Sore ini tak
berjalan seperti biasanya. Kulihat jam di tanganku sudah menunjukan waktu pukul
lima, tapi si cantik itu belum juga muncul di tempat ia biasa berdiri di pojok
kiri halte. Hampir satu jam aku di hatle ini hanya untuk melihat wanita cantik dengan
rambut panjang bergelombang dan berkacamata yang selalu aku temui sejak dua
minggu terkahir, saat jam pulang kantor. Pertama kali aku melihat wanita ini
tepat pukul lima lebih lima belas sore, di hari Rabu dua minggu lalu. Wanita
itu memakai blus coklat dengan dalaman kemeja putih bergaris biru, yang
membuatnya terlihat elegan. Selain itu, rambut panjangnya yang bergelombang
ditambah kacamata berframe hitam membuat penampilannya begitu sensual dan menggemaskan.
Aku juga ingat, saat itu ia memakai high heels yang membuat tingginya hampir
menyamaiku. Namun kuperkiraankan ia memiliki tinggi sekitar 165 sentimeter, lebih
pendek lima sentimeter dariku.
Di hari
pertama aku menemuinya, tak ada yang bisa kuucapkan selain gumam dalam hati
mengenai betapa cantiknya bidadari yang baru saja kutemui. Aku terus memperhatikannya
tanpa memperdulikan sekelilingku, walaupun ia sama sekali tak menoleh kearahku.
Seperti yang bisa diperkirakan, hari hari selanjutnya aku tak pernah absen
memikirkan wanita misterius itu. Dari mata terbuka hingga terpejam, wajahnya
selalui berputar di benakku hingga tanpa kusadari aku orgasme karna hal itu.
Hari ke
delapan, aku akhirnya bisa berbicara dengannya walau hanya tiga kalimat saja.
Sore itu, hujan turun dengan intensitas yang tidak terlalu deras, tapi untungnya
aku sudah menyiapkan payung. Sesampai di halte, aku menunggu cukup lama
kedatangan wanitaku sampai jam tanganku menunjukan pukul setengah enam sore. Tak
lama ia akhirnya datang dengan keadaan yang membuatku cukup terkejut, karna ia benar
benar sangat basah akibat hujan. Dari jarak lima meter aku terus memandanginya,
rasa kasihan dan kagum tergabung menjadi satu dikepalaku. Karna terus
menatapnya, akhirnya aku menyadari dua hal penting. Pertama, ternyata ia tak
sama sekali tak membawa payung dan sepertinya ia memaksakan diri berjalan ke
halte, maka tak heran jika ia sangat basah sekujur tubuh . Kedua, mataku tak
bisa beranjak dari dua buah dada yang tercetak jelas karna kemejanya yang
basah. Kedua buah dada yang sangat indah dan besar, perkiraanku ia mengenakan
bra ukuran 34 dengan cup B.
Mataku masih
saja tak berpaling darinya hingga kusadari tiba tiba saja ia berjalan kearahku, terang saja itu membuatku
salah tingkah. Aku pun langsung memasang wajah senormal mungkin seperti sedang
tak terjadi apa apa sebelumnya. Dan benar saja, si cantik itu berhenti tepat
disebelah kiri aku berdiri. Kuperkirakan saat itu jarak kami hanya sekitar sepuluh
sentimeter saja, aku bisa dengan jelas mendengar gigi nya sedang menggigil
menahan dingin.
“Kau punya
korek?”, Wanita itu tiba tiba saja berbicara kepadaku.
“Apa?”, Cukup
kaget aku mendengar wanita itu berkata kepadaku. Namun karna gugup, aku hanya
kata “Apa” yang keluar dari mulutku.
“Kau punya
korek?”, Ia kembali mengulangi kalimatnya.
“Korek? Sayang
sekali aku tidak merokok.”
“Oh, oke
terima kasih. Have a Nice Day.” Ujar wanita itu sambil melepaskan kacamatanya
yang berembun karna percikan air hujan.
“Iya, sama
sama.”
Kalimat ini
menjadi kalimat terkahir dariku di hari itu, total aku hanya bisa ngobrol
bersama wanita itu sebanyak tiga kalimat saja. Walaupun sebenarnya itu tak bisa
disebut ngobrol tapi tetap saja aku tak bisa berhenti memikirkan itu. Wajahnya,
buah dadanya dan suara merdunya menjadi bunga tidurku malam itu. Esoknya, aku
pun tetap melakukan apa yang bisa kulakukan di hari sebelumnya, hanya memandanginya
saja. Hari berlalu tanpa ada hasil apapun, nomor telfonnya aku tak tau bahkan
namanya saja aku hanya menerka nerka.
Hari hari
berlalu, aku makin tak bisa menutupi perasaanku. Aku benar benar ingin
berbicara dengannya, setidaknya aku bisa mengetahui namanya. Maka kubulatkan
tekat dan meyakinkan diri bahwa aku harus berbicara dengannya secepatnya.
Hari
perkenalan itu pun tiba, hari ini aku harus mengetahui namanya. Namun kulihat
jam di tangaku, 15 menit lagi waktu menunjukan tepat pukul enam sore tapi wanita
itu belum juga juga datang ke halte. Aku mulai berpikiran aneh aneh, mungkin
dia diculik dijalan atau mungkin dia pulang diantar kekasihnya, begitu banyak
pikiran negatif muncul silih berganti di kepalaku.
Dan akhirnya pukul
enam tepat, akhirnya si cantik muncul dengan wajahnya yang sangat lusuh penuh
kelelahan. Terlihat dari wajahnya, sepertinya ia baru saja mengalami hal berat
hari ini. Sejenak aku hampir saja mengurungkan niatku untuk berbicara dengannya
tapi aku terus berpikir, “Jika bukan hari ini, kapan lagi?”
Perlahan aku
menghampiri si cantik yang dari tadi hanya tertunduk tanpa semangat. Sejenak
aku terdiam merangkai kata yang ingin aku ucapkan kepadanya.
“Hai, ada apa?”
Ujarku dengan pelan.
Wanita itu
menoleh kearahku. Dari tatapannya aku tau, bahwa ia masih mengenalku. Seorang
yang sempat ia ajak bicara beberapa hari yang lalu.
“Oh, tak ada
apa apa.”
“Apa kau
yakin? Dari tadi aku melihatmu sepertinya ada yang tak beres.”
Wanita itu
hanya diam saja mendengar ucapanku. Aku teringat bahwa di dalam tas aku
menyimpan sebuah tissue, segera saja aku langsung mengambilnya dan kuberikan
kepada wanita itu. Kusodorkan tissue tersebut tepat kearahnya. Dengan sedikit
ragu dan perlahan ia mengambil tissue itu lalu mengusapkan ke sisi matanya yang
terhalang kacamata.
“Senja...”
Wanita itu
tiba tiba berkata yang membuatku sedikit bingung mendengar ucapan yang keluar
darinya.
“Namaku
Senja...” Ia melanjutkan ucapannya seraya mengulurkan tangan kanannya untuk
berjabat tangan denganku. Sedikit tak percaya, aku pun segera membalas uluran
tangannya. Aku bahkan tak menyangka sebelumnya jika bisa berjabat tangan
dengannya.
“Siapa namamu?”
Wanita itu kembali berkata padaku, yang terpaku hingga lupa untuk membalas
tanda perkenalan darinya.
“Oh iya maaf,
kau bisa memanggilku Kirana.” Dengan sedikit canggung aku menjawab jawaban dari
si cantik, yang baru kuketahui bernama Senja.
“Kau kerja
disekitar sini?” Tanya Senja kepadaku.
“Ya, begitu
lah.”
“Kutebak, kau
pasti bekerja di sebuah di gedung itu.”
Wajahnya yang tadi tertunduk tiba tiba saja terlihat sedikit sumringah, ia
bahkan menebak profesi dan lokasi kantorku dengan sangat tepat. Aku sedikit
terkejut dan sepertinya ia menyadari apa yang kurasakan.
“Ya, aku bisa
menebak dari blus dan rok ketat yang biasa kau kenakan tiap sore, selain itu id
card perusahaanmu juga sering terlihat nyelip di sela kemeja.”
Perkataan
Senja barusan membuatku semakin terkejut, aku tak menyangka ternyata ia juga
selama ini memperhatikanku bahkan sedetail itu. Ketelitiannya sangat berbanding
terbalik denganku, yang selama dua minggu ini hanya memperhatikan wajah cantik dan
dadanya yang besar.
“Sorry,
sepertinya aku harus perggi duluan.” Tanpa terasa bus yang selalu ditumpangi
Senja sudah tiba di halte. Ia Sambil menyalamiku ia, langsung bergegas beranjak
untuk masuk kedalam bus.
“Sampai ketemu
besok, Kirana.”
Ujar Senja
sebagai perkataan terakhir sebelum akhirnya ia masuk kedalam bus. Hanya
hitungan detik, Senja dan bus nya sudah menghilang dari hadapanku.
“Sampai jumpa besok...” Dalam hati aku
membalas ucapan terakhir Senja. Kurasa ini merupakan sebuah awal yang baik
untukku dan Senja, aku harap besok aku masih bisa bertemu dengannya di halte
ini.
*****