Wikipedia

Hasil penelusuran

Minggu, 18 Mei 2025

CUSTOMER TERAKHIR

Hujan deras berganti rintik. Di meja dekat jendela coffee shop kecil bernama Padasuka Kopi, duduk Tama dan Kirana — sepasang kekasih yang sedang menghadapi perpisahan.

Tama, pria kurus dengan kumis tipis dan jenggot acak-acakan, menunduk sambil membuat origami berbentuk "hati" dari uang lusuh dua puluh ribu perak. Di depannya, Kirana — perempuan berkulit terang oriental, modis dengan jaket kulit dan rambut hitam legam — sesekali melirik jam tangan, seolah menunggu waktu.

Di meja ada dua cangkir kopi yang sudah dingin, sisa pisang goreng yang tak disentuh, dan selembar e-tiket pesawat yang dilipat dua. Hampir satu jam, mereka hanya diam sambil sesekali basa basi melihat orang-orang lalu lalang di jalan Pedurenan. Mereka saling menunggu siapa yang pertama kali memulai pembicaraan.

Seorang barista mulai mondar-mandir, membereskan meja, dan menggulung kabel stop kontak. Coffee shop akan segera tutup jam 23.00. Kirana kembali melirik jam tangannya untuk ketiga kali malam itu, sudah pukul 22.25. Dia membuka jaketnya pelan, lalu menutup kembali. Seperti sedang menahan sesuatu yang ingin diucapkan. Namun Tama masih diam, sibuk sendiri.

Speaker tua di sudut ruangan mendesis pelan sebelum akhirnya memutar lagu lama — suara Chrisye muncul samar, mengisi ruangan yang sudah jenuh oleh kopi dingin dan kata-kata yang tertahan.

"Bagaikan langit berpelangi... Terlukis wajah dalam mimpi..."

Kirana mendongak sebentar. "Lagu "Pelangi", dulu suka kamu putar pas kita pulang dari Bandung, ya?"

Tama tersenyum, mengingat momen dulu. Saat lagu itu jadi pengantar perjalanan mereka pulang di travel Bandung - Jakarta. Tapi sekarang jadi latar untuk diam yang lebih panjang dari biasanya.

"Kopinya dingin, ya," ucap Kirana pelan, memulai pembicaraan. Suaranya terasa berat karena tidak ada niat untuk bicara soal kopi. Cuma basa basi.

Tama mengangguk, tidak langsung menjawab. Matanya menatap origami yang sedang dibuat, lalu ke wajah Kirana yang sebagian tertutup bayangan lampu jalan. "Dari tadi dingin," gumamnya.

"Aku sudah online check in," lanjut Kirana, menaruh e-tiket itu lebih dekat ke tengah meja. "Tadi siang.

Tama menelan ludah, dia berhenti membuat origami. "Jadi... fix, ya?"

"Udah nggak bisa ditunda lagi," jawab Kirana tegas.

Keheningan turun pelan-pelan. Seperti hujan rintik yang masih menetes dari atap seng. Tama menghirup kopinya yang dingin lalu menyandarkan punggung, menatap keluar.

"Visa kerja udah keluar. Kantor juga udah siapin tempat tinggal," lanjutnya.

"Gak bisa ditunda Enam bulan lagi..?" Tanya Tama lirih.

Kirana mengangkat wajahnya. Sorot matanya lelah, seperti seseorang yang kelamaan menunggu kereta yang tak kunjung datang.

"Tam..." katanya. Nafasnya pendek, nyaris putus. "Maksudnya apa sih..?" Kirana menggelengkan kepala, heran mendengar ucapan Tama. Gak nyangka pacarnya masih bisa bicara begitu.

"Kamu ngga bisa tunggu enam bulan lagi? Kamu kan tau, aku lagi bangun studio desain. Klien mulai masuk. Kalau udah jalan..."

Ucapan itu belum selesai ketika Kirana memotongnya, suaranya sedikit meninggi, bukan marah tapi pecah karena terlalu lama ditahan. "Studio itu mimpi kamu. Dan mimpi aku itu keluar dari sini! Aku gak bisa lagi hidup di rencana yang selalu kamu bilang 'nanti'."

Keheningan menyergap meja kecil mereka. Mata Kirana berkaca, bukan karena sedih tapi karena lelah.

"Aku gak nyuruh kamu ninggalin mimpi kamu..." ucap Tama, lebih seperti pembelaan sia - sia.

"Mimpi kita beda, kayaknya kita memang gak bisa jalan bareng ke sana," kata Kirana menatapnya sambil menarik nafas yang dalam.


"Kita udah pacaran lima tahun. Kayak gak ada kemajuan, aku takut lupa caranya lari." Lanjutnya.

Tama tersenyum tipis. Pahit. "Kamu inget ngga? Kita pernah janji: kalau mau lari, lari bareng."

"Masalahnya, selama ini kita lari di tempat!" Kirana mulai terpancing emosi.

Kata-kata itu menggantung. Tak ada yang segera menjawab. Hanya suara pelan sapu yang digeser barista dari sudut ruangan.

"Kita udah gak muda lagi. Sudah harus ada "big step" yang dilakuin.." Lanjut Kirana pelan, yang dibalas Tama dengan diam menatap origami di atas meja.

Melodi lembut "Andai Aku Bisa" dari Chrisye muncul dari speaker yang serak. Kirana diam lalu tertawa kecil, emosinya turun. Lagu itu membawa flashback – menuju kenangan dengan Tama tahun lalu.

"Lagu ini... kamu putar ngiringin kita makan indomie sepiring berdua di trotoar jam dua pagi," gumamnya pelan.

Tama tertawa kecil seolah mengiyakan.

"Gara-gara kamu lembur, terus kita cuma punya recehan uang yang kalo digabung jadi lima puluh ribu." Lanjut Kirana.

"Mana dua puluh ribunya aku ambil ya?"

Kirana tertawa mendengar respon Tama, "kamu sok-sokan, dua puluh ribunya dipake buat kado! Sisa tiga puluh ribu cuma cukup buat beli indomie sama minum nutrisari dingin."

"Aku gak mau besoknya aku gak bisa kasih kamu hadiah apa apa pas selesai interview kerja," balasnya.

Mata Kirana kembali berkaca-kaca mengingat momen itu.

"Oh iya ya, besoknya aku ada interview kerja di e-commerce itu. Terus kamu nungguin aku selesai, sampe 4 jam..."

"Kan aku udah janji bakal jadi orang pertama yang dapet kabar positif dari kamu," jawab Tama tersenyum.

"Ya.. Walaupun hasilnya aku gak keterima," lanjut Kirana sambil menyeka sedikit air matanya.

"Tapi kamu dapet tempat sekarang." Tama menahan napas, "di Singapore, mimpi kamu sejak dulu."

Kirana mengangguk. Tapi senyumnya meredup. "Iya. Kerja impian di luar negeri, buat pembuktian diri. Tapi kok kayaknya malah sedih, ya?"

"Karena kita nggak pernah tahu harga dari mimpi itu apa, sebelum kita bayar."

Mereka saling menatap. Bukan tatapan marah, bukan kecewa. Lebih seperti sepasang orang yang tahu: mereka telah sampai di ujung jalan.

"Aku tetap di Jakarta," kata Tama pelan. "Studio ini... bukan cuma kerjaan. Ini cita-cita. Aku udah lama nggak punya tujuan. Akhirnya, aku ngerasa jalan ini buat aku."

Kirana tersenyum, lalu menunduk. Jarinya memainkan ujung e-tiket pesawat. "Aku tahu. Makanya cuma minta pengertian kamu untuk mengerti pilihan aku ke Singapore."

Tama menatapnya lama, lalu tiba-tiba berkata, "Tapi kalau aku tetap minta kamu ngga berangkat... kamu bakal tetap pergi?"

Kirana mengangkat wajahnya, kaget.

"Tama..."

"Jawab aja. Sekali ini."

Kirana menatapnya lama, senyum di wajahnya perlahan pudar. "Aku tetap pergi." Jawabnya tegas.

Tama mengangguk. Suasana hening, mereka terdiam. Bukan karena canggung tapi lebih seperti... menyiapkan diri untuk kata-kata terakhir.

"Sorry.. Aku takut. Gak bisa milih: kamu atau cita-cita." Kata Tama pelan.

"Hidup memang tentang pilihan kan, Tam?"

Hujan rintik masih terdengar, angin malam berhembus terasa semakin dingin. Barista datang menghampiri meja mereka, mengingatkan kalau coffee shop akan tutup 5 menit lagi.

"Tapi untuk kali ini kamu gak usah bingung lagi.." ucap Kirana mencoba menenangkan, walaupun dari wajahnya terlihat kalau dia hanya mencoba kuat. Menipu perasaan asli yang ada dalam hati.

Tama mengangguk. "Aku nggak janji. Tapi aku mungkin aku bisa nunggu..."

Kirana menggenggam tangan Tama. Tatapan matanya mengisyaratkan harapan besar. "Mau nunggu apa lagi? Sekarang kamu harus lari, cepat dan jauh. Demi studio design kamu!"

Kirana melepaskan genggaman tangannya lalu berdiri mengambil jaketnya. Binar matanya terlihat berusaha membuat hangat suasana, di malam yang dingin.

Barista di ujung ruangan mematikan lampu bagian dapur. Coffee shop bersiap tutup. Kirana bergegas meninggalkan meja mereka.

"Hati-hati di jalan," kata Tama.

"Kamu juga. Jaga studio-nya. Jangan gampang nyerah." Ucap Kirana dengan senyum lebar penuh kepalsuan, ingin terlihat tegar padahal tidak. Cengeng.

Hidup memang kejam, tapi harus apa lagi? Tama juga sadar, modal cinta saja tidak cukup untuk kasih makan ego, gengsi dan impian yang besar.

Kirana melangkah ke arah pintu. Suara gerimis mulai terdengar lagi dari luar. Langit kembali gelap. Jakarta belum benar-benar selesai hujan.

Kirana berhenti sebentar di depan menunggu taksi onlinenya datang. Tangannya masuk ke saku jaket. Di sana, terasa sebuah benda kecil: origami berbentuk "hati" dari lembaran uang dua puluh ribu lusuh. Hadiah kecil dari Tama dulu untuk merayakan, jika Kirana diterima kerja di e-commerce – walaupun akhirnya gagal.

Dia menatap origami itu sebentar, lalu balik badan sebelum akhirnya kembali yakin untuk melangkah pergi. Origami itu tak dibuang. Hanya digenggam dengan kencang.

Tama tetap duduk. Menatap cangkir kopi yang sudah dingin sepenuhnya. Dia memakai earphone, bersiap pulang. Tangannya menyentuh meja, ke tempat dimana origami "hati" setengah jadi tergeletak dibiarkan begitu saja. Dia memasang earphone. Tangannya refleks membuka playlist yang dulu mereka susun bersama — playlist yang hanya berisi lagu-lagu Chrisye.

Lagu pertama yang muncul: Selamat Jalan Kekasih.

Tama tidak melewati lagu itu. Dia biarkan liriknya mengalun, seolah bicara mewakili yang tak sempat diucapkan:

Resah rintik hujan
Yang tak henti menemani
Sunyinya malam ini
Sejak dirimu jauh dari pelukan

Hujan kembali turun deras. Dari jendela coffee shop, lampu jalan tampak buram, seolah bergetar.

Dari dalam taksi online, Kirana menoleh menatap ke arah coffee shop yang mulai gelap. Tama masih duduk di sana, menunggu hujan reda. Hidup tetap berjalan dengan harapan yang tersisa. Mungkin suatu saat nanti, mereka bisa bertemu lagi. Atau mungkin malam ini jadi yang terakhir.

******* 


Senin, 21 April 2025

Perempuan di Gerbong Lima


Setiap hari pukul 09.30 di hari kerja, Nara, seorang pria dengan hidup dan karir yang biasa-biasa saja, selalu menyempatkan diri naik KRL dari rumahnya di sekitar Rawa Buntu menuju kantornya di Kebayoran. Dia selalu naik dari gerbong lima, bukan karena yang paling sepi atau paling nyaman tapi memang cuma gerbong itu yang paling dekat dengan tangga keluar saat tiba di stasiun, jadi lebih praktis.

Namun ada alasan lain kenapa dia selalu memilih gerbong lima. Di gerbong itu, pandangannya selalu terpaku pada

seorang perempuan kurus, berkulit kuning oriental dengan rambut panjang terurai dan mata tajam. Perempuan itu — yang namanya belum Nara ketahui — selalu memakai kaos oversize warna pastel dan syal putih bergambar kucing. Ekspresi wajahnya selalu cuek, dengan earphone yang selalu tertancap di kedua telinga.

Perempuan gerbong lima, seperti itu dia menyebutnya.

Nara memang pria cupu, mengajak kenalan atau sekedar senyum, caranya saja dia tidak tahu. Sebagai karyawan agency, menurutnya dia tidak punya “selling point”, selain satu hal: selera musik. Playlist musik Indonesia tahun 90an dan 2000an yang selalu dimainkan dari headphone bluetooth-nya setiap hari. Padahal di mata teman-temannya, selera musiknya gak banget – gak update dan sudah terlalu ketinggalan jaman. Katro!

*****

Hari ini jam 09.40, Nara datang buru-buru dengan memegang tumbler isi kopi yang belum sempat diminum. Sudah dipastikan dia akan telat datang ke kantor, akibat begadang karena deadline kerjaan. Kereta datang, dia langsung naik di gerbong lima.

Gerbong lima sedikit padat, membuat Nara tidak bisa merangsek ke posisi tengah. Dia berdiri tepat di depan pintu supaya cepat keluar guna mengejar waktu. Dia memakai headphone-nya, scroll playlist di ponsel berharap musiknya bisa memperbaiki pagi ini. Tapi dia tidak sadar, sedang berdiri berdampingan sejajar dengan perempuan itu.

Kereta berhenti di stasiun Pondok Ranji – satu stasiun sebelum stasiun Kebayoran. Beberapa penumpang masuk dengan tergesa, membuat posisinya bergeser karena bersenggolan. Tiba - tiba tak sengaja tumbler kopi terdorong tumpah mengenai pakaian Nara. Sepertinya Tuhan lagi menguji kesabarannya hari ini.

Ternyata orang yang membuat kopinya tumpah adalah perempuan gerbong lima.

“Ehh, maaf.. Maaf banget..” ucap perempuan itu sambil mengambil tutup tumbler yang jatuh.

Nara terpaku. Dia merasa ada sesuatu yang mengalir pelan tapi pasti. Tanpa kata, tanpa sebab. Getaran kencang KRL yang melewati rel di sekitar Tanah Kusir pun tak mampu membuatnya bergerak.

“I.. I.. iya gak apa apa,” jawab Nara dengan gagap, sambil mengambil tutup tumbler dari perempuan itu. Tapi karena tangannya gemetar, membuatnya fokusnya hilang hingga terus gagal menutup tumblernya.

“Sorry ya, mas. Maaf banget, gak sengaja..”

“Gapapa, gapapa kok,” jawab Nara yang akhirnya berhasil menutup tumblernya.

Kereta tiba di Kebayoran, dan Nara buru buru turun dengan tergesa. Mereka berpisah begitu saja.

Tapi pagi itu, Nara merasa hidupnya berubah sedikit — saat tiba tiba secara random playlist-nya memainkan lagu “Cantik” milik Kahitna: “Ooo cantik.. Ingin rasa hati berbisik..”

Lagu tersebut membuat otaknya yang cupu memproses apa yang baru saja terjadi. Apakah kopi yang tumpah merupakan puncak kesialannya hari ini atau justru jadi bukti kalau Tuhan akan segera mengubah jalan hidupnya.

*****

Esok harinya, Nara kembali naik gerbong lima. Dengan perasaan deg-degan, dia naik ke kereta. Kereta mulai berjalan pelan meninggalkan stasiun Rawa Buntu. Dia melihat perempuan itu sedang duduk memandangi layar ponsel. Dia berdiri tak jauh darinya tapi untuk mendekat sekedar basa-basi pun, masih tak bisa. Dia memilih pura-pura tidak melihat, memakai headphone dan memutar lagu.

Alunan piano mulai terdengar dari lagu “Negeri di Awan” dari Katon Bagaskara. Nara bersenandung pelan, tanpa sadar menyuarakan bait: “Kau datang padaku… Kau tawarkan hati nan lugu… Selalu mencoba mengerti…” — seolah menggambarkan harapannya untuk hari esok.

Tiba - tiba pundaknya ditepuk oleh seseorang dari belakang. Nara menoleh, ternyata perempuan gerbong lima.

“Negeri di Awan, ya?”

"Iya," jawab Nara kaget, sedikit kikuk.

Perempuan itu sudah beranjak dari tempat duduknya, sekarang mereka sedang berdiri berdampingan.

“Lagu Katon emang enak sih tapi liriknya terlalu puitis dan melankolis.”

“Lo tahu lagu ini? Dengerin juga?” Nara sedikit kaget.

“Ya tahu dong, itu lagunya enak sih. Tapi gue lebih suka Sheila on 7. Liriknya sederhana, simpel, gampang masuk ke hati,” ucap perempuan itu excited.

Perempuan yang selama ini dikira kaku dan cuek ternyata sangat cheerful ngobrol. Nara merasa garis batas yang membuatnya takut untuk memulai percakapan, mulai luntur menghilang.

“Ahh, jadi ternyata tim Eros ya? Bahasanya ringan kayak lagi cerita ke temen.”

“Ya kan. Lirik-liriknya kayak curhatan di diary.”

“Buset, diary banget tuh. Tahun 2025 nih.. Hahaha.”

“Hahaha, bisa aja. Gue selalu iri, gimana caranya Eros bisa nulis kayak gitu. Kalo lo tim Kla Project, ya?”

“Gak juga sih. Gue dengerin semua musik Indonesia tahun 90an dan 2000an gitu.”

“Ah, sama banget. Di era itu, semua musik itu simple tapi nancep.”

Mereka tertawa. Obrolan mereka mengalir tentang lagu-lagu lawas favorit masing-masing. Nara merasa seperti sudah mengenal perempuan ini sekian lama.

"Lagu - lagu jaman itu kayak jendela perasaan," kata perempuan itu. "Simpel, tapi bisa nusuk."

Tapi lagi - lagi, stasiun Kebayoran datang terlalu cepat.

“Eh, lo harus turun ya di sini?” Tanya perempuan itu.

“Iya, kantor gue dekat sini. Kalo lo turun dimana?”

“Gue abis ini turun, di Palmerah.”

Nara turun dari kereta tapi sebelum pintu tertutup, perempuan itu berkata sesuatu.

“Eh, maaf ya soal kopi yang kemarin.”

Pintu kereta tertutup. Nara tersenyum kepada perempuan itu, memberi kode bahwa kemarin bukanlah suatu masalah, melainkan berkah dari Tuhan.

*****

Hari-hari berikutnya mereka semakin sering bertegur sapa. Kadang hanya dengan anggukan, kadang dengan obrolan ringan. Suatu pagi, Nara menunjukkan playlist-nya, dan perempuan itu mencibir ketika melihat lagu "Roman Picisan" dari Dewa 19 masuk dalam daftar.

"Liriknya lebay, tapi gue akuin jujur banget," katanya sambil ngakak.

"Justru itu seninya. Kayak nulis puisi pakai kata-kata anak tongkrongan," bela Nara.

“Cintaku tak harus miliki dirimu..” – sambil berbisik perempuan itu menyanyikan reff lagu Roman Picisan.

“Kalo cinta ya harus memiliki dong. Walaupun harus dengan pengorbanan yang besar!” Lanjut perempuan itu.

Dia lalu membalas dengan memperdengarkan lagu "Antara Kita" dari girlband lawas Rida Sita Dewi, untuk pertama kalinya Nara merasa lagu itu terdengar lebih hangat dan liriknya masuk ke hati.

*****


Esok harinya, langit mendung sejak pagi. Nara ada meeting dengan klien yang mengharuskannya turun di stasiun Palmerah. Namun kepalanya sudah menyusun rencana untuk ngobrol sambil jalan dengan perempuan itu. Menurutnya, ini saatnya dia berkenalan lebih lanjut. Sekedar mengetahui nama, atau mungkin saling bertukar nomor telepon.

Nara masuk gerbong lima dan mendapati perempuan itu berdiri dekat pintu. Mereka tersenyum tanpa perlu kata pembuka. Hujan mulai turun, dari gerimis jadi deras. Kereta tiba di stasiun Palmerah. Mereka berdua turun berbarengan.

“Tumben lo turun di sini?” Tanya perempuan itu.”

“Iya, gue ada meeting sama klien di sekitaran sini. Tapi hujannya deres banget, pasti telat deh gue.”

Perempuan itu membuka payungnya bening transparan miliknya. "Bareng yuk, kali aja jalan kita searah," katanya.

Mereka berjalan berdampingan di bawah satu payung. Rintik hujan jatuh di sekitar mereka, memantul di genangan trotoar. Langkah mereka lambat, seolah tak ingin segera sampai.

"Gue suka aroma hujan di trotoar basah begini," ucap perempuan itu pelan.

Gemercik air hujan yang memantul di antara mereka seakan membuat suasana jadi makin syahdu. Nara coba cari topik untuk membalas ucapan perempuan itu.

"Kalo gue suka momen kayak gini. Jalan bareng orang asing yang nggak terasa asing," sahut Nara — entah pujangga mana yang tiba tiba merasuki otaknya. Sepersekian detik, dia mereka itu adalah kata - kata yang bodoh dan cheesy.

Perempuan itu tersenyum kecil. "Lo bukan orang asing kok."

Mereka berhenti sejenak di bawah pohon rindang, menunggu lampu hijau untuk menyeberang. Di bawah payung yang kecil itu, bahu mereka saling bersentuhan. Hening. Hanya suara hujan dan detak hati yang terasa.

"Dulu gue sempat pengen jadi penulis," katanya tiba-tiba. "Tapi ya, hidup bawa ke arah yang lain. Kadang gue iri sama orang-orang yang bisa menulis bebas tentang apa aja yang mereka rasain."

“Kenapa lo ngomong gitu?”

“Soalnya ujung - ujungnya perempuan memang harus ngalah dan cuma jadi supporting buat si pemeran utama,” – jawabnya pelan, getir.

Ekspresi wajahnya berubah jadi sendu. Tidak ada lagi senyum cheerful yang selalu ada di beberapa waktu kebelakang menghilang. Air hujan jadi terasa lebih dingin dan menusuk.

"Lo masih bisa jadi penulis. Momen hujan - hujanan kayak gini ini aja, udah cocok dibikin cerpen.. hehehe."

"Lo aja yang tulis tapi jangan pakai nama gue ya. Biar tetap jadi rahasia gerbong lima," ujarnya sambil tertawa pelan.

Mereka berhenti di halte Transjakarta, perempuan itu harus lanjut dengan bus Transjakarta ke destinasi tujuannya. Namun Nara harus jalan terus karena sebentar lagi dengan klien akan dimulai.

“Gapapa, lo bawa aja dulu payung gue. Kalo gue kan di halte, aman gak akan kena hujan.”

Perempuan itu menyerahkan payungnya lalu mereka berpisah menuju tujuan masing - masing. Nara memakai headphone-nya, memainkan lagu: Chrisye yang berjudul “Untukku”. Perlahan hujan berhenti, cahaya matahari mulai masuk menembus payung yang transparan.

*****

Keesokan harinya, Nara datang dengan membawa payung transparan milik perempuan gerbong lima. Di dalam gerbong, dia mencari keberadaan perempuan itu. Namun tidak ada. Hari - hari berikutnya terasa menggantung. Nara mulai mencarinya ke gerbong lain, mencoba menebak - nebak apa yang terjadi. Kali ini sepertinya Tuhan sudah mengembalikan hidupnya ke mode default.

Dua minggu berlalu, dan gerbong lima terasa hampa, sepi, seperti penyanyi yang lupa lirik di tengah konser. Pada suatu pagi, Nara berdiri sendiri di depan pintu kereta. Lagu "Dan" dari Sheila on 7 mengalun pelan di tengah hiruk-pikuk pagi. Saat itulah dia sadar: perempuan itu benar - benar tak datang lagi.

*****

Lewat satu setengah bulan, Nara naik kereta dari gerbong lima seperti biasa. Dia sudah tidak mencari lagi, tak berharap apa-apa. Dia memakai headphone lalu memilih lagu-lagu yang ada di playlist ponselnya. Tapi ketika kereta hampir penuh, ada yang menepuk pundaknya.

"Gue belum sempat ganti kopi lo yang tumpah waktu itu."

Perempuan itu kembali muncul dengan menyodorkan satu cup starbucks berisi kopi.

Nara terkejut tak menyangka tiba - tiba perempuan itu kembali dihadapannya. Dia mengambil kopi Starbucks pemberian perempuan itu. Wajah Nara berubah sumringah.

“Lo dari mana aja? Kok lama gak keliatan?”

Perempuan itu tertawa, "nyariin ya?” – Nara tersenyum kecut, salting karena perempuan itu bisa nebak perasaannya.

“Gue nikah, tiga minggu lalu. Terus ambil cuti kerjaan rada lama, sekalian ke Bali.”

Seperti petir, kata - kata itu menghentakan tubuhnya seraya manuver yang dilakukan masinis kereta. Kereta bergerak kencang, tapi bagi Nara, semuanya membeku. Dia tak berkata apa-apa. Nyalinya ciut, kembali cupu.

Di dalam kepalanya, seperti sedang mencari-cari lagu dalam playlist yang cocok dengan momen saat ini. Mencari sebuah bait lagu yang dulu terasa bermakna, kini justru menancap seperti busur panah. Banyak yang ingin diucapkan, tapi tak ada satu pun yang keluar. Karena semua itu tak akan mengubah apa-apa.

Rasanya seperti kehilangan sesuatu yang bahkan belum sempat dimiliki. Dan itu jauh lebih menyakitkan.

Perempuan itu tersenyum tipis, lalu berkata hampir seperti bisikan, "gue senang sempat kenal sama lo.”

Nara mengangguk. Matanya tak berani menatap langsung, bibirnya coba bergerak, tapi tetap tak ada suara yang keluar. Hanya sebuah helaan napas panjang.

“Hari ini terakhir gue di Jakarta..”

Dia menatap nanar ke arah jendela kereta. Kilau cahaya matahari menembus menyinarinya, seolah terlihat memberikan salam perpisahan.

“Gue harus pergi buat pindah ke Bali, ikut suami," lanjut perempuan itu.

Ada sesal, ada getir — kenapa Nara baru berani ngobrol dengannya belakangan ini. Tapi juga rasa syukur, karena perempuan itu pernah hadir di hidupnya walau hanya sebentar. Benar kata Ahmad Dhani di Roman Picisan, sepertinya cinta memang tak harus memiliki.

Sebelum penyesalan semakin besar, Nara memberanikan diri menanyakan satu pertanyaan terakhir.

"Nama lo siapa?" tanya Nara yang suaranya nyaris tenggelam oleh deru rel.

Perempuan itu tersenyum.

"Kirana."

“Kirana? Gue Nara.”

Mereka berjabat tangan untuk pertama kalinya, setelah hampir dua bulan obrolan tanpa ada momen perkenalan secara formal.

“Eh, sorry. Gue gak bawa payung lo, gimana nanti gue balikinnya kalo lo ke Bali?”

“Gak usah, buat lo aja. Anggap souvenir dari gue.”

Kereta tiba di stasiun Kebayoran. Nara turun perlahan lalu kembali membalikan badan. Mereka berdua saling melambaikan tangan, memberi perpisahan satu sama lain, sebelum menghilang di balik pintu gerbong.

Playlist Nara secara random memainkan lagu Kirana dari Dewa 19: “Hadir di muka bumi tak tersaji indah… Kuingin rasakan cinta…”

Besok pasti akan ada orang baru yang muncul, tapi tak akan ada lagi Kirana. Entah apa rencana Tuhan selanjutnya tapi yang pasti sejak hari itu, gerbong lima tak lagi sama.

*******

Selasa, 17 Maret 2020

Dukun Setan


Minggu lalu aku bersama tiga orang temanku, Rina dan Joni, berencana berlibur bertiga ke pantai Anyer. Kami bertiga adalah sahabat dekat sejak kuliah semester pertama, dan memang beberapa sebulan sebelumnya kami banyak sekali tugas kuliah. Jadi gak salah kan, kalo kami berencana liburan bertiga ke Anyer dengan mobil Joni.

Kami berangkat dari jam satu siang dari jakarta. Awalnya perjalanan berjalan lancar, selama perjalanan Joni terus menakuti kami kalau di jalan yang kami lalui, sering muncul kejadian mistis tentang dukun iblis. Aku dan Rina hanya tertawa saja menanggapi bualan Joni.

Sekitar jam setengah enam sore, tiba tiba mobil Joni mogok. Di sekitar kami hanya ada hutan, kami pun kebingungan karena sebenarnya bensin masih penuh ditambah kami tidak ada yang mengerti tentang mesin mobil. Disaat kebingungan, ada yang mengetuk jendela mobil. Joni yang duduk di bangku supir membuka jendela. Ada seorang pria paruh baya menanyakan keadaan kami dan menawarkan bantuan. Nama pria itu adalah Pak Rizal, dia menyuruh kami untuk mampir ke rumahnya yang ada di seberang jalan. Dia bilang kalau anaknya adalah montir yang mungkin bisa membantu kami. Kami bertiga pun setuju, karena memang tidak ada pilihan lain.

Hari mulai menjelang malam, tapi anak Pak Rizal belum juga mulai memperbaiki mobil kami. Pak Rizal bilang kalau anaknya kerja sebagai montir di kota dan biasanya baru sampai rumah setelah solat isya. Pak Rizal lalu menawarkan kami makan malam, Rina mencoba menolak karena tidak enak tapi karena aku sangat lapar, aku mengiyakan tawaran Pak Rizal.

Pak Rizal menyuruh kami duduk di meja makan, sambil menunggu istrinya mengantarkan makanan. Tak lama kami menunggu, muncul seorang nenek berwajah pucat dengan rambut putih seperut mengantarkan sebakul nasi. Nenek itu berjalan dengan sangat pelan sampai aku, Joni dan Rina saling pandang karena merasa aneh. Pak Rizal lalu memberitahukan kalau wanita itu adalah istrinya. Ketika Pak Rizal bilang kalau itu istrinya, aku makin merasa aneh karena secara fisik usia Pak Rizal mungkin masih sekitar 50 tahun, sedangkan nenek tadi mungkin usianya sudah 80 tahun.  Aku dan ketiga temanku hanya bisa saling pandang, aku tau kalau kami bertiga sedang memikirkan keanehan yang sama.

Setelah semua makanan datang, Pak Rizal yang sudah ditemani dengan istrinya mempersilahkan kami makan. Dengan perasaan sedikit takut, aku mulai makan lele goreng yang sudah disiapkan. Baru aku makan tiga gigit tiba tiba kepalaku terasa pusing, lalu Rina tiba tiba terjatuh pingsan, kemudian disusul oleh Joni, tak lama aku juga ikut pingsan.


Aku pelan pelan membuka mata, aku tak tau sudah berapa lama tak sadarkan diri. Aku masih berada di meja makan, di depanku masih ada Joni yang pingsan. “Joni.. Joni...” Aku membangunkan Joni dengan suara pelan. Joni akhirnya bangun dengan wajah bingung, lalu dia menanyakan Rina, Pak Rizal dan istrinya yang tidak ada di meja makan.

Kami berdua berinisiatif mencari Rina. Kami memasuki kamar yang ada di rumah tapi kami tidak ada seorang pun. “Jon, lo dengar gak ada suara di belakang rumah?” Sayup sayup aku mendengar suara dari belakang rumah. Joni terdiam dan memastikan sumber suara itu, lalu Joni langsung menarik aku ke belakang rumah.

Di belakang rumah, kami melihat sebuah kejadian aneh. Rina sedang tidur terlentang di atas tanah, disampingnya ada istri Pak Rizal sedang duduk jongkok, lalu Pak Rizal sendiri sedang berdiri mendongakan kepala keatas dengan mulut komat kamit. Aku sadar kalau Rina sedang dalam kesulitan, namun karena takut aku dan Joni seakan tidak bisa menggerakan badan kami.

Di depan mata kami, tiba tiba... istri Pak Rizal menggigit nadi tangan kanan Rina. Dan sepersekian detik muncul kejadian aneh yang tak pernah aku bayangkan sebelumnya. Saat nadi Rina digigit, seperti ada perpindahan energi antara Rina dan istri Pak Rizal. Pelan pelan tubuh Rina mengering, dan tubuh istri Pak Rizal terlihat semakin muda. Se.. sepertinya.. darah Rina saat ini sedang disedot sampai habis.

Aku langsung membaca bacaan bacaan agama kepercayaanku sampai akhirnya tubuhku bisa bergerak lagi. “RINAAAAA!!!!” Saat tubuhku bisa bergerak, aku langsung berteriak menyebut nama Rina. Tapi ternyata tindakanku salah.

     Pak Rizal dan istrinya yang tampak lebih muda melihat kearahku dan Joni yang sedang bersembunyi, dan tampak di tanah tubuh Rina yang sudah kering kerontang. Bulu kuduk ku makin merinding melihat hal itu, ditambah istri Pak Rizal menyeringai lebar. Seringai dari bibirnya hampir menyentuh kedua telinga. Keadaan menjadi sunyi, dan pecah saat tiba tiba istrinya tertawa keras... hihihihii.. hihihiii..., Pak Rizal lalu berlari kearah kami bersembunyi.

Secepat mungkin aku lari menyelamatkan diri. Tanpa kusadari aku hanya lari sendirian, karena ternyata Joni masih kaku terdiam di tempat kami bersembunyi. Saat aku mencoba kembali, Pak Rizal muncul dan langsung menggigit telinga kiri Joni. Aku ingin menolongnya, tapi aku terlalu takut. Aku pun memutuskan untuk lari keluar rumah tanpa melihat kebelakang. Aku lari kencang, lalu terjatuh dan tak sadarkan diri.

Keesokan harinya aku terbangun di jok mobil yang jendelanya sudah terbuka lebar, dihadapanku ada beberapa penduduk desa sedang kebingungan melihatku. Aku melihat semua sudut mobil tapi tidak ada keberadaan Rina dan Joni. Aku langsung menceritakan kejadian yang aku alami semalam kepada penduduk desa. Diantara semua penduduk desa, ada satu nenek tua bicara padaku, dia bilang... “Dukun setan sudah menemukan tumbalnya untuk hidup abadi...”.

*******

Minggu, 22 September 2019

Mawar 100 Tahun




Senin, 21 September 2030. Aku melakukan pencurian terbesar tahun ini. Aku mencuri sebuah mawar berusia 100 tahun dari rumah seorang kepala pemerintahan. Polisi dan semua orang sedang mencariku, sekarang aku sedang bersembunyi supaya tidak tertangkap.

Tidak penting bagaimana aku mencuri mawar itu, yang paling penting adalah kenapa aku mencuri mawar itu? Alasanku cuma satu. Aku ingin memberikan mawar itu kepada seorang gadis tanpa nama yang selalu mampir setiap sore ke kedai kopi tempatku bekerja. Gadis manis yang sekilas mirip Maggie Cheung dengan kearifan lokal. Matanya, senyumnya, suaranya, serta blazer merah corak mawar yang selalu dia pakai setiap Senin, maka karena itulah aku menyebut gadis tanpa nama itu, Rose. Aku suka padanya tapi belum jatuh cinta, mungkin masih sebatas jatuh hati.  
          
Flashback di hari Senin tanggal 7 September, dua minggu yang lalu. Sepertinya ada yang beda dari biasanya, Rose datang ke kedai kopi tidak memakai blazer mawar. Wajahnya murung, matanya merah, dan tak ada senyum. Beberapa kali aku curi curi pandang, kulihat dia menyeka matanya. Dia sedang bersedih. Siapa yang berani membuatnya bersedih? Kurang ajar!
        
Aku langsung saja berinisiatif memberikannya segelas vanilla latte kesukaannya. Tapi ketika aku letakan vanilla latte di mejanya, dia malah bilang, “saya gak pesen ini mas, saya mau pesan air mineral.”
         
“Ini gratis buat mba. Dan air mineralnya akan segara saya ambilkan”. Aku mengambilkan air mineral sambil sumringah, karena itulah pertama kali ada pembicaraan antara aku dengan Rose.
         
Lalu keesokan harinya hingga seterusnya, dia tidak pernah datang lagi ke kedai. Akukhawatir kalau dia melakukan hal yang aneh - aneh karena sedih. Aku kepo dan mencoba mencari info tentangnya di twitter dan Instagram tapi percuma, karena nama aslinya saja aku tidak tau. Aku mencoba mengingat hal tentangnya selama di kedai kopi, tapi yang muncul di kepala hanya senyum dan blazer mawar miliknya saja.
       
Senin, 14 September. Tanpa sengaja aku melihat koran hari ini. Di headline tertulis, “KEPALA PEMERINTAHAN MENERIMA HADIAH MAWAR 100 TAHUN DARI PRESIDEN”. Ide cemerlang datang. Aku harus mencuri mawar 100 tahun dan akan kuberikan kepada Rose. Koran dan televisi pasti akan memberitakan jadi Rose pasti akan sadar kalau aku peduli padanya.
        

        
Dan hari ini, akhirnya aku berhasil mencuri mawar 100 tahun dan aku sembunyikan di dalam ransel. Ranselnya tidak kupakai dipunggung, tapi terus kupeluk supaya mawarnya tidak hilang. Namun diluar dugaan kota jadi ramai, polisi dengan mobil, motor, bahkan helikopter berkeliling kota untuk mencari mawar yang dicuri. Padahal sebenarnya, niat awalku ingin meminjam mawar 100 tahun itu tapi setelah aku pikir pikir lagi, mawar secantik ini harusnya menjadi milik gadis seperti Rose.
        
“Sekarang tinggal menuju kantor koran dengan hati hati supaya tidak ditangkap polisi.” Pikirku dalam hati.

Aku lalu beranjak dari persembunyianku di sebuah warkop samping rumah Kepala Pemerintahan. Jika mengacu maps, jarak yang harus kutempuh dengan jalan kaki ke kantor koran hanya 15 menit saja. Aku mulai berjalan dengan sangat pelan supaya orang orang tidak curiga.  Namun ternyata berjalan pelan membuatku tak nyaman, aku merasa semua mata tertuju padaku.
                
 Jadi aku memilih untuk naik taksi supaya bisa lebih cepat sampai di kantor koran. Baru jalan tiga kilometer ternyata jalan ditutup oleh polisi. Aku jadi panik dan semakin mendekap erat tasku. Aku lalu nekat turun dari taksi. Seketika sopir taksi berteriak memanggilku karena aku belum bayar, aku jadi panik lalu malah lari tanpa arah.
                
Polisi yang sedang standby di jalanan langsung melihat kearahku. Aku semakin panik. Ak uterus lari, kulihat di belakang ada sekitar enam polisi mengejarku. Karena lari tanpa arah, posisiku sekarang malah menjauhi kantor koran, “SIAL!”, pikirku dalam hati.
                
Seisi kota jadi penuh suara sirene mobil polisi dan suara baling baling helicopter, semua mengejarku. Rasa takut semakin besar, karena aku tidak mau di tangkap polisi karena ketahuan mencuri. Tapi aku sadar, aku sekarang pencuri yang mencuri sebuah barang berharga, tapi aku melakukan ini untuk memberikannya kepada pencuri lain yang sudah mengambil hatiku.
                
Ada perasaan ingin menyerah, tapi aku ingin Rose tau kalau aku melakukan ini untuknya. Lalu aku teringat adegan sebuah film. Aku ingat adegan perampokan dari film yang kutonton, dimana polisi tidak berani menangkap si perampok karena perampok itu menyembunyikan bom di dalam pakaiannya. Aku tiba tiba stop. Polisi yang mengejarku juga ikut stop sambil mengarahkan pistolnya kepadaku.
                
“Jangan berani mendekat, atau aku ledakan bom yang ada dalam tas ini!!”
     
Semua polisi saling menatap satu sama lain, sepertinya mereka antara yakin dan tak yakin kalau di dalam tasku ada bom. Tapi ada salah satu polisi berinisiatif maju kedepan.
                
“Stop! Jangan maju!” Teriak salah polisi lain yang sepertinya adalah kapten.
     
 “Apa maumu?” Tanya si kapten polisi.
                
Aku tidak menjawab pertanyaan si kapten, karena aku benar benar panik karena ada sekitar sepuluh polisi mengarahkan pistolnya. Semua mata benar benar tertuju padaku, aku hanya bisa terus memeluk tasku dengan erat.
        
Ditengah kepanikan, sekilas aku melihat seorang gadis dengan blazer corak mawar mengintip diantara orang - orang.
                
“Rose! Rose!”, aku teriak memanggil gadis itu tapi tak ada respon. Polisi pun perlahan makin mendekat.
                
Lalu aku melihat lagi kearah gadis yang kuyakin adalah Rose, tapi ternyata gadis itu sudah tidak ada. Aku jadi semakin panik dan terus melihat sekeliling mencari keberadaan Rose. Kemudian sekilas aku lihat blazer corak mawar sedang berjalan menjauhi kerumuman, tanpa pikir panjang aku lari. Aku harus menyerahkan mawar 100 tahun ini, supaya dia tau aku peduli padanya.
                
Aku berlari, satu langkah… dua langkah… tiga langkah… Muncul suara keras sebanyak empat kali, tiba tiba kakiku sakit seperti tertusuk sesuatu, lalu punggungku yang sakit, kemudian terakhir kepalaku yang sakit. Sepersekian detik kulihat Rose pergi cepat, jauh meninggalkanku. Aku jatuh tapi badanku sudah terlalu mati rasa untuk merasakan sakit.

Aku hanya bisa melihat kearah helicopter yang sedang terbang diatas awan. Aku ingin memberikan mawar ini tapi tubuhku mulai kaku, aku ingin mengucapkan sesuatu tapi lidahku mulai pelu, aku ingin membayangkan wajahnya tapi kesadaranku mulai mati.

************