Hujan deras berganti rintik. Di meja dekat jendela coffee shop kecil bernama Padasuka Kopi, duduk Tama dan Kirana — sepasang kekasih yang sedang menghadapi perpisahan.
Tama, pria kurus dengan kumis tipis dan jenggot acak-acakan, menunduk sambil membuat origami berbentuk "hati" dari uang lusuh dua puluh ribu perak. Di depannya, Kirana — perempuan berkulit terang oriental, modis dengan jaket kulit dan rambut hitam legam — sesekali melirik jam tangan, seolah menunggu waktu.
Di meja ada dua cangkir kopi yang sudah dingin, sisa pisang goreng yang tak disentuh, dan selembar e-tiket pesawat yang dilipat dua. Hampir satu jam, mereka hanya diam sambil sesekali basa basi melihat orang-orang lalu lalang di jalan Pedurenan. Mereka saling menunggu siapa yang pertama kali memulai pembicaraan.
Seorang barista mulai mondar-mandir, membereskan meja, dan menggulung kabel stop kontak. Coffee shop akan segera tutup jam 23.00. Kirana kembali melirik jam tangannya untuk ketiga kali malam itu, sudah pukul 22.25. Dia membuka jaketnya pelan, lalu menutup kembali. Seperti sedang menahan sesuatu yang ingin diucapkan. Namun Tama masih diam, sibuk sendiri.
Speaker tua di sudut ruangan mendesis pelan sebelum akhirnya memutar lagu lama — suara Chrisye muncul samar, mengisi ruangan yang sudah jenuh oleh kopi dingin dan kata-kata yang tertahan.
"Bagaikan langit berpelangi... Terlukis wajah dalam mimpi..."
Kirana mendongak sebentar. "Lagu "Pelangi", dulu suka kamu putar pas kita pulang dari Bandung, ya?"
Tama tersenyum, mengingat momen dulu. Saat lagu itu jadi pengantar perjalanan mereka pulang di travel Bandung - Jakarta. Tapi sekarang jadi latar untuk diam yang lebih panjang dari biasanya.
"Kopinya dingin, ya," ucap Kirana pelan, memulai pembicaraan. Suaranya terasa berat karena tidak ada niat untuk bicara soal kopi. Cuma basa basi.
Tama mengangguk, tidak langsung menjawab. Matanya menatap origami yang sedang dibuat, lalu ke wajah Kirana yang sebagian tertutup bayangan lampu jalan. "Dari tadi dingin," gumamnya.
"Aku sudah online check in," lanjut Kirana, menaruh e-tiket itu lebih dekat ke tengah meja. "Tadi siang.
Tama menelan ludah, dia berhenti membuat origami. "Jadi... fix, ya?"
"Udah nggak bisa ditunda lagi," jawab Kirana tegas.
Keheningan turun pelan-pelan. Seperti hujan rintik yang masih menetes dari atap seng. Tama menghirup kopinya yang dingin lalu menyandarkan punggung, menatap keluar.
"Visa kerja udah keluar. Kantor juga udah siapin tempat tinggal," lanjutnya.
"Gak bisa ditunda Enam bulan lagi..?" Tanya Tama lirih.
Kirana mengangkat wajahnya. Sorot matanya lelah, seperti seseorang yang kelamaan menunggu kereta yang tak kunjung datang.
"Tam..." katanya. Nafasnya pendek, nyaris putus. "Maksudnya apa sih..?" Kirana menggelengkan kepala, heran mendengar ucapan Tama. Gak nyangka pacarnya masih bisa bicara begitu.
"Kamu ngga bisa tunggu enam bulan lagi? Kamu kan tau, aku lagi bangun studio desain. Klien mulai masuk. Kalau udah jalan..."
Ucapan itu belum selesai ketika Kirana memotongnya, suaranya sedikit meninggi, bukan marah tapi pecah karena terlalu lama ditahan. "Studio itu mimpi kamu. Dan mimpi aku itu keluar dari sini! Aku gak bisa lagi hidup di rencana yang selalu kamu bilang 'nanti'."
Keheningan menyergap meja kecil mereka. Mata Kirana berkaca, bukan karena sedih tapi karena lelah.
"Aku gak nyuruh kamu ninggalin mimpi kamu..." ucap Tama, lebih seperti pembelaan sia - sia.
"Mimpi kita beda, kayaknya kita memang gak bisa jalan bareng ke sana," kata Kirana menatapnya sambil menarik nafas yang dalam.
"Kita udah pacaran lima tahun. Kayak gak ada kemajuan, aku takut lupa caranya lari." Lanjutnya.
Tama tersenyum tipis. Pahit. "Kamu inget ngga? Kita pernah janji: kalau mau lari, lari bareng."
"Masalahnya, selama ini kita lari di tempat!" Kirana mulai terpancing emosi.
Kata-kata itu menggantung. Tak ada yang segera menjawab. Hanya suara pelan sapu yang digeser barista dari sudut ruangan.
"Kita udah gak muda lagi. Sudah harus ada "big step" yang dilakuin.." Lanjut Kirana pelan, yang dibalas Tama dengan diam menatap origami di atas meja.
Melodi lembut "Andai Aku Bisa" dari Chrisye muncul dari speaker yang serak. Kirana diam lalu tertawa kecil, emosinya turun. Lagu itu membawa flashback – menuju kenangan dengan Tama tahun lalu.
"Lagu ini... kamu putar ngiringin kita makan indomie sepiring berdua di trotoar jam dua pagi," gumamnya pelan.
Tama tertawa kecil seolah mengiyakan.
"Gara-gara kamu lembur, terus kita cuma punya recehan uang yang kalo digabung jadi lima puluh ribu." Lanjut Kirana.
"Mana dua puluh ribunya aku ambil ya?"
Kirana tertawa mendengar respon Tama, "kamu sok-sokan, dua puluh ribunya dipake buat kado! Sisa tiga puluh ribu cuma cukup buat beli indomie sama minum nutrisari dingin."
"Aku gak mau besoknya aku gak bisa kasih kamu hadiah apa apa pas selesai interview kerja," balasnya.
Mata Kirana kembali berkaca-kaca mengingat momen itu.
"Oh iya ya, besoknya aku ada interview kerja di e-commerce itu. Terus kamu nungguin aku selesai, sampe 4 jam..."
"Kan aku udah janji bakal jadi orang pertama yang dapet kabar positif dari kamu," jawab Tama tersenyum.
"Ya.. Walaupun hasilnya aku gak keterima," lanjut Kirana sambil menyeka sedikit air matanya.
"Tapi kamu dapet tempat sekarang." Tama menahan napas, "di Singapore, mimpi kamu sejak dulu."
Kirana mengangguk. Tapi senyumnya meredup. "Iya. Kerja impian di luar negeri, buat pembuktian diri. Tapi kok kayaknya malah sedih, ya?"
"Karena kita nggak pernah tahu harga dari mimpi itu apa, sebelum kita bayar."
Mereka saling menatap. Bukan tatapan marah, bukan kecewa. Lebih seperti sepasang orang yang tahu: mereka telah sampai di ujung jalan.
"Aku tetap di Jakarta," kata Tama pelan. "Studio ini... bukan cuma kerjaan. Ini cita-cita. Aku udah lama nggak punya tujuan. Akhirnya, aku ngerasa jalan ini buat aku."
Kirana tersenyum, lalu menunduk. Jarinya memainkan ujung e-tiket pesawat. "Aku tahu. Makanya cuma minta pengertian kamu untuk mengerti pilihan aku ke Singapore."
Tama menatapnya lama, lalu tiba-tiba berkata, "Tapi kalau aku tetap minta kamu ngga berangkat... kamu bakal tetap pergi?"
Kirana mengangkat wajahnya, kaget.
"Tama..."
"Jawab aja. Sekali ini."
Kirana menatapnya lama, senyum di wajahnya perlahan pudar. "Aku tetap pergi." Jawabnya tegas.
Tama mengangguk. Suasana hening, mereka terdiam. Bukan karena canggung tapi lebih seperti... menyiapkan diri untuk kata-kata terakhir.
"Sorry.. Aku takut. Gak bisa milih: kamu atau cita-cita." Kata Tama pelan.
"Hidup memang tentang pilihan kan, Tam?"
Hujan rintik masih terdengar, angin malam berhembus terasa semakin dingin. Barista datang menghampiri meja mereka, mengingatkan kalau coffee shop akan tutup 5 menit lagi.
"Tapi untuk kali ini kamu gak usah bingung lagi.." ucap Kirana mencoba menenangkan, walaupun dari wajahnya terlihat kalau dia hanya mencoba kuat. Menipu perasaan asli yang ada dalam hati.
Tama mengangguk. "Aku nggak janji. Tapi aku mungkin aku bisa nunggu..."
Kirana menggenggam tangan Tama. Tatapan matanya mengisyaratkan harapan besar. "Mau nunggu apa lagi? Sekarang kamu harus lari, cepat dan jauh. Demi studio design kamu!"
Kirana melepaskan genggaman tangannya lalu berdiri mengambil jaketnya. Binar matanya terlihat berusaha membuat hangat suasana, di malam yang dingin.
Barista di ujung ruangan mematikan lampu bagian dapur. Coffee shop bersiap tutup. Kirana bergegas meninggalkan meja mereka.
"Hati-hati di jalan," kata Tama.
"Kamu juga. Jaga studio-nya. Jangan gampang nyerah." Ucap Kirana dengan senyum lebar penuh kepalsuan, ingin terlihat tegar padahal tidak. Cengeng.
Hidup memang kejam, tapi harus apa lagi? Tama juga sadar, modal cinta saja tidak cukup untuk kasih makan ego, gengsi dan impian yang besar.
Kirana melangkah ke arah pintu. Suara gerimis mulai terdengar lagi dari luar. Langit kembali gelap. Jakarta belum benar-benar selesai hujan.
Kirana berhenti sebentar di depan menunggu taksi onlinenya datang. Tangannya masuk ke saku jaket. Di sana, terasa sebuah benda kecil: origami berbentuk "hati" dari lembaran uang dua puluh ribu lusuh. Hadiah kecil dari Tama dulu untuk merayakan, jika Kirana diterima kerja di e-commerce – walaupun akhirnya gagal.
Dia menatap origami itu sebentar, lalu balik badan sebelum akhirnya kembali yakin untuk melangkah pergi. Origami itu tak dibuang. Hanya digenggam dengan kencang.
Tama tetap duduk. Menatap cangkir kopi yang sudah dingin sepenuhnya. Dia memakai earphone, bersiap pulang. Tangannya menyentuh meja, ke tempat dimana origami "hati" setengah jadi tergeletak dibiarkan begitu saja. Dia memasang earphone. Tangannya refleks membuka playlist yang dulu mereka susun bersama — playlist yang hanya berisi lagu-lagu Chrisye.
Lagu pertama yang muncul: Selamat Jalan Kekasih.
Tama tidak melewati lagu itu. Dia biarkan liriknya mengalun, seolah bicara mewakili yang tak sempat diucapkan:
Hujan kembali turun deras. Dari jendela coffee shop, lampu jalan tampak buram, seolah bergetar.
Dari dalam taksi online, Kirana menoleh menatap ke arah coffee shop yang mulai gelap. Tama masih duduk di sana, menunggu hujan reda. Hidup tetap berjalan dengan harapan yang tersisa. Mungkin suatu saat nanti, mereka bisa bertemu lagi. Atau mungkin malam ini jadi yang terakhir.
*******