yang wangi jeruk kadang muncul di kamarku tiap pukul 2 malam. Kuakui setelah dia mati, aku kesepian tapi sama sekali aku tak pernah mengharapkan kehadirannya lagi.


Saat ini jam tepat menunujukan tepat pukul 2 malam di hari kamis, seperti biasanya aku masih disibukan dengan kegiatan sebagai penulis artikel fashion di sebuah majalah. Mataku mulai mengantuk, jariku pun mulai lelah menekan keyboard tapi besok pukul 7 pagi deadline ini sudah harus aku kumpulkan kepada editor. Waktu yang kurang tepat untuk mengenang masa masa bersama Karin, “ah terlalu banyak drama untuk apa memikirkan dia” ujarku dalam hati. Jam dinding berjalan makin lama seakan makin pelan, stasiun tv tak lagi menyajikan hal yang menarik, ingin segera melanjutkan pekerjaan tapi inspirasi tak kunjung datang.

Aku tertidur sejenak lalu terbangun karna suara ketukan tiba tiba saja jendela kamarku berbunyi tak terlalu keras. Bunyi yang pelan tapi sangat mencekam dan seratus persen aku yakin itu ketukan, seperti sedang diketuk dengan jari. Suasana msunyi senyap seketika, aku mematikan tv lalu mengecilkan volume itunes agar suara itu terdengar lebih jelas. Kelamaan suara itu terdengar makin nyata, jika awalnya hanya satu jari kini terdengar seperti diketuk dengan tiga jari. Suara ketukan itu makin lama berbunyi makin tidak karuan, aku takut, namun entah mengapa rasa penasaranku justru makin memuncak. Perlahan aku beranjak dari kasur mendekati jendela yang letaknya berhadapan denganku, dengan sedikit keberanian aku mencoba untuk membuka gorden secara perlahan. Semakin gorden akan kutarik, semakin kencang pula suara ketukan itu muncul, makin lama suara itu makin keras dan seperti menusuk kedalam kepalaku. Lalu tanpa basa basi lagi aku langsung menarik gorden dengan menutup kedua mataku. “Brakk!!!” Terdengar seperti suara menghantam jendela yang diikuti dengan kesunyian tanpa suara, suara ketukan itu telah hilang. Pelan pelan aku membuka mataku ternyata tak ada apa apa di jendela, hanya terlihat puluhan bintang terang.

Wangi ini.. kemudian mendadak wangi jeruk muncul memenuhi seisi kamar, wangi jeruk yang terasa amat pekat. Ini adalah wangi Karin, wangi yang selalu saja menghantuiku tapi apa mungkin ini terjadi? Aku mulai berpikiran yang aneh aneh, semua kisah horor muncul di kepalaku silih berganti. Aku takut. Aku mulai kebingungan. Hanya berdiri sambil menutup kedua mata yang dapat kulakukan saat ini, semuanya begitu tak masuk diakal, hingga akhirnya...

“Brukk!”

Terdengar suara terjatuh tepat disamping aku berdiri saat ini. Dapat kurasakan yang jatuh bukan merupakan benda yang berat, mungkin sebuah benda yang ringan. Tapi aku merasakan aura yang sangat aneh dengan benda yang jatuh itu, bulu kudukku semuanya berdiri membentuk barisan militer. Apa makin tak mengerti dengan situasi ini, sekarang aku hanya ingin semua kejadian aneh ini berhenti.. “Aku takut, ya Tuhan..” Tapi sekali lagi rasa takutku kalah dengan rasa penasaran yang kembali memaksaku untuk melihat benda apa yang terjatuh barusan. Pelan pelan aku membuka mata dan melihat kearah sebelah kanan tempat benda itu terjatuh. Oh, ternyata bukan benda yang harus ditakutkan, itu hanya boneka, ya benar hanya boneka namun boneka itu tanpa kepala.

“Ini tanda dari Karin!”

Kepalaku penuh dengan racauan kata kata tak beralasan. Aku mecoba menghadapi ini dengan biasa namun logikaku mengatakan ini semua tak masuk akal, ini ulah hantu. Hantu Karin datang menggangguku! Aku tak percaya hantu itu nyata, menggelikan!

Ta.. Tapi jika hantu tak nyata lantas boneka ini maksudnya apa? Lebih tak masuk akal jika boneka ini tiba tiba muncul begitu saja. Aku ingat, boneka ini adalah boneka pinguin kesanyanganku saat berusia 10 tahun, boneka ini disembunyikan oleh Karin entah dimana sampai mati dia tak pernah mengatakan letak boneka itu. Setidaknya itu semua sampai hal aneh ini muncul tiba tiba saja boneka ini terjatuh dari langit sesaat baru saja muncul keanehan di jendela kamarku.

Aku  ingin semua ini cepat berhenti, aku tak tahan dengan semua ini.

“Halo Kiran...”

Suara lirih terdengar dari pojok ruangan kamar, suara pelan yang terdengar seperti rintihan kesakitan senar biola. Aku mengenali suara ini tak mungkin dapat melupakannya, suara yang  menyebalkan dan sangat menyedihkan. “Apa benar ini nyata?” Kali ini apapun yang terjadi aku tak boleh menoleh kearah belakang, mengerikan, tingkat ketakutanku naik drastis.

“Ayo masak masakan..”

“Ayo main operasi operasian..”

Suara itu sangat mengganggu, semua suara Karin bergema di dalam telingaku. Suara lirih kesakitan penuh ejekan. Suaranya terdengar persis di sebelah kanan telingaku, suara jarak dekat yang mungkin hanya berjarak 5 – 7 sentimeter.

Entah mengapa tiba tiba saja badanku tak dapat bergerak, semua otot kaku tak bergerak, bulu kuduk merinding seperti sedang disentuh oleh belaian lembut pasti. Bukan, bukan belaian nafsu melainkan belaian kengerian yang dapat berarti banyak hal. “Apa apa ini? Kenapa ini?” Seketika pertanyaan ini muncul di kepalaku silih berganti. Kukerahkan seluruh sisa kekuatan untuk menggerakan tubuhku, sangat maksimal hingga dapat kurasakan ototku bergeser dengan sangat kasar. Seketika tubuhku akhirnya dapat bergerak kembali dan langsung saja tanpa diperintah aku masuk dan mengunci kamar mandi dengan rapat. Aku tak dapat berpikir dengan jernih yang ada dalam kepalaku bagaimana caranya agar semua ini berhenti.

Tiba tiba lampu kamar mandi mati..

Tak ada ada kehidupan, aku hanya dapat mendengar suara tarikan nafasku yang terengah. Keringat mengucur deras dari pori pori kulit, cuaca dingin seketika berubah menjadi panas. Aku meraba raba sekeliling namun tak merasa apapun, aku makin takut dan langsung mencoba membuka pintu kamar mandi namun.. namun kunci kamar mandi sudah tidak menggantung di lubang kunci. Air mataku mulai mengucur keluar tanpa diperintah, aku takut, aku tak ingin mati..

“Apa kau suka? Apa kau suka??”

Kembali terdengar suara lirih Karin tapi kali ini aku dapat merasakan suara itu muncul setidaknya tepat dihadapanku.

“Jangan ganggu aku...” Aku menutup kedua telingaku, aku tak sanggup lagi mendengar suara suara aneh yang terus muncul disekitarku. Terus menerus aku mengucapkan kata kata itu dengan cepat, secepat mungkin, secepat yang aku bisa. “Bruuuk!” Aku merasa ditabrak dengan sangat kuat hingga terjatuh kelantai, suasana sangat gelap aku pun tak tau benda apa yang baru saja menabrakku. Rasanya bukan seperti tabrakan melainkan seperti dorongan tangan, didorong dengan tenaga penuh.

Lampu menyala..

Tepat dihadapanku sebuah kepala melayang. Itu adalah kepala Karin, itu wajah Karin! Ya Tuhan halusinasi apa ini?! Ini tidak nyata! Kepala itu melayang dengan mata tertutup dan darah yang mengucur dari leher yang menganga lebar.

“Bagaimana rasanya menjadi aku?” Kepala itu berbicara, aku sangat takut hingga tak mampu berkata kata yang dapat kulakukan hanya menutup mata dan mendengarkan suara asing ini.

“Kau mengambil semuanya!”

Sepersekian detik tiba tiba mata itu terbuka dan bergerak cepat kearahku! Kurasakan gigitan dahsyat yang sangat menyakitkan di seluruh wajahku, aku tak mampu melawan, aku hanya bisa bertertiak. Aku menyerah dan.....


*****



Kamis, 17 Oktober 2013

Guess, Who’s Coming to Dinner?




Dinda

         Nanti malam adalah malam yang paling indah dalam hidup dinda, sudah lama dia menantikan makan malam ini. Sebuah hal romantis yang jarang sekali dilakukan oleh kekasihnya dan dia pikir itu akan bertambah spesial jika malam nanti dipadukan dengan gaun hitam yang telah dia beli sebulan yang lalu.

Oh candle light dinner di restoran mewah pinggir pantai, tak pernah melakukan hal ini, aku penasaran batu apa yang baru saja menghantam kepala kekasihku. Tapi selain itu aku yakin pasti nanti malam dia akan memberikan surprise yang ter-sweet untukku, mungkin dia akan memberikanku kado atau mungkin juga tiket konser Pheonix, emm.. atau... pasti dia akan melamarku!! Ahhh Ya Tuhaaan!!” Gumam Dinda dalam hati dengan sangat semangat.

Hubungan Dinda dengan kekasihnya sedang sangat renggang setelah sebelumnya dia kepergok oleh teman kekasihnya sedang check ini di hotel dalam keadaan mabuk dengan pria asing yang baru dikenalnya. Setelah kurang lebih satu bulan menjalani hubungan dingin penuh rasa bersalah, akhirnya secara tiba tiba kekasihnya menghubunginya.

“Semoga saja masalah kemarin tidak membuatnya marah. Perselingkuhanku memang menyakitkan tapi aku yakin dia tak akan meninggalkanku, dia sayang padaku dan dia pasti memaafkanku. Jika memang dia memang masih marah padaku mustahil kan dia mengajakku candle light dinner malam ini.”
                
           Kriiiing... Kriiiiing... (Dering Handphone)
                
        Handphone berdering dengan kencangnya dan memecahkan semua lamunan Dinda yang dengan segera mengambil handphone yang tergeletak diatas kasur. Nama kekasihnya muncul dari layar telfon dan dengan cepat dia menekan layar handphone.
                
           Dinda    :               Halooo...?


Vito
                
         Hemm.. Ya ini mungkin benar tapi mungkin juga salah, kenapa aku harus memaafkan dia. Makan malam romantis di pinggir pantai, ah setan omong kosong macam apa itu?! Semuanya keluar dari mulutku tanpa berpikir panjang. Tak kupungkiri aku memang sayang dia tapi ini perselingkuhan, apa kasus perselingkuhan wanita dapat dikatakan wajar? Dasar wanita binal. Apa kekuranganku selama ini padanya? Minta ini itu kuberi, minta dijadikan prioritas kuturuti, minta anter jemput, ohh oke, “gue adalah babu lo.”

“Semuanya sudah kuberikan tapi dia masih saja selingkuh, cinta pada pandangan pertama katanya tapi dengan pria yang dikenal di klub malam, yang benar saja apakah kekasihku ini anak SMA?! Tai. Percuma rasanya sudah memaafkan dia tapi nyatanya logika dan akal sehatku sepertinya berperang satu sama lain tanpa ada yang mau mengalah, hanya membuang waktu dan membuatku terlihat seperti orang yang gampang naik pitam. Candle light dinner di pinggir pantai, benar benar lawakan hebat mengalahkan Raditya Dika.”
                
        Emosi Vito masih sangat labil setelah mengetahui bahwa kekasihnya telah berselingkuh. Sebagai pria yang umunya berpikir secara logika, kesalahan seperti itu sangat tidak bisa dimaafkan tapi dia pun tak dapat membohongi dirinya sendiri bahwa dia sangat mencintai kekasihnya. Namun sekarang dia masih belum mengerti apa yang harus dia lakukan nanti malam, apakah harus bertindak tegas atau mungkin harus bertindak layaknya peri. Sedikitpun tak ada terlintas dalam benaknya untuk berdandan spesial demi dinner nanti, bergaya seperti biasa dengan kaos dan sepatu kets sudah sangat cukup baginya.
                
        Vito terdiam dalam lamunannya, pikirannya masih bergerak tak karuan. Dia mengambil handphone yang tergeletak diatas lantai, kemudian secara random dia tiba tiba saja ingin menelfon kekasihnya.
                
        “Teeett.... Teetttt...” (Suara telfon tersambung) selang beberapa detik terdengar suara dari sebrang gagang telfon.
                
           Vito        :               Aku cuma mau mastiin nanti malem jadi.
                
           Vito        :               Kita ketemuan aja di sana.
                
           Vito        :               Inget ya, jam 8 on time sudah di sana.
                
           Vito        :               Sampai jumpa.


Dinda

          “Tak masalah jika memang tidak bisa menjemput, wanita aku harus mandiri kan tak boleh bergantung pada orang lain. Jarak rumahku dan tempat dinner tak terlalu jauh, mungkin setengah jam lagi aku bisa berangkat ke sana.”
                
         Layaknya wanita pada umumnya Dinda masih saja mempadu padankan pakaian apa yang harus dipakai malam ini, padahal sebelumnya dia sudah menentukan gaun hitam terusan panjang adalah pilihan tepat. “Seperti Audrey Hepburn, malam ini aku harus terlihat anggun seperti Audrey Hepburn”, ucapnya dalam hati seperti motivasi. Pilih pilih baju memang sejam tapi tetap saja outfit yang dipilih adalah gaun hitam yang sebenarnya telah menjadi pilihan pertama sejak tadi siang.
                
         Waktu sudah menunjukan pukul setengah delapan malam, dengan sedikit terburu buru Dinda menjalankan mobilnya, dia sangat takut bila kekasihnya bete karna telat. Dengan sedikit ragu dia mengetik line, setidaknya ini antisipasi jika ternyata dia telat datang ke restoran.
                
         “Aku baru otw, tadi kelamaan dandan. Maaf yaa.”


Vito
                
      Jam sudah menunjukan pukul 7.30 tapi vito masih juga belum beranjak dari tempat tidurnya meskipun sudah berpakaian yang menurutnya sangat keren dengan padanan converse butut kesayangannya. Dia terlihat masih menatap nanar keatas lampu kamar, pikirannya masih kosong. Semuanya masih dipenuhi bagaimana sakit hatinya dia atas perbuatan kekasihnya yang sangat “tai” menurutnya. Tiba tiba saja dia menjadi ragu apakah harus datang ke sana atau tidak, ketegasan yang coba dia tunjukan akhir akhir ini seakan diuji oleh kuatnya rasa hati. Suasana hening selama dua sampai 3 menit sebelum akhirnya dia mengambil handphone kemudian mengetik pesan kepada kekasihnya.
                
         “Sudah jalan? Maaf telat, sebentar lagi aku jalan.”


Dinda
                
      Dinda sampai ke restoran dengan tepat waktu, jalanan lancar tak seperti biasanya sepertinya malam ini keberuntungan sedang berpihak kepadanya. Dress hitam terusan panjang dengan heels hitam membuat penampilannya terlihat sangat anggun, make up natural yang menunjang betuk pipinya yang cantik membuatnya terlihat sangat sempurna malam ini. Penampilan sempurna untuk malam yang sangat spesial dipinggir pantai, “ohhh betapa beruntungnya aku memiliki semua ini.”
                
        Dengan anggun dia duduk di tempat yang telah dipesan oleh kekasihnya. Sebuah tempat romatis dengan pemandangan lampion yang menerangi pantai, cukup dingin tapi dengan semua perasaan berbunga, cuaca seperti ini tidak masalah baginya. Dengan tenang dia masih menunggu kekasihnya datang, mungkin pekerjaan di kantor membuatnya datang terlambat malam ini.
                
         20 menit kemudian...
                
      Tiupan angin serasa merasuk menembus gaun anggunnya, tak biasanya kekasihnya datang terlambat seperti ini. Perasaan Dinda makin tak menentu upaya untuk terus sumringah semakin luntur karna hempasan angin malam, rasa kecewa dan penasaran tiba tiba saja datang menyelimuti. Dengan perlahan dia mengambil handphone yang tersimpan dari dalam tas untuk menelpon kekasihnya tapi percuma, tiga kali sambungan tak ada jawaban. Perlahan dia mengetik line yang ditujukan untuk kekasihnya.
                
         Dinda    :               Kamu dimana?
                
         Dinda    :               Kok belum dateng?


Vito
                
        “Maceeet, maceeet dan macet. Tak biasanya jalan dari rumah ke restoran ini begitu macet separah itu. Telah deh 15 menit.” Gerutu Vito.
                
         Dengan santai dia berjalan memasuki restoran, apalagi gadis manis dengan gaun merah hati pasti sedang menunggu kedatangannya saat ini. Dia bertanya sebentar kepada waitress, yang langsung menunjukan tempat yang telah dia pesan. Sebuah tempat yang ternyata cukup romantis dengan lampion yang berjejer menerangi lautan malam, cuaca yang dingin dengan alunan musik jazz membuat suasana random seperti romantis campursari. Perlahan dia duduk di tempat yang telah dia pesan, memandangi laut sebentar kemudian mengecek jam yang teryata telah menunjukan pukul 8.30. 
                
       Suasana di restoran ini masih sangat sepi, hanya ada empat pasangan yang sedang candle light dinner yang rata umurnya mungkin sekitar 40 tahunan. Hampir telat 30 meit tapi nyatanya keasihnya juga belum terlihat batang hidungnya. Dengan cepat dia segera menghubungi kekasihnya.
                                                                                                

                                                                       *****

Vito        :               Kamu dimana?

Dinda    :               30 menit aku di sini, kamu kemana?

Vito        :               Jangan ngaret, sudah 30 menit ini.

Dinda    :               Telfon aku angkat doong.

Vito        :               Jalanan macet, cepetan ke sini aku sudah nungguin.

.............................

Dinda    :               Aku sendirian di sini.

Vito        :              Aku sendiri nih, kamu mau dateng apa ngga?

Dinda    :               Kamu maunya apa sih.

Vito        :              Jangan main main deh.

................................
                                                                                                
                                                                        *****

Dinda
                
              “Okee. Ini bukan akhirnya dari segala. Hidup berawal saat meninggalkan comfort zone kan?” Ucap Dinda dalam hati untuk menenangkan perasaannya yang tidak karuan.
                
           Kekasihnya tiba tiba saja berubah pikiran, dia tak ajdi datang menenuminya di tempat yang telah dijanjikan, dinner romantis berubah menjadi mengenaskan. Bukan hanya membatalkan tapi juga kekasihnya memutuskan hubungan melalui line, dengan alasan klasik “Aku bosan, kita putus aja.” Cukup menyakitkan tapi dia menyadari mungkin ini adalah balas dendam yang sangat spesial yang telah disiapkan oleh kekasihnya.
                
          Sakit terlanjur sakit, perasaan wanita tak bisa berbohong walau mencoba tegar, air mata pasti akan jatuh pula dari pelupuk mata. Hanya desiran angin, ombak dan sebatang rokok yang menemani malam hari ini. Dia menangis pelan kearah lautan yang luas dengan menghisap sebatang rokok yang terasa pahit.


Vito
                
           End of conversasion dan chat diakhiri dengan sedikit menyakitkan bagi Vito. Ternyata kekasihnya tak akan datang pada candle light dinner, cukup komplit keributan antara dia dan kekasihnya via line semua kata kata kasar dan ungkapan tak manusiawi keluar seperti kotoran pagi hari. Diluar dugaan, kekasihnya memutuskan hubungan dengan alasan, “bosan dengan rutinitas yang dilakukan bareng kamu.”
                
          “Hah, cewek brengsek!”
                
       Dia hanya bisa memandangi langit malam sembari menikmati cuaca dingin yang disajikan dengan suara debur ombak. Semua orang di sini memeliki pasangannya masing masing, berbeda dengannya yang duduk bengong sendirian.

Namun entah karna tak menyadari atau dari tadi hanya sibuk dengan urusannya, dia baru melihat seorang wanita yang persis duduk dihadapannya juga sedang sendiri. Wanita itu terus menyeka air matanya dengan tisu yang tersedia diatas meja sembari terus menghisap batang rokok. Wanita itu itu sepertinya terlihat sedang mengalami hal yang tidak mengenakan. Seorang wanita cantik sedang menangis dengan memandangi lautan, pasti sedang mengalami malam yang sangat berat, terka Vito.

“Padahal gaun hitam dan make up naturalnya pasti akan membuatnya terlihat tiga kali lebih cantik jika tersenyum.” Pikir Vito.

                                                                         *****
               
Vito dan Dinda adalah dua orang kebetulan berada di tempat yang sama, mereka tak mengenal satu sama lain namun menjalani kisah yang sama. Semoga ombak dan angin malam dapat merubah segalanya. Malam ini mungkin menjadi malam yang sangat indah bagi semua orang tapi dibalik itu ada juga segilintir orang yang tidak mengalami malam yang baik. Memang semua telah berakhir tapi jika ada sebuah akhir berarti kita harus siap memulai suatu yang baru. 

                                                              ******



Judul terinspirasi dari film Guess Who’s Coming to Dinner (1967)

Selasa, 01 Oktober 2013

Manusia Es


by Haruki Murakami



Aku menikahi Manusia Es


       Pertama bertemu dengannya di sebuah hotel di ski resort, tempat paling sempurna untuk menemukan Manusia Es, memang. Lobi hotel begitu riuh dengan anak muda, tapi Manusia Es duduk sendiri di kursi sudut yang letaknya paling jauh dari perapian, diam membaca buku sendirian. Meski sudah hampir malam, tapi cahaya dingin pagi awalwinter terlihat berpendar mengitarinya.


        “Lihat! Itu si Manusia Es,” bisik temanku.

        Waktu itu, aku sungguh tak tahu makhluk apa itu Manusia Es. Temanku juga. “Dia pasti terbuat dari es. Itu sebabnya orang-orang menyebutnya Manusia Es.” Temanku mengatakan hal tersebut dalam nada serius seolah dia sedang membicarakan hantu atau seseorang dengan penyakit menular.

         Manusia Es tinggi, tampak muda, tegap, sedikit bagian rambutnya tampak putih seperti segenggam salju yang tak meleleh. Tulang pipinya tajam meninggi seperti batu yang beku, dan jarinya embun beku putih yang seolah abadi. Namun begitu, Manusia Es terlihat seperti manusia normal. Dia tidak seperti lelaki yang bisa kau sebut tampan memang, tapi dia terlihat begitu menarik—tergantung dari bagaimana kau melihatnya. Dalam suatu kesempatan, sesuatu tentang dia menusukku sampai ke hati. Aku merasakan hal tersebut terutama saat memandang matanya. Tatapannya senyap dan transparan seperti serpih cahaya dalam untaian tetes salju di pagi musim dingin. Seperti kilatan kehidupan dalam tubuh makhluk buatan.

       Aku berdiri beberapa saat memperhatikan si Manusia Es dalam jarak dekat. Dia tak menoleh. Dia hanya duduk diam, tak bergerak. Membaca bukunya seakan tiada seorang pun yang ada di sana selain dirinya….

      Keesokan paginya, Manusia Es masih berada di tempat yang sama, membaca buku dengan cara yang persis sama. Ketika aku melangkah ke ruang makan untuk makan siang, dan ketika aku kembali dari bermain ski dengan teman-teman pada malam tersebut, dia masih ada di sana, mengarahkan tatapan yang sama pada halaman-halaman buku yang sama. Hal serupa terjadi sehari setelah itu. Bahkan ketika matahari tenggelam rendah, dan jam terlambat tumbuh, ia duduk di kursinya, setenang adegan musim dingin di luar jendela.

       Pada sore di hari keempat, aku me-reka berbagai alasan supaya bisa tidak turut keluar menelusur lereng. Aku tinggal di hotel sendiri dan mondar-mandir di lobi yang sekosong kota hantu. Udara di lobi terasa hangat dan lembab, dan ruangan itu memiliki bau aneh yang sedih mematahkan hati—bau salju yang terlacak di dalam sol sepatu yang sekarang tengah mencair di depan perapian.

      Aku menatap keluar jendela, berdesir saat melihat halaman-halaman surat kabar, dan sekonyong mendekat ke Manusia Es, mengumpulkan keberaniann untuk berbicara.

      Aku cenderung pemalu dengan orang asing, kecuali memiliki alasan yang sangat bagus, aku biasanya tak mudah berbicara dengan orang yang tak kukenal. Tapi dengan Manusia Es aku merasa memiliki dorongan untuk berbincang, tak peduli tentang apa pun itu. Ini malam terakhirku di hotel tersebut, dan jika kubiarkan kesempatan ini pergi, aku takut aku takkan punya kesempatan lagi untuk bisa berbicara dengan dia: pria es, si Manusia Es itu….

       “Nggak main ski?” tanyaku padanya, sesantai mungkin.

      Dia memalingkan wajah perlahan seolah mendengar suara di kejauhan. Dia menatapku, lalu dengan tenang menggeleng. “Aku tidak bermain ski,” ucapnya. “Hanya ingin duduk di sini, membaca dan melihat salju.”

     Kata-katanya membentuk awan putih di atas kepala, seperti balon-balon kata keterangan di komik strip. Aku benar-benar bisa melihat kata-kata itu mengambang di udara, sampai ia menggosok mereka pergi dengan jarinya yang beku. Aku tak tahu lagi apa yang harus dikatakan selanjutnya. Aku hanya tersipu dan berdiri di sana.

      Manusia Es menatap mataku dan tampak sedikit tersenyum. “Mau duduk?” tanyanya. “Kau tertarik padaku, kan? Ingin tahu apa itu Manusia Es?” Ia tertawa. “Tenang, tak ada yang perlu dikhawatirkan. Nggak akan pilek kok kalau cuma bicara denganku….”

      Kami duduk berdampingan di sofa di sudut lobi dan menyaksikan butiran-butiran salju menari di luar jendela. Aku memesan cokelat panas dan meminumnya, sedang Manusia Es tidak memimun apa-apa. Rupanya dia tidak lebih jago dalam bercakap-cakap dari aku. Dan bukan hanya itu, kami juga tak memiliki kesamaan apa pun untuk dijadikan bahan obrolan. Awalnya, kami berbincang tentang cuaca. Lalu kami ngobrol tentang hotel.

       “Anda di sini sendirian?” tanyaku pada si Manusia Es.

       “Ya,” jawabnya.

      Dia bertanya, apakah aku suka main ski? “Nggak terlalu,” kataku. “Aku hanya datang karena teman-temanku ngotot mengajakku. Sesungguhnya aku benar-benar jarang main ski….”

     Ada banyak hal yang sebenarnya sangat ingin aku tahu dari Manusia Es. Benarkan tubuhnya sungguh-sungguh terbuat dari es? Apa yang dia makan? Di mana dia tinggal di musim panas? Apakah dia punya keluarga? Ya, hal-hal semacam itulah. Tetapi Manusia Es tidak bicara tentang dirinya, dan itu membuatku menahan diri untuk tidak mengajukan pertanyaan-pertanyaan pribadi. Sebaliknya, Manusia Es malah berbicara tentang aku. Rasanya sulit dipercaya, tetapi entah bagaimana ia tahu semuanya. Dia tahu anggota keluargaku, dia tahu umurku, tahu apa yang kusuka dan yang tidak, tahu keadaan kesehatanku, tahu sekolah yang kumasuki dan tahu juga teman-teman yang biasa kukunjungi. Dia bahkan tahu hal-hal yang telah terjadi begitu jauh di masa lalu yang aku sendiri telah lupa.

       “Saya tak mengerti,” kataku, bingung. Aku merasa seakan-akan aku telanjang di depan orang asing. “Bagaimana kamu bisa tahu begitu banyak tentang saya? Bisa baca pikiran orang ya…?”

        “Nggak, saya nggak bisa baca pikiran atau apa pun yang semacam itu. Cuma tahu saja,” ucap si Manusia Es. “Saya tahu begitu saja. Seakan-akan saya jauh melihat ke dalam es, dan, ketika saya melihat Anda seperti ini, hal-hal tentang Anda menjadi terlihat begitu jelas bagi saya.”

         Lalu aku bertanya, “Bisakah kamu melihat masa depan?”

      “Saya nggak bisa melihat masa depan,” kata Manusia Es perlahan. “Saya sama sekali nggak mampu mengambil keuntungan dari masa depan. Lebih tepatnya…, saya nggak punya konsep masa depan karena es tak memiliki masa depan. Semuanya hanya masa lalu yang terlampir di dalamnya. Dengan cara yang sangat bersih dan jelas, es bisa mengawetkan banyak hal dan membuatnya seolah-olah masih hidup, meskipun itu masa lalu. Itulah esensi es,” terangnya.

       “Itu bagus,” ucapku sambil tersenyum. “Benar-benar lega mendengarnya. Setelah ini… aku pun sungguh-sungguh tak ingin tahu bagaimana masa depanku.”

***

     Kami bertemu lagi beberapa kali setelah aku kembali ke kota. Akhirnya, kami mulai berkencan. Kami tidak pergi ke bioskop, atau ke cafĂ©. Kami bahkan tidak pergi ke restoran. Manusia Es jarang makan. Kita paling sering duduk-duduk di bangku taman dan berbincang tentang banyak hal selain tentang Manusia Es sendiri.

       “Kenapa begitu?” Sekali aku pernah bertanya. “Mengapa kamu tidak mau bicara tentang dirimu? Aku ingin tahu lebih banyak tentang kamu. Di manakah kamu dilahirkan? Seperti apa rupa orang tuamu? Bagaimana ceritanya hingga kamu menjadi Manusia Es?”

     Manusia Es menatapku sekejap lalu menggelengkan kepalanya. “Aku tidak tahu,” katanya pelan dan jelas, mengembuskan embusan gelembung kata putih ke udara. “Aku tahu banyak tentang masa lalu hal-hal lain, tapi aku sendiri tidak punya masa lalu. Aku tidak tahu di mana aku lahir, atau seperti apa orang tuaku. Aku bahkan tidak tahu apakah aku memiliki orang tua. Aku juga tidak tahu berapa umurku, dan bahkan aku tidak tahu apakah aku memiliki umur.” Manusia Es ternyata sesepi gunung es di malam muram….

***

       Aku serius jatuh cinta pada Manusia Es. Manusia Es pun mencintaiku apa adanya—di masa kini, tanpa masa depan. Pada gilirannya aku pun mencintai Manusia Es apa adanya—di masa sekarang, tanpa masa lalu. Kami bahkan mulai berbicara tentang pernikahan.

       Aku baru berusia dua puluh, dan Manusia Es adalah lelaki pertama yang benar-benar kucintai. Saat itu, aku tidak bisa membayangkan apa artinya mencintai seorang Manusia Es. Tapi bahkan jika aku jatuh cinta pada pria normal sekalipun, aku ragu akankah aku bisa memiliki ide yang jelas tentang cinta?

          Ibu dan kakak perempuanku tentu saja menentang ide menikahi Manusia Es.

       “Kamu terlalu muda untuk menikah,” kata mereka. “Selain itu, kamu juga tidak tahu apa-apa tentang latar belakangnya. Kamu bahkan tidak tahu di mana Manusia Es dilahirkan dan kapan ia lahir. Bagaimana mungkin kita bisa bilang ke saudara dan kerabat kita kalau kamu menikahi orang semacam itu? Lagi pula, yang kita bicarakan ini Manusia Es! Apa yang akan kamu lakukan jika tiba-tiba ia mencair, hah? Kamu nggak paham kalau pernikahan itu memerlukan komitmen yang ‘riil’?!”

    Biar bagaimanapun, kekhawatiran mereka tidak beralasan. Karena pada akhirnya, Manusia Es tidak pernah benar-benar terbuat dari es….

***

       Dia tidak akan meleleh, tak peduli betapa hangat kondisi sekitar di mana ia berada. Dia disebut Manusia Es karena tubuhnya sedingin es, tapi apa yang membuatnya begitu, jelas bukan es. Itu bukan jenis dingin yang bisa menghapus panas orang lain. Jadi… kami menikah.

    Tidak ada yang memberkati pernikahan itu. Tidak ada teman atau kerabat yang berbahagia untuk kami. Kami tidak mengadakan upacara, dan, ketika datang waktunya bagiku untuk memiliki nama keluarga yang terdaftar, Manusia Es tak memilikinya. Kami hanya memutuskan bahwa kami berdua menikah. Kami membeli kue kecil dan makan bersama, dan itulah pernikahan kami yang sederhana.

       Kami menyewa subuah apartemen kecil, dan Manusia Es mencari nafkah dengan bekerja di sebuah fasilitas penyimpanan daging dingin. Dia bisa mengambil sejumlah rasa dingin dari sana, dan tak pernah merasa lelah tak peduli seberapa keras ia bekerja. Majikan suamiku sangat menyukainya, dan membayar gaji Manusia Es lebih tinggi dari karyawan lain.

      Kami berdua hidup bahagia tanpa mengganggu atau diganggu siapa pun. Ketika kami bercinta dan Manusia Es menggumuliku, aku melihat dalam pikiranku, sepotong es yang kuyakin ada di suatu tempat di kesendirian yang tenang.

        Kupikir Manusia Es mungkin tahu di mana es tersebut berada. Es yang dingin, beku, dan keras, sebegitu kerasnya hingga kupikir tidak ada yang bisa melebihi kekerasannya. Itulah lempengan es terbesar di dunia. Terletak di suatu tempat yang sangat jauh, dan rupanya manusia Es tengah membagikan kenangan tersebut padaku dan pada dunia.

        Awalnya, aku kerap bingung bila Manusia Es mengajak bercinta. Tapi, setelah beberapa waktu, aku menjadi terbiasa. Aku bahkan mulai menyukai bercinta dengan Manusia Es.
     Pada malam hari, diam-diam kami berbagi potongan es terbesar di dunia, di mana ratuan juta tahun masa lalu dunia, tersimpan di dalamnya.

***

      Dalam kehidupan pernikahan kami, tidak ada masalah untuk “berbicara”. Kami saling mencintai begitu dalam, dan tak ada yang lebih penting dari itu.

       Kami ingin punya anak, tapi itu tampaknya tak mungkin. Ini lebih karena, mungkin… gen manusia dan gen Manusia Es tidak bisa digabungkan dengan mudah. Dalam kasus semacam ini, karena kami tidak memiliki anak, aku memiliki lebih banyak waktu.

      Aku menyelesaikan semua pekerjaan rumah di pagi hari, dan kemudian tidak ada lagi yang bisa kukerjakan. Aku tidak punya teman untuk bicara atau pergi bersama, dan aku tak memiliki banyak hal yang bisa dilakukan dengan para tetangga. Ibu dan kakak perempuanku masih marah dan tidak menunjukkan tanda-tanda ingin bertemu denganku lagi. Dan meskipun bulan-bulan berlalu, dan orang-orang di sekitar kami mulai berbicara dengan Manusia Es, jauh di dalam hati, mereka masih belum bisa menerima keberadaan Manusia Es atau aku—yang telah menikahinya. Kami berbeda dari mereka, dan tak ada jumlah waktu yang dapat menjembatani kesenjangan itu. Jadi, sementara suamiku Manusia Es bekerja, aku tinggal sendiri di rumah, membaca buku dan mendengarkan musik.

      Biar bagaimanapun aku cnderung lebih suka tinggal di rumah dan aku tak keberatan sendirian. Hanya saja aku masih muda, dan melakukan hal yang sama hari demi hari akhirnya mulai terasa mengganggu. Bukan kebosanan yang menyakitkan, tapi pengulangan. Itu sebabnya suatu hari aku berkata pada suamiku, “Bagaimana kalau kita pergi berdua? Sebuah perjalanan. Untuk ganti suasana saja….”

        “Sebuah perjalanan?” tukas Manusia Es. Dia menyipitkan mata dan menatapku. “Untuk apa kita melakukan perjalanan? Tidakkah kau bahagia di sini bersamaku?”

       “Bukan itu,” kataku. “Tentu saja aku senang bersamamu, tapi aku bosan. Aku merasa ingin pergi ke suatu tempat yang jauh dan melihat hal-hal yang belum pernah kulihat. Aku ingin tahu bagaimana rasanya menghirup udara baru. Kamu mengerti kan maksudku? Lagi pula… kita belum berbulan madu. Kita punya tabungan dan kamu punya hari libur yang harus kamu isi. Bukankah ini cuma masalah waktu saja? Kita akan pergi ke suatu tempat, dan segalanya akan mudah serta menyenangkan.”

      Manusia Es menghela napas bekunya dalam-dalam. Napas beku yang mengkristal di udara diiringi sedikit suara gemerincing. Dia menyusurkan jejarinya yang panjang bersama-sama di lutut. “Baiklah, jika kamu benar-benar ingin melakukan perjalanan, aku tak keberatan. Aku akan turut pergi ke mana pun kamu pergi andai itu membuatmu bahagia. Tapi, kamu tahu ke mana kamu mau pergi?”

    “Bagaimana kalau kita mengunjungi Kutub Selatan?” kataku. Kupilih Kutub Selatan karena aku yakin bahwa Manusia Es akan tertarik pergi ke suatu tempat yang dingin. Dan, jujur saja, aku memang selalu ingin melakukan perjalanan ke sana. Aku ingin mengenakan mantel bulu yang bertopi indah, aku ingin melihat aurora australis dan juga kawanan penguin yang sibuk bermain. Namun, saat kukatakan hal tersebut, suamiku menatapku lekat, tanpa berkedip, dan aku merasa seolah-olah sebongkoah es menusukku, menembus bagian belakang kepalaku.

     Manusia Es diam sejenak, dan akhirnya berkata dengan suara yang seperti salju berdentingan, “Baiklah kalau itu yang kau inginkan. Mari kita pergi ke Kutub Selatan…. Kau sungguh-sungguh yakin ini yang kau inginkan?”

       Entah kenapa aku tak bisa segera menjawab. Suamiku, Manusia Es, menatapku begitu lama, sedang di dalam kepalaku, aku seperti mati rasa. Lalu aku mengangguk.

***

       Seiring waktu berlalu, aku mulai menyesali gagasan pergi ke Kutub Selatan. Aku tak tahu persisnya kenapa, tapi begitu aku mengucapkan kata “Kutub Selatan”, sesuatu berubah dalam diri suamiku. Matanya menjadi lebih tajam, napas yang keluar jadi lebih putih, dan jejarinya terlihat semakin beku. Setelah itu dia tak berbicara padaku lagi dan ia juga berhenti makan sepenuhnya. Semua itu tentu saja membuatku merasa sangat tidak nyaman.

      Lima hari sebelum waktu berangkat, kubangun keberanian dan kukatakan pada suamiku, “Mari kita lupakan Kutub Selatan. Ketika kupikir hal itu sekarang, aku sadar kalau saat ini akan menjadi sangat dingin di sana, dan itu tidak bagus untuk kesehatanku. Jadi aku mulai berpikir mungkin lebih baik kalau kita pergi ke suatu tempat yang lebih biasa. Bagaimana kalau Eropa? Mari kita liburan di Spanyol. Kita bisa minum anggur, makan paella, dan melihat adu banteng atau sesuatu yang….”

          Tapi suamiku tak menaruh perhatian, ia menatap angkasa beberapa lama lalu berkata, “Tidak, aku tidak terlalu ingin pergi ke Spanyol. Spanyol terlalu panas bagiku dan kotanya terlalu berdebu. Makanannya terlalu pedas. Selain itu, kita sudah membeli tiket ke Kutub Selatan. Dan kita punya mantel bulu, dan sepatu bootberbulumu sudah berbaris. Tak mungkin kita membuangnya ke tempat sampah. Sekarang kita sudah sejauh ini, kita tidak bisa tidak pergi….”

        Alasan sesungguhnya aku mengajukan ide Eropa adalah bahwa sebenarnya aku takut. Aku memiliki firasat bahwa jika kami pergi ke Kutub Selatan sesuatu akan terjadi, dan sesuatu itu tak akan mungkin bisa di-undo. Tidak bisa diulang-kembalikan lagi.

        Belakangan aku mengalami mimpi buruk, dan itu terjadi berulang-ulang. Selalu mimpi yang sama. Aku keluar berjalan-jalan sendiri lalu terjatuh begitu saja ke jurang yang dalam. Jurang terbuka di dasar tanah. Tak seorang pun menemukanku. Aku membeku di bawah sana. Diam dalam es, menatap nyalang ke langit di atas permukaan. Aku sadar, tapi aku tidak bisa bergerak, bahkan untuk menggerakkan jari pun aku tak mampu. Dari waktu ke waktu aku sadar aku telah menjadi masa lalu. Aku seolah ada dalam adegan yang bergerak mundur, menjauh dari mereka; orang-orang tersebut. Lalu sekonyong aku terbangun, dan saat terbangun, aku menemukan Manusia Es terbaring tidur di sampingku.

      Suamiku, Manusia Es yang selalu tidur tanpa bernapas, Manusia Es yang seperti manusia mati….

***

       Kini aku merindukan Manusia Es yang dulu pernah kutemui di skiresort. Di sini tak mungkin lagi keberadaannya menjadi perhatian siapa pun. Semua orang di Kutub Selatan menyukai Manusia Es, dan anehnya, orang-orang itu tak mengerti sepenggal pun kata yang kuucapkan. Sambil menguapkan napas putih mereka, mereka akan saling menceritakan lelucon dan berdebat serta menyanyikan lagu dalam bahasa mereka yang tak kumengerti, sementara aku duduk sendirian di kamar kami, memandang langit abu-abu yang sepertinya tak mungkin akan menjadi cerah dalam beberapa bulan mendatang. Pesawat terbang yang membawa kami ke sana sudah lama hilang, dan landasan pesawat kini tertutup lapisan es keras, sekeras hatiku.

        “Musim dingin telah datang,” ujar suamiku. “Ini akan menjadi musim dingin yang sangat panjang. Takkan lagi ada pesawat atau kapal. Semuanya telah membeku. Kelihatannya kita harus tinggal di sini sampai musim semi berikutnya,” begitu ucapnya.

      Sekitar tiga bulan setelah kami tiba di Kutub Selatan, aku baru sadar kalau aku hamil. Anak yang akan kulahirkan pastilah Manusia Es kecil, si junior—aku tahu itu! Rahimku sudah beku dan cairan ketubanku adalah lumpur es. Aku bisa merasakan dingin dalam diriku. Anakku akan menjadi seperti ayahnya, memiliki mata seperti tetesan air beku dan jejari yang juga kaku beku. Keluarga baru kami tidak akan pernah lagi menginjakkan kaki di luar Kutub Selatan.

      O, aku baru tersadar. Masa lalu abadi, teramat berat dan melampaui semua pemahaman, mencengkeram begitu erat. Kita tak akan mampu mengguncangnya.

       Sekarang… hampir tak ada hati tertinggal padaku. Kehangatanku telah pergi teramat jauh, dan terkadang aku bahkan lupa kalau kehangatan itu pernah ada. Di tempat ini, aku lebih kesepian dari siapa pun di dunia. Dan ketika aku menangis, suamiku sang Manusia Es akan mendekat dan mencium pipiku. Mengubah air mataku menjadi es. Dan dengan lembut dia akan mengambil air mata yang membeku di tangannya itu dan meletakkannya di ujung lidah, “Lihat betapa aku mencintaimu,” katanya.

     Dia mengatakan hal yang sesungguhnya, tapi angin menyapunya ke ketiadaan, meniupkan kata-kata putihnya kembali dan kembali ke masa lalu…. (*)




Cerpen ini diterjemahkan dari bahasa Jepang ke bahasa Inggris oleh Richard L. Peterson. Lalu, diterjemahkan dari bahasa Inggris ke bahasa Indonesia oleh Ucu Agustin.