Wikipedia

Hasil penelusuran

Kamis, 29 Agustus 2013

On Seeing The 100% Perfect Girl One Beautiful April Morning



By Haruki murakami



           Iseng googling tentang penulis favorit gue satu ini, hingga akhirnya saya menemukan salah satu cerpennya yang sangat menarik. Kenapa cerpen ini menarik? Karna cerpen ini menceritakan tentang romance yang biasa terjadi, tentang lelaki yang tak mempunyai keberanian walaupun hanya untuk berkenalan. Kisah simple yang ditulis dengan gaya surealis khas Murakami. Dan gue mau share salah satu cerpen karya Murakami ini, ya sembari menyelesaikan suatu proyek- hehehee..



       
       Suatu pagi yang indah di bulan April, di jalan sempit di daerah fashion Harajuku di Tokyo, aku berpapasan dengan gadis yang 100 persen sempurna.

                                                                             *** 

          Sejujurnya, dia tidak begitu cantik. Dia tidak menonjol. Pakaian yang ia kenakan tidak istimewa. Bagian belakang rambutnya masih sedikit acak-acakan bekas bangun tidur. Dia sudah tidak muda lagi pula - mungkin mendekati 30 tahun, tidak bisa lagi dibilang sebagai seorang 'gadis'. Namun demikian, aku bisa tahu dari jarak 50 yard: dialah gadis yang 100 persen sempurna bagiku. Pada saat aku melihat dia, ada gemuruh di dalam dadaku dan mulutku terasa kering seperti padang pasir.
       
       Mungkin kau memliki tipe gadis tersendiri yang kau sukai - mungkin gadis dengan pergelangan kaki yang ramping, atau mata besar, atau jari lentik, atau bisa juga kau tertarik dengan alasan yang tak bisa kau jelaskan pada gadis yang menghabiskan waktu cukup lama memakan makanannya. Aku tentu saja juga punya ketertarikanku sendiri. Kadang-kadang di sebuah restoran, aku sering mendapati diriku tanpa sadar menatap seorang gadis di meja sebelahku hanya karena aku sangat menyukai bentuk hidungnya.

        Namun tidak satu pun yang bisa berkeras berkata bahwa gadis yang seratus persen sempurna bagi dirinya berasal dari satu tipe tertentu. Betapa pun aku suka hidung, misalnya, aku tidak bisa mengingat bentuk hidung gadis tersebut - atau bahkan apakah ia punya hidung sama sekali. Satu-satunya yang bisa kuingat dengan pasti adalah bahwa gadis itu tidaklah terlalu cantik. Itu sungguh aneh.

      "Kemarin di jalan aku berpapasan dengan gadis yang 100 persen sempurna," aku berkata pada seseorang.

           "Begitukah?" katanya. "Cantik?"

           "Tidak terlalu."

           "Tipe favoritmu, kalau begitu?"

       “Aku tidak tahu. Aku tidak bisa mengingat apa pun tentang dia - bentuk matanya ataupun bentuk dadanya."

           "Aneh."

           "Ya. Aneh."

        "Jadi," katanya, sudah mulai bosan, "apa yang kau lakukan? Bicara padanya? Mengikuti dia?"

          "Tidak melakukan apa-apa. Hanya berpasasan saja di jalan."

         
          Dia berjalan dari timur ke barat, dan aku dari barat ke timur. Saat itu benar-benar pagi bulan April yang indah.

       Aku harap aku bisa bicara dengannya. Setengah jam sudah cukup: hanya untuk menanyakannya tentang dirinya, menceritakan tentang diriku, dan - inilah yang benar-benar ingin kulakukan - menjelaskan kepadanya tentang kerumitan jalur nasib yang membawa kita berpapasaran satu sama lain di pinggir jalan di Harajuku pada sebuah pagi bulan April yang indah di 1981. Tentang sesuatu yang padat dengan berbagai rahasia yang hangat, seperti sebuah jam antik yang dibuat pada saat kedamaian masih memenuhi bumi.

         Setelah berbincang, kita akan makan siang bersama, mungkin menonton sebuah film Woody Allen, singgah sebentar di bar hotel untuk minum, dan dengan sedikit keberuntungan, pertemuan kita bisa berakhir di tempat tidur. 

          Kemungkinan itu mengetuk pintu hatiku.

          “Bagaimana aku bisa mendekati dia? Apa yang bisa kukatakan?”

      "Selamat pagi, nona. Bisakah menyediakan waktu barang setengah jam untuk satu percakapan pendek?"

         Menggelikan. Rasanya aku seperti sales asuransi.

       "Maaf mengganggu, tapi apakah anda tahu binatu yang buka sepanjang malam di sekitar sini?"

          Tidak. Ini akan sama menggelikan. Aku tidak membawa cucian kotor. Siapa yang akan percaya kalimat semacam itu?

       Mungkin kejujuran yang sederhanalah yang paling tepat. "Selamat pagi. Kamu adalah gadis yang 100 persen sempurna bagiku."

       Tidak, dia tidak akan percaya itu. Atau jika dia percaya, dia mungkin tetap tidak mau bicara padaku. Maaf, mungkin demikian katanya. Aku mungkin gadis yang 100 persen sempurna bagimu, namun kamu bukanlah lelaki yang seratus persen sempurna bagiku. Itu bisa saja terjadi. Dan jika aku harus menghadapi situasi tersebut, aku mungkin akan hancur berkeping-keping. Aku tidak akan pernah pulih dari hal seperti itu. Aku 32 tahun, dan demikianlah artinya menjadi tua.

     Kami berpapasan di depan sebuah toko bunga. Genangan udara kecil dan hangat menyentuh kulitku. Aspal jalanan terasa lembab, dan aku sedikit mencium aroma mawar. Aku mencoba berbicara dengan dia, tetapi tidak bisa. Dia mengenakan sweater putih, dan di tangan kanannya dia memegang sebuah amplop putih bersih yang belum ditempel perangko. Jadi: dia menulis surat kepada seseorang, mungkin menghabiskan seluruh malamnya untuk menulis surat itu, bila mengamati wajahnya yang terlihat masih mengantuk. Di dalam amplop itu mungkin tersimpan semua rahasia yang pernah ia miliki.


Aku berjalan beberapa langkah lagi dan kemudian berbalik: dia sudah hilang dalam kerumunan.


         ......



      Sekarang tentu saja, aku tahu dengan pasti apa yang perlu kukatakan padanya. Walaupun mungkin terlalu panjang, terlalu panjang untuk bisa kusampaikan dengan benar kepadanya. Ide-ideku memang tidak pernah praktis untuk diterapkan.

       Ah, biarlah. Kata-kataku akan dimulai dengan "Suatu ketika" dan berakhir dengan, "Suatu kisah yang sedih, bukan?"


........


        Suatu ketika, hiduplah seorang anak lelaki dan seorang anak gadis. Anak lelaki itu berusia 18 tahun dan sang anak gadis 16 tahun. Sang anak lelaki tidak terlalu tampan, dan sang anak gadis tidaklah terlalu cantik. Mereka berdua hanyalah anak lelaki dan perempuan kesepian biasa, seperti semua anak lainnya. Namun mereka percaya dengan seluruh hati mereka bahwa di suatu tempat di dunia ada anak lelaki yang 100 persen sempurna dan anak gadis yang 100 persen sempurna bagi mereka masing-masing. Ya, mereka percaya pada keajaiban. Dan bahwa keajaiban memang benar-benar terjadi.


Suatu hari, keduanya bertemu dengan satu sama lain di pojok sebuah jalan.


           "Ini luar biasa," kata sang anak lelaki. "Aku sudah mencarimu sepanjang hidupku. Kau mungkin tidak percaya, tapi kaulah gadis yang 100 persen sempurna bagiku."

        "Dan kau," kata sang anak gadis, "adalah lelaki yang 100% sempurna bagiku, persis seperti yang aku bayangkan dalam setiap detilnya. Ini seperti mimpi."

    Mereka kemudian duduk di sebuah bangku taman, berpegangan tangan, dan menceritakan kisah mereka masing-masing pada satu sama lain selama berjam-jam. Mereka tidak kesepian lagi. Mereka telah menemukan dan telah ditemukan oleh pasangan 100% sempurna mereka. Sungguh luar biasa untuk bisa menemukan dan ditemukan oleh pasangan 100% sempurnamu. Ini adalah keajaiban, suatu keajaiban kosmis.

          Namun, saat mereka duduk dan berbicara, sebersit mungil keraguan muncul dalam hati mereka: benarkah tidak apa-apa bahwa suatu mimpi bisa terwujud dengan demikian mudah?

         Jadi, begitu ada jeda dalam perbincangan mereka, sang anak lelaki berkata, "Mari uji diri kita - hanya sekali saja. Jika kita benar-benar kekasih yang seratus persen sempurna bagi satu sama lain, maka di suatu tempat, di suatu waktu, kita pasti akan bertemu lagi. Dan jika itu benar terjadi, sehingga kita tahu pasti bahwa kita adalah pasangan yang 100% sempurna, kita akan menikah di situ dan saat itu juga. Bagaimana menurutmu?"

          "Ya," kata sang gadis, "itulah yang harus kita lakukan."


Jadi mereka berpisah, sang gadis ke timur dan sang lelaki ke barat.

      Namun sebenarnya, ujian yang mereka sepakati bersama sama sekali tidak perlu. Mereka seharusnya tidak melakukan itu, karena mereka benar-benar dan sungguh-sungguh kekasih yang 100 persen sempurna bagi satu sama lain, dan bahwa adalah suatu keajaiban mereka bisa bertemu. Namun, mustahil bagi mereka untuk tahu tentang itu, demikian mudanya mereka. Gelombang nasib yang dingin dan tanpa perasaan pun mulai mempermainkan mereka berdua.

        Di satu musim dingin, sang lelaki dan sang perempuan terjangkit penyakit influenza musiman yang sangat parah, dan setelah berminggu-minggu berkelana di antara hidup dan mati, mereka kehilangan semua ingatan tentang kehidupan mereka sebelumnya. Saat mereka tersadar, kepala mereka sama kosongnya dengan celengan D.H. Lawrence muda.

         Walaupun demikian, mereka adalah dua anak muda yang cerdas dan bertekad kuat, dan melalui berbagai upaya keras, mereka akhirnya bisa mendapatkan kembali berbagai pengetahuan dan perasaan yang membuat mereka layak diterima kembali sebagai anggota masyarakat secara penuh. Puji Tuhan, mereka menjadi warga negara teladan yang paham bagaimana berpindah dari satu jalur kereta ke jalur lainnya, yang sangat paham bagaimana cara mengirimkan surat kilat khusus di kantor pos. Bahkan juga, mereka mengalami cinta kembali, beberapa kali dengan kadar 75% atau bahkan 85%.


Waktu berlalu dengan kecepatan yang mengejutkan, dan dengan segera sang anak lelaki menjadi 32 tahun, sedangkan sang gadis 30 tahun.


        Suatu pagi bulan April yang indah, dalam rangka mencari secangkir kopi untuk memulai hari, sang lelaki berjalan dari barat ke timur, sedangkan sang gadis yang bermaksud mengirimkan sebuah surat kilat khusus berjalan dari timur ke barat, keduanya melalui jalan sempit yang sama di kawasan Harajuku di Tokyo. Cahaya redup dari ingatan mereka yang hilang berkilau sesaat dalam hati mereka. Masing-masing merasakan gemuruh dalam dada mereka. Dan mereka tahu:

         Ia adalah gadis yang 100% sempurna bagiku.

         Ia adalah lelaki yang 100% sempurna bagiku.

       Namun kilauan ingatan mereka terlalu lemah, dan pikiran mereka tidak lagi sejelas 14 tahun sebelumnya. Tanpa kata apa pun, mereka melewati satu sama lain, menghilang dalam kerumunan. Selamanya.

Suatu kisah yang sedih, bukan?


......


Ya, begitu. Itulah yang harus aku katakan padanya.


                                                                            ******

Rabu, 21 Agustus 2013

Negri Tanpa Tuhan



           Jendela. Dari jendela itu cahaya matahari menyerap masuk melalui celah gorden, cahayanya berwarna kuning terang laksana baju emas seorang raja yang menyimbolkan sikap tegas dan penuh kebijaksanaan. Namun gerakan cahaya yang masuk melalui celah gorden sangat perlahan bagai orang kerdil bodoh yang tabah menunggu putri salju malang bangun dari tidur panjangnya. Pelan tapi pasti cahaya matahari itu masuk menyinari ruangan gelap nan sempit dari balik jendela, seolah disambut dengan sukarela, guna menyinari ruang suram yang nampak penuh dosa. Di hadapan sang jendela terlihat seorang pria kurus dengan rambut acak tak karuan terbangun tatkala kilau terang matahari menerobos masuk. Dia sangat tak senang dengan silau cahaya itu, karna menyebabkan kepalanya sakit sebelum akhirnya membuat matanya perih. Cahaya matahari adalah hal yang paling dibenci oleh pria lemah bernama Thukul ini. Dia selalu berdoa dalam hati, “Semoga Tuhan tidak menciptakan matahari, paling tidak jika memang harus ada matahari ada baiknya jika kadar cahayanya dikurangi. Karna akan lebih baik jika bulan terus bersenggama dengan bintang diatas langit kelam yang luas.” Kata kata itu selalu diucapkan dengan lafal yang tepat oleh Thukul, setiap bangun pagi kata kata itu sudah seperti anchor yang muncul dari dalam benaknya secara otomatis setelah kata “brengsek”.
                
         Thukul beranjak dari tempat tidurnya lalu berjalan terhuyung kearah meja yang berada tepat di depan jendela. Dia duduk termenung dengan tangan kanan menopang dagunya agar tetap seimbang, dia memikirkan melihat cahaya matahari yang masuk melalui celah gorden. Dia berpikir dengan sangat dalam, melihat sekitar dan merenung sesuatu yang tampaknya tak harus dia pikirkan. Dia tersenyum lirih, pagi ini tak seperti biasanya Thukul menertawakan doa pagi yang telah menjadi rutinitasnya setiap hari. Dia menertawakan doa pagi yang pasti hanya terbang bebas seperti dedaunan yang terhempas ganasnya angin. Tuhan itu tidak nyata, dia yang katanya adalah maha kuasa hanya hidup dalam angan angan semu dan buku sejarah dunia kuno. Sekarang tahun 2345, bukan tahun yang bagus namun merupakan angka cantik yang sedap dipandang mata. Dunia ini berbeda dengan dunia pada umunya, dunia ini bagai cermin yang terhubung nyata dengan objek aslinya. Ini bukan imajinatif kontemporer karya picaso ataupun lirik lagu picisan favorit Morrissey, dunia ini adalah dunia paralel yang sangat nyata. Hanya ada satu perbedaan jelas yang tergurat dari fakta nyata dunia ini dan dunia yang ada dalam buku sejarah, Tuhan, dunia yang ada saat ini tak mengenal Tuhan atau apapun nama suci yang mengangungkan nama-Nya.
                
      “Tuhan telah mati karna wabah influenza akut.” Begitulah orang orang di negri ini menyebutnya.

Tuhan terjatuh dari kolong langit, awan terbelah dua, dunia bergetar hebat dan sebentuk cahaya putih terang keluar jatuh dari angkasa. Dunia membunyikan bergemuruh gagah menunjukan kekuasaan lalu samar terdengar suara terompet dari kejauhan, suara terompet yang melegenda dari kitab suci. Tapi suara hanya sekedar suara, tak terjadi apa apa setelah suara terompet terdengar, mungkin benar Tuhan telah mati. 

Cahaya putih terang membuat dunia menjadi gelap, siang dan malam menjadi sama tanpa perbedaan mendasar. Cahaya matahari berganti menjadi sinar bulan yang berwarna biru. Dunia ini sudah tidak sama lagi dengan dunia yang dulu, ini adalah dunia baru. Ini adalah dunia yang dimana masih mampu berdiri karna kemauan dan keinginan kuat penduduknya untuk mencari simbol baru. Simbol yang menandakan kekuatan, kesucian untuk pedoman baik buruk, kekuatan kekal yang melindungi dari marabahaya serta kambing hitam atas segala masalah dampak nafsu manusia. Dunia saat ini tak lebih dari sekumpulan negeri yang mencari arah tujuan, Tuhan sudah mati dan warisannya adalah negeri tanpa Tuhan. Itulah yang diyakini oleh Thukul secara pribadi.

Dia percaya bahwa dia hanyalah korban dunia paralel tidak seimbang dan saat ini berada di sebuah negri labil yang sedang mencari arah tujuan hidup. Menurut buku sejarah kuno yang pernah dia baca, sudah hampir 200 tahun dunia ini terjebak dengan kepalsuan hidup yang bersifat nyata. Kerusakan setiap tempat, perang yang berkecamuk, kelaparan merajalela, perkosaan marak dan agama baru muncul kepermukaan tanpa filter. Konsep surga dan neraka sudah tak ada lagi sehingga tak ada alasan bagi setiap orang untuk memikirkan kehidupan surgawi. 

Thukul sendiri hanyalah seorang wartawan koran lokal yang terbit sesuai dengan keadaan yang terjadi, jika ada uang koran itu terbit dan jika tak ada uang bisa mandek hingga sebulan penuh. Dia adalah seorang pribadi yang mempunyai rasa keingintahuan sangat tinggi, maka tak heran jika Thukul juga merangkap sebagai pencari sejarah. Rasa keingintahuannya tentang sejarah dunia, sejarah Tuhan bahkan sejarah kuat asal muasal manusia sangatlah besar. Walaupun fisik wajahnya tak karuan dan jauh dari kesan sedap dipandang mata namun dapat dikatakan dia memiliki intelejensi yang sangat tinggi.

Fakta yang sedang terjadi sekarang, negeri ini sedang dalam kondisi yang sangat tidak aman. Sedang terjadi perang besar antara sekte Jemaat Suci yang men-Tuhankan Beelzebub dengan sekte Son of Sun yang men-Tuhankan Mammon. Seluruh kota porak poranda karna tak ada yang mau kalah dari perang adu ideologi ini, penduduk yang tak mengerti menjadi korban keserakahan kedua sekte agama tersebut. Kedua sekte agama tersebut saling berebut untuk menambah jumlah anggota dan menyebarkan ajaran agama yang mereka anggap benar. Jemaat Suci menjanjikan kehidupan yang manis semanis gula dan mengizinkan seks tanpa adanya tameng pernikahan. Pernikahan dianggap kotor dan dapat merusak kesucian badaniah yang ada semenjak manusia lahir di dunia. Ajaran ini menuhankan beelzebub sebagai simbol rakus yang tak pernah membatasi akal dan kehendak manusia.  Sedangkan Son of Sun, belum bisa dikatakan agama tapi masih merupakan ideologi yang sedang berkembang pesat. Ideologi yang kuat dengan pemimpinnya yang sangat otoriter. Ideologi ini berpegang teguh pada kekuatan tekat untuk mendapatkan apa yang dikehendaki, dengan simbol Mammon yang gambaran kuat tanpa ampun.

“Untuk apa aku mempelajari Tuhan?”, batin Thukul bertanya tanya.

“Tuhan adalah simbol bagi manusia.”

Jawab suara yang muncul dari pojok ruangan. Itu adalah suara Elf, seorang pria muda berbadan tegap dan berwajah rupawan. Rupa wajah yang sejenak mengingatkan Thukul dengan sosok Marlon Brando yang penuh karismatik. Sudah tiga hari Elf menumpang di rumah Thukul, dia sangat berterima kasih kepada Thukul karna telah menyelamatkannya saat terjebak dalam baku tembak antara sekte Jemaat Suci dan Son of Son. Elf terkena satu tembakan yang mengenai paha sebelah kanan dan beruntung saat itu dia terjatuh tepat dihadapan Thukul yang sedang bersembunyi dibalik mobil rongsok yang digunakan sebagai tempat berlindung.

Sejenak Thukul terdiam dengan perkataan Elf barusan, apakah dia menjawab pertanyaan Thukul. “Ah rasanya tidak mungkin, aku sedang berbicara di dalam kepalaku. Ini hanya perasaanku saja karna pengaruh cahaya matahari sialan ini.”, Pikir Thukul dalam hati.

“Terima kasih telah menolongku.”, ujar Elf dengan intonasi datar yang jelas.

“Bukan masalah, kau bisa meninggalkan tempat ini kapan saja”, jawab Thukul dengan masih memandangi cahaya matahari dari celah jendela.

“Aku kemari karna suatu alasan. Tapi sebelumnya sebagai rasa terimakasih, apa ada yang kau inginkan?”

Perhatian Thukul seketika langsung beralih kearah Elf yang sekarang telah berdiri tegap disebelah kanannya. Kapan tepatnya Elf sudah sedekat itu dia juga tak mengerti. Mungkin dia melangkah selembut kapas atau mungkin juga karna Thukul terlalu sibuk dengan pemikirannya yang sanagt rumit.

“Aku tak mau apapun..”

Jawab Thukul seraya menyaksikan air muka Elf yang tanpa ekspresi berarti. Elf hanya diam dan menatap mata Thukul tajam tapi tak terlalu dalam, hanya tatapan kosong yang sedang menunggu kata kata yang akan keluar dari mulut Thukul. Hal ini membuat Thukul memalingkan wajahnya, ada sedikit rasa takut terpancar dari auranya. Lalu seperti tanpa diperintah, Thukul menyakan sebuah pertanyaan yang sebenarnya hanya sekedar basa basi kepada Elf.

“Menurutmu kapan perang akan selesai?”

            “Menurutmu apa ada yang tau kalau Elvis Presley akan menjadi "Raja Rock 'n' Roll"?”

Bukan jawaban yang keluar dari mulut Elf, dia malah menanyakan sebuah pertanyaan yang cukup ambigu kepada Thukul.

“Saat musim panas tahun 1953, Elvis membayar $4 untuk merekam dua buah lagu di perusahaan rekaman Sun Studios sebagai hadiah ulang tahun bagi ibunya. Lalu pendiri Sun tertarik pada suaranya dan memanggilnya pada Juni 1954 untuk mengisi posisi penyanyi ballad yang sedang kosong. Itu sejarah singkat Elvis.”

Belum sempat Thukul menjawab pertanyaan, Elf sudah kembali memotong perkataan Thukul dengan informasi yang sebenarnya tidak terlalu penting.

“Apa hubungannya Elvis dengan perang ini? Apa Elvis mendirikan suatu agama?”


Tawa mengejek keluar sebagai bumbu dari pertanyaan Thukul, dia sama sekali tak mngerti apa hubungan Elvis dengan perang pada masa sekarang. Hampir seribu tahun lalu Elvis meninggal dan Thukul merasa sudah terlalu kuno jika masih membahas Elvis yang sekarang hanya eksis dalam buku sejarah.

“Tidak, dia tak mendirikan agama bahkan bisa dibilang dia sepertimu, siapa yang menangis diatas chapel suci? Hanya Elvis. Elvis hanya salah satu orang yang memenangi perang.”

“Perang? Apa maksudmu?”

“Meskipun awal karirnya terkesan dinaungi keberuntungan tapi dia secara tak langsung berperang dengan seluruh orang yang datang audisi pada label rekaman tersebut. Dan dia berhasil memenangi peperangan tersebut.”

“Lantas?”

Elf terdiam sejenak seperti memikirkan lanjutan kata yang akan keluar dari mulutnya, Elf sangat pandai bicara walaupun dengan ekspresi wajah yang terkesan datar. Dia memancarkan aura tertentu saat sedang serius.

“Dia menjadi raja. Raja Rock n Roll. Itu adalah hadiah yang dia dapatkan karna memenangi peperangan dan juga namanya dicatat dalam sejarah.”

Thukul terdiam, otaknya mengolah kisah Elvis ini dengan kenyataan perang yang sedang terjadi saat ini. Seperti kucing yang baru lahir, otaknya sedikit demi sedikit menemukan maksud dari sejarah Elvis tersebut. Kucing yang baru lahir tengah mencoba untuk berdiri.

“Jadi, perang antara kedua sekte ini ibarat persaingan demi merebutkan sebuah tahta, siapa saja berpeluang menang. Tapi hanya yang memiliki keberuntungan seperti Elvis yang mampu memenangi medan perang.” Ujar Thukul dengan cukup tenang.

“Bisa dibilang seperti itu, tapi yang lebih penting apa yang akan terjadi setelah mereka menjadi raja? Kau berpikir kedua sekte ini membawa pengaruh negatif kan?”

“Ya benar sekali, saat ini aku merasa bahwa tak beragama adalah pilihan yang tepat.”

Pembicaraan yang tadinya hanya bermaksud basa basi belaka tiba tiba berubah menjadi pembicaraan serius tanpa sumber yang jelas. Pria misterius yang ditolong Thukul tiba tiba saja berubah menjadi pria dengan karakter kuat yang memancarkan aura yang ditunjukan seorang pemimpin besar. Seperti ada sesuatu yang spesial dari dalam diri pria ini.

“Elvis hanyalah jendela sama seperti kedua sekte agama yang sedang berperang itu.”

Thukul kembali terdiam mendengar ucapan Elf yang baru saja keluar dari bibirnya. Ungkapan jendela tersebut sama seperti ungkapan yang muncul dari dalam pikiran Thukul. Dia tak pernah membicarakan itu secara terbuka, hanya dia dan Tuhan saja yang tau isi pikirannya, itupun jika Tuhan belum mati. Atau mungkin itu hanya ungkapan yang kebetulan sama, mengingat saat ini mereka berdua sedang berbicara didepan jendela bergorden yang memancarkan cahaya matahari menerobos masuk kedalam ruangan.

“Maksudmu jendela?”

“Oh iya, maaf jika aku meminjam istilahmu dengan lancang...”

Mendengar ucapan Elf membuat Thukul takjub dan sedikit kebingungan, "Tak mungkin dia membaca pikiranku", racau Thukul dalam hati. Elf tersenyum lebar menunjukan tanda kepuasan yang amat sangat. Air muka yang tadinya datar seketika hilang bak tersapu ombak, kini air muka itu berganti dengan ekspresi bersahabat yang sedikit angkuh.

“Elvis adalah adalah jendela dan gorden adalah label rekaman. Sedangkan akal, kemampuan berpikir dan kreatifitas menjadi mataharinya. Cahaya matahari masuk dari celah jendela sebelum di filter oleh label rekaman.” 

“Kau membaca pikira...?” Belum selesai Thukul menyelesaikan pembicaraannya, ucapannya kembali dipotong tanpa bisa dia bantah seperkatapun.

“Perang sekte agama ini hanyalah jendela yang terkena efek cahaya matahari, kekuatan sebenarnya jauh lebih besar. Tapi aku pun tidak tau “matahari” apa yang menjadi sumbernya. Tapi yang pasti kekuatannya sangat besar dan bergerak cepat untuk mengatur keadaan yang terjadi sekarang.”

“Kau membaca pikiranku?” Ulang Thukul sekali lagi, masih dengan nada bicara sedikit terkejut.

“Itu tidak penting.”

“Ingin minum Coca Cola.. Sekarang...”

“Apa maksudmu?” Elf menajadi bingung mendengar perkataan aneh yang keluar dari mulut Thukul saat ini.

“Tadi kau tanya apa yang aku inginkan? Aku ingin Coca Cola. Sekarang.”

Mata Thukul berbinar melihat air muka Elf yang tadinya memancarkan keangkuhan kembali menjadi datar, dia penasaran apa yang akan terjadi setidaknya semenit kemudian. Apakah benar Coca Cola akan benar benar muncul di hadapannya,  kenyataannya dunia saat ini Coca Cola sudah punah, hampir seratus tahun yang lalu. Bentuknya saja dia tak tau, dia hanya mengetahui coca cola dari buku yang berjudul “Brand Yang Mendunia” yang ditemukannya dibawah serpihan puing sisa peperangan. 

Elf terlihat sedang berkonsentrasi penuh, entah sedang berkonsentrasi untuk apa. Thukul sebenarnya pun tak mau terlihat bodoh, tapi entah apa atau kenapa dia seperti tak ada nyali untuk sekedar memotong omongan Elf. Pikirannya meyakini bahwa pria misterius yang ditolongnya ini bukan manusia biasa, dia adalah manusia spesial. Tiga puluh detik berlalu tiba tiba Thukul seperti merasakan ada sesuatu yang tidak beres dari dalam perutnya. Ginjal dan ususnya seperti menyempit, kemudian darahnya seolah bergerak dengan cepat keseluruh penjuru arah bagian tubuhnya. Perutnya sangat tidak enak tapi itu hanya berlangsung selama beberapa detik sebelum akhirnya dia merasakan sebuah sensasi aneh di dalam mulutnya. Tiba tiba saja mulutnya dipenuhi dengan air besensasi dingin yang menggigit dinding mulut dan lidahnya. Air tersebut datang terus menerus memenuhi ruang kosong mulut Thukul sebelum akhirnya terjun laksana niagara jatuh kedalam tenggorokan yang paling dalam. Dingin, menggigit dan bergas itulah yang dirasakan Thukul. Rasanya sangat manis dan sangat menyegarkan, sensasi hanya berlangsung sekitar sepuluh detik saja. Memang sangat singkat, tapi bagi Thukul sensasi langka seperti ini dapat di sejajarkan dengan sensasi saat mengalami ejakulasi setelah penetrasi yang sangat dahsyat. “Apakah ini Coca Cola itu?” Batin Thukul bertanya tanya mencari jawaban.

“Benar. Dan kau benar bahwa aku bisa dikatakan aku spesial.” Elf menjawab pentanyaan dalam jiwa Thukul yang masih bertanya tanya tentang dirinya.

“Aku mengajukan tawaran untukmu, aku harap kau menerimanya secara sukarela. Ini menyangkut masa depan negri ini.” Lanjut Elf kembali dengan wajah ceria penuh rasa percaya diri yang sangat tinggi.

“Aku mendengarkan, lanjutkan perkataanmu..” jawab Thukul menanggapi perkataan yang dilontarkan oleh Elf.

“Aku adalah “matahari” dan kau telah kupilih sebagi “jendela”. Kita sekarang adalah tim seperti Sherlock dan Watson.”

Kembali otak Thukul yang pintar dipaksa untuk berputar guna mengartikan maksud dari perkataan Elf. Pikirannya menyusun hipotesa hipotesa yang memungkinkan untuk ditelaah. Kesimpulan yang bersifat nyata yang bisa diterima dengan akal sehat, walaupun sebenarnya sensasi Coca Cola yang baru saja terjadi berada di luar nalar pikiran. Dan itu adalah bentuk dari sebuah keajaiban.

“Maksudmu kita ikut berperang dengan kedua sekte agama itu? Hanya kita berdua?” 

Thukul memastikan kembali maksud dan tujuan Elf berkata seperti tadi. Walaupun Elf spesial tapi tidak mungkin berperang melawan sekte agama yang mempunyai pasokan senjata lengkap dan anggota yang banyak.

“Ya kita berdua, tapi kita di sini berperan sebagi Elvis.”

“Tunggu dulu. Tunggu dulu. Jika yang menang adalah salah satu dari mereka? Bagaimana nasib kita?” Tanya Thukul.

“Elvis mati diusia 42 tahun, dia hanya menjadi raja selama 34 tahun. Siapapun yang menang, nantinya juga bakal mati dan digantikan yang baru. Ini hanyalah siklus.”

“Dengan kata lain kau juga menyebarkan agama baru?”

“Bukan baru.”

“Lalu, kau ini orang yang semacam apa?” Tanya Thukul kembali dengan rasa penasaran yang telah memuncak hingga ke ubun ubun kepala.

“Semacam jawaban atas doa pagimu.”

Thukul membisu tak tau harus memilih kata apa lagi untuk melanjutkan pembicaraan ini. Lirik picisan lagu lagu Morrissey hilang dari dalam otaknya, tak ada lagi kata positif yang di produksi masal oleh jaringan otaknya. Sebuah tanda tanya yang sangat besar memuncak dari benaknya, sebuah rasa ingin tau yang lebih dan ingin lebih banyak lagi. Dia hanya ingin mengetahui informasi apa lagi yang akan keluar dari mulut pria muda nan misterius ini.

“Aku memiliki sebuah buku.”

“Kitab agama baru milikmu?”

“Bukan, ini agama kuno, berasal dari negeri bagian timur. Agama ini awalnya kuat lalu perlahan punah karna tergerus era modern dan komersialisasi. Pola pikiran manusia yang selalu mencari kepuasan tanpa batas membuat dunia ini tenggelam pada masa seperti ini.”

“Kalau aku pakai analogi Elvis tadi, dulu agama adalah raja bagi setiap orang. Lalu kemudian tergerus oleh kemajuan zaman dan akan digantikan oleh agama yang baru. Dan sekarang adalah masa transisi menuju pergantian agama baru ini?”

“Benar, dan sekali lagi kau sekarang adalah jendelaku.”

“Seperti Muhammad dan Abu Bakar?” Tanya Thukul kembali, namun kali ini dengan persamaan yang cukup tepat pada pokok pembahasan.

Elf hanya diam tak ada satu patah katapun keluar dari dalam mulutnya. Dia menatap nanar kosong kearah jendela singkat namun penuh arti. Kemudian dia mengambil suatu barang yang dia simpan dibalik jaket kulitnya yang sudah sangat lusuh. Dia mengeluarkan buku kecil yang dibungkus dengan kain putih seakan untuk melindunginya agar tetap bersih. Dia memperhatikan buku itu sekilas namun penuh seksama lalu memberikannya kepada Thukul, dia seolah memberi kode agar Thukul membaca buku itu.

“Bacalah, agar kau paham kekuatan besar yang tak terlihat itu.”

Thukul makin penasaran mendengar perkataan Elf, dia meraih buku itu dengan rasa ingin tau yang sangat besar. Dan dengan cepat dia membuka halaman pertama.

“Kita harus bergerak cepat, aku telah menyusun rencara.”

Seringai licik kembali terpancar dari air muka Elf. Seringai khas yang mendukung kata kata yang bermaksa serius yang baru keluar dari mulutnya. Keadaan sudah sangat penting dan dia merasa harus secepatnya ikut terjun ke medan peperangan dan sementara di sisi lain Thukul dengan antusias terus membuka halaman selanjutnya dari buku itu.

“Sebuah kekuatan besar telah bergerak cukup lama untuk mengatur hidup manusia yang hanya sekali. Kekuatan itu sangat kuat sehingga sering bertentangan dengan akal pikiran kompleks dalam otak tiap manusia. Kekuatan tak kasat mata, namun bisa dirasakan dengan rasa dan perputaran dunia. Kekuatan abadi yang menjadi penuntut arah tujuan semua manusia untuk menjalani hidup. Sebuah Simbol yang bisa diibaratkan dengan benar bagi manusia yang berpikir dengan hati.”

Kamis, 15 Agustus 2013

Two Moons in The Sky (Bagian 1)



            Jika aku tanya, apa sih cinta pertama itu? Apakah kalian bisa menjawabnya dengan jujur dan lugas? Sebuah pertanyaan yang cukup ambigu tapi memiliki berjuta jawaban. Awalnya aku bingung jika pertanyaan ini diajukan kepadaku, apakah cinta pertama itu wanita pertama yang aku pacari saat sekolah dasar ataukah wanita pertama yang kuajak having sex saat awal kuliah. Tapi jika saat ini ada yang menanyakan padaku pertanyaan yang sama. Aku sudah tau jawabannya, paling tidak aku sudah tau apa yang harus aku jawab. “Ada dua bulan diatas langit, dua bulan yang selalu memandikan dunia dengan cara yang aneh.” Itulah jawabanku, cinta pertama itu adalah dua bulan yang saling berhadapan.  


            

Aku pernah mendengar suatu cerita dari almarhum kakek, bahwa dahulu kala ada dua bulan yang menyinari bumi ini saat malam. Bulan itu berwarna biru terang tapi tidaklah berada di negri ini, kedua bulan itu berada pada sebuah negri berbeda dengan yang kita kenal saat ini. Di sana adalah negri dimana dua bulan diangkasa saat malam sudah biasa dan sudah tak asing lagi. Dua bulan itu saling beradu siapa yang paling terang dan paling membirukan langit diantara kegelapan. Bulan yang satu selalu berpendapat bahwa dialah bulan yang paling terang sinarnya di seluruh negri, sedangkan bulan yang satunya selalu yakin bahwa birunya lah paling memecah gelap malam. Dua bulan yang saling memancarkan sinar keindahan namun juga di sisi lain membuat seluruh penghuni pelosok negri menjadi gila dan kehilangan akal sehat. Ini bukan sekedar legenda, ini pernah terjadi dulu sangat dulu sekali. Sebuah keindahan yang muncul diantara kegelapan memang dapat membuat terpana hingga kita seperti kehilangan maksud dan tujuan utama kita hidup di dunia ini.
                
           Kakek juga pernah bercerita kepadaku tentang perbedaan lunatic dan insane. Dalam bahasa inggris kedua kata itu layak disebut bagai pinang dibelah dua. Kedua kata tersebut adalah kata sifat, yang artinya sakit jiwa. Insane mempunyai makna seperti ada kelainan otak sejak lahir. Dan kemungkinan besar masih dapat disembuhkan oleh dokter ahli jiwa. Sedangkan lunatic adalah kehilangan kewarasan sementara akibat pengaruh luna, bulan. Menurut kakek, dahulu kala di Inggris jika orang ‘lunatic’ melakukan hal kriminal, maka hukumannya akan diringankan satu tahun. Alasannya, karna pelaku tak sepenuhnya sadar dengan apa yang mereka perbuat. Dan menurut kakek, itu sama saja pemerintah Inggris saat itu mengakui bahwa bulan dapat mengacaukan mental orang. Jadi bulan pun harus dituntut bertanggung jawab karna dapat membuat orang kehilangan kewarasan dan mengakibatkan sakit jiwa bersifat sementara. Secara tak langsung fenomena dua bulan ini cukup mengatur hidup kita tanpa disadari.
                
          Cerita dua bulan dilangit ini mengingatkanku akan kisah cinta yang dulu sekali pernah kualami dengan seorang wanita yang bernama, Kirana. Dia adalah cinta basa basiku semasa menempuh jenjang sekolah menengah pertama (SMP), tidak tepat juga jika kubilang bahwa saat itu cinta, itu lebih seperti sebagai rasa suka anak anak yang tak serius dan tak ada arah tujuan. Jika diibaratkan aku lebih suka menyebut itu sebagai “keong”. Bukan rasa cinta yang tulus tapi hanya ungkapan ekspresi seperti layaknya keong, yang muncul ketika dia ingin namun sembunyi ketika dia diganggu pihak lain. Selalu ada di saat duka namun tak ada di saat duka. Yang penting hanya senang dan mencari kebahagiaan. Perasaan “keong” mungkin itu padanan kata yang tepat.
                
         Aku dan Kirana adalah dua orang yang sangat berbeda satu sata lain. Dulu aku seorang anak yang nakal dan tak berperasaan, siapa yang tega memukul seorang wanita dengan menggunakan buku pelajaran (tentu saja bukan Kirana, melainkan temanku yang lain) dan siapa yang senang pada saat memasukan teman kedalam tong sampah sekolah. Cukup sering aku mem- bully teman temanku di sekolah dulu walaupun nyatanya dulu juga aku sangat populer dikalangan adik kelas. Aku ganteng, keren, anak band dan pede (sampai sekarang), tak heran jika saat itu banyak mengirimiku surat cinta #nomention. Saat itu aku adalah seorang kakak kelas penuh pesona yang memiliki rambut jabrik ala David Beckham yang tengah tren diantara anak seusiaku.

Tapi yang cukup mengherankan bagiku, ditengah elu pujian dan kagum dari para adik kelas tetap saja tak bisa mengalahkan aura yang dipancarkan oleh Kirana, seorang gadis yang tak terlalu populer namun selalu berhasil membuatku penasaran. Kirana adalah seorang gadis berambut pendek, bertubuh mungil dan memiliki wajah unik khas oriental yang membuatku selalu ingin melahap selusin bakpau hangat setiap kali melihatnya. Suara cemprengnya adalah ciri khasnya, suara yang aku yakini dapat merusak gendang telingaku jika mendengar dia menyanyi. Jika harus memilih aku lebih memilih mendengarkan teriakan metal James Hetfield dari pada mendengar dia menyanyi. Tapi tetap saja aura yang dia pancarkan laksana bulan yang seolah membuatku tertancap paku dan membuatku bertahan untuk menikmati indahnya.

Sebelumnya aku sudah mengenal Kirana sejak kelas 2 SMP namun memang pada saat itu hubungan pertemanan kami tidak terlalu dekat, hanya sebatas teman sekelas yang saling mengenal satu sama lain. Dan sampai sekarang aku juga tak dapat mengingat secara persis bagaimana pertama kali aku bisa menyukainya, yang pasti pada waktu kelas 3 SMP kami sempat menjalin hubungan “keong” walaupun singkat. Cara berpacaran kami saat itu sebenarnya berjalan sangat normal, kami hanya bertemu di sekolah dan saling ngobrol sepulang sekolah. Setelah itu? Setelah pulang sekolah tak ada kontak lagi. Kami hanya berkomunikasi saat di sekolah saja, lumrah pada anak sekolahan masa itu mengingat harga pulsa masih sangat mahal sehingga alasan “tak ada pulsa” masih menjadi alasan yang sangat masuk akal. Media komunikasi via telfon hanya bisa dilakukan dari telfon rumah yang biasanya mengakibatkan orang tua marah karna tagihan telfon yang membengkak. Cara pacaran “keong” kami waktu itu mungkin adalah cara pacaran yang sangat dirindukan oleh orang kebanyakan saat ini, masa dimana bertatap muka adalah waktu yang sangat berkualitas dibandingkan mengobrol melalui media sosial. The precious moment is where i could meet you personally like how i stare at the moon everynight, Kirana.

Seminggu lalu, tepat di Sabtu malam saat aku baru saja pulang ke rumah tiba tiba saja aku mendapatkan kabar dari Kirana. Memang bukan kabar secara langsung tapi cukup membuatkan perasaanku sedikit tak karuan, sebelum akhirnya dia lebih dulu mengontakku melalui Path. “Siapa sih yang bisa ngelupain orang seganteng aku”, gumamku dalam hati – hahahaa! Dan akhirnya aku memutuskan untuk menanyakan salah satu media sosial dia, hanya untuk sekedar chatting dan menanyakan kabar karna bisa dibilang kami sudah tidak bertemu hampir sepuluh tahun. Sepuluh tahun lost contact tanpa obrolan dan bertatap muka satu sama lain. Obrolan kami berlangsung menyenangkan walaupun kaku satu sama lain, hanya obrolan basa basi seputar “how’s life? How’s your job? And how about love?”. Dan kemudian pertanyaan pamungkas keluar dari kepalaku dan tampa sadar menggerakan jempolku untuk mengetik kata kata..

 "Still with your boy? Hahahaa!

Oh no! I’m single now... emm we’re broke up eight months ago... hehee...”, jawab Kirana tanpa emoticon melalui chatnya.

Sounds good (dalam hati). Eh, gimana kalo kita jalan jalan?” Tanyaku kembali.

Obrolan basa basi yang menyerempet ke modus kecil kecilan untuk mencairkan suasana, hingga akhirnya menghasilkan janji temu minggu depan, tepat di saat dia mudik untuk mengunjungi keluarganya.

******
                
         “Hai apa kabar?” adalah kata kata yang sudah kupersiapkan ketika kembali bertatap muka dengannya secara langsung. Hatiku cukup berdetak tak karuan ketika ingin bertemu dengannya, padahal ini bukan ajakan kencan pada umumnya. Ini hanya acara pertemuan biasa setelah sekian lama tak bertemu dan melakukan obrolan yang berkualitas. Tapi apa  mungkin bisa terjadi obrolan yang berkualitas? Arggghh!! Bagaimana mungkin penakluk wanita sepertiku malah kehilangan kata kata di saat seperti ini. “Kenapa malah aku nervous seperti ini?”, kata kata seperti ini terus terulang di dalam kepalaku seperti pita kaset yang rusak. Saat itu aku memilih mengenakan setelan kemeja dengan sepatu chuka kulit yang telah kubersihkan hingga mengkilat, cukup rapi tapi aku tak ingin terlihat terlalu rapi maka dari itu aku dengan segaja tak mencukur kumisku yang berantakan. Aku terus menanamkan pada diriku sendiri, “ini bukan date, ini hanya pertemuan antara teman lama. Ini bukan date. Ini bukaaaan date!”, kata kata itu terus kuulang dalam otakku seperti lagi hancur hatiku, Olga Syahputra. Namun sepertinya usaha itu agak percuma, karna sepanjang jalan menuju rumah Kirana aku terus berbicara sendiri, hanya untuk membayangkan obrolan seperti apa yang akan terjadi nanti. Jika Kirana berbicara A maka aku harus menjawab B, jika aku bicara B tapi dia malah menjawab A, jadi aku harus menjawab apa? Ah shit, lagi lagi aku dibuat bingung oleh diriku sendiri – hahahaa!
                
            Kirana mengenakan kaos berwana putih depan padanan jeans dan kardigan tipis berwarna hijau, flat shoes berpita berwana hitam pun melengkapi penampilan santai memukaunya malam itu. Gaya rambutnya tetap pendek tak ada perubahan sejak dulu, kulitnya tetap putih dan wajahnya tetap menggemaskan seperti bakpau. Yang berubah hanya dia sekarang sedikit lebih tinggi dari dulu dan penampilannya sekarang jauh lebih bergaya. Itu bukan hal aneh karna setiap orang pasti bertumbuh baik itu secara fisik maupun secara pemikiran, seperti halnya aku pun yang makin ganteng setiap tahunnya. Aku terpana sepersekian detik melihat penampilan cantik Kirana, aura yang dia pancarkan tetap tak berubah, tetap tak bisa diungkapkan dengan kata kata dan tetap menusuk seperti paku. Saat ini auranya beradu dengan sinar yang dipancarkan oleh bulan sabit diatas langit malam.
                
        “Alee apa kabar?” Kata kata pertama yang keluar dari mulut Kirana di dalam mobil. Nada suaranya tak berubah tetap flat dan cempreng, seperti tikus terjebak dalam lengketnya lem. Oiya sempat lupa, namaku Ale. Nama yang pas untuk orang ganteng – hahahaa!
                
         “Baik, kamu apa kabar?” Tanyaku kembali yang dijawab dengan anggukan kepala manis dari Kirana.
                
           Semua pertanyaan yang tadinya sudah kupersiapkan semuanya buyar tak berbekas. Aku kehilangan kata kata, mungkin inilah kali pertama sejak lima tahun aku kehilangan kata kata dihadapan wanita. Speak speak iblisku mandek mampet ide hingga inspirasi, bakat gombal tingkat dewa hilang seperti dihisap vacum cleaner dan entah kenapa tingkat percaya diri level 10 seperti runtuh hancur berantakan. Aku lebih memilih diam dengan memainkan radio seolah sedang mencari frekuensi yang tepat, Kirana juga hanya diam dengan sedikit tersenyum sepertinya dia juga salah tingkah seperti diriku. Tiba tiba tanganku berenti pada salah satu frekuensi radio, bukan radio favoritku namun saat itu kebetulan sedang memutar playlist lagu secara random. Lagu yang diputar adalah “Stuck on The Puzzle” dari Alex Turner, lagu yang sebenarnya menurutku tak dinyanyikan dengan cukup baik namun memiliki lirik yang indah. Lagu yang menceritakan tentang stars, moon, night and love.
                
         “Laguuu ini kereeen, aku mau nyanyi ya boleh?”, ujar Kirana girang mendengar lagu yang baru saja diputar dari radio.
                
              “Jangaaaaan, mending di dengerin aja lagunya!” Jawabku dengan bercanda.
                
              “Argghhh sial! Suara aku sekarang udah bagus tau!”
               
               “Kamu ikutan les vokal emang di sana?”
                
              “Sial lo. Siaaaaal!”
                
              “Tapi suka kan? Hahahaa! Jawabku dengan penuh suka cita.
                
              Kirana terdiam sejenak, bibirnya bergerak bernyanyi kecil mengikuti alunan lagu yang disajikan oleh Alex Turner melalui radio. Dia sangat menikmati nada demi dana yang mengalun merdu dari musik mendayu dan suara Alex Turner yang sangat Britpop. Lagu yang bagus dengan wanita yang tepat pada waktu yang telah siap.
                
              “Eh nonton yuk, film The Conjuring mau gak?” Tanyaku pada Kirana.
                
       “Itu horor kan? Aku penasaran sih tapi kamu kan tau aku penakut hahahaa!”
           
           “Yaudah sih, sama aku ini kan lagian filmnya biasa aja kok.” Jawabku dengan penuh rasa percaya diri, karna sebenarnya aku telah menonton film ini sebelumnya.
          
        “I have been searching from the bottom to the top... As the one I caught when I saw your... Fingers dim in the light. Like you’re used to being told that you’re....”     

Suara Alex Turner yang mendayu saat menyanyikan lagu Stuck On The Puzzle mengiri awal pertemuan aku dan Kirana setelah sepuluh tahun tak berjumpa walaupun awal pertemuan ini dimulai dengan menonton film horor. Memang bukan pilihan tepat namun sangat cocok dengan situasi saat ini, mengingat dulu sekali saat masih bersama kami hanya menghabiskan waktu bertemu di sekolah tanpa pernah jalan jalan seperti pasangan pada umumnya. Dan bisa dibilang ini adalah kali pertama, aku dan Kirana menghabiskan waktu berdua saja untuk menonton film di bioskop. Dalam perjalanan aku dan dia berbicara obrolan yang menarik dan sesekali saling mengingatkan dengan bagaimana kisah kami dulu saat masih menjalin hubungan “keong”, jarang bertemu namun memulai dengan obrolan basa basi namun berkualitas. Iringan lagu Stuck on The Puzzle memulai pembicaraan kami di malam itu, malam dimana bulan tunggal diatas langit bertemu dengan saingannya yang tak kalah memcarkan sinar yang indah. Bait demi bait mengalun cocok dengan keadaan dan suasana yang terbentuk malam ini.

*****

Pertemuan setelah sepuluh tahun hanya terbayar singkat dan juga cukup membuat aku tak mengerti. Ternyata perasaan itu rumit, bagaimana bisa hanya pertemuan yang kurang dari seminggu bisa kembali menumbuhkan perasaan suka. Kedekatan kami yang cukup intens cukup membuat perasaanku mendayu dayu, aku terbawa suasana kepada wanita pertama yang tangannya ku genggam (selain wanita yang ada dalam keluargaku). Aku terjebak dengan wanita yang pertama kali kucium keningnya, ciuman kening yang tulus tanda kasih sayang cinta semasa “keong”. Tapi kali ini tanpaknya bukan rasa suka biasa, mungkin lebih tepat jika kunamakan sayang. Tapi apa benar rasa sayang tiba tiba saja muncul atau ini cuma karna pengaruh hubungan “keong”.

Usiaku yang telah 26 tahun sudah bukan waktunya lagi untuk menjalin cinta asal asalan seperti cerita Catatan si Boy. “Oh God, why I love her again?” sebenarnya simple namun cukup rumit. Selain karna domisili kami yang berbeda, aku juga merasa takut untuk kehilangan perasaan seperti ini, aku ragu apakah ini tulus muncul dari dalam jiwaku atau ini hanya perasaan sesaat karna pengaruh bulan. Besok Kirana akan segera kembali ke kotanya dan aku tak tau kapan kami bisa bertemu kembali, urusan pekerjaan dan lingkungan bisa saja membuat kami kehilangan satu sama lain (lagi). Aku sayang padanya dan aku pun yakin dia merasakan hal yang sama.  Ada magnet yang sangat kuat yang seakan menarik tubuhku, ini kali pertama aku kehilangan ketegasanku dalam menghadapi wanita. Ternyata aku tak se- pede itu, aku juga memiliki rasa gugup. Dan bagaimana dengan Kirana? Aku dapat melihat dari dalam matanya hal yang sama, semoga saja itu bukan pengaruh bulan. Aku mulai berpikir bahwa aku harus “doing something”, aku harus mengambil peluang yang ada untuk mengurangi resiko.


Bersambung dulu...