Wikipedia

Hasil penelusuran

Senin, 21 April 2025

Perempuan di Gerbong Lima


Setiap hari pukul 09.30 di hari kerja, Nara, seorang pria dengan hidup dan karir yang biasa-biasa saja, selalu menyempatkan diri naik KRL dari rumahnya di sekitar Rawa Buntu menuju kantornya di Kebayoran. Dia selalu naik dari gerbong lima, bukan karena yang paling sepi atau paling nyaman tapi memang cuma gerbong itu yang paling dekat dengan tangga keluar saat tiba di stasiun, jadi lebih praktis.

Namun ada alasan lain kenapa dia selalu memilih gerbong lima. Di gerbong itu, pandangannya selalu terpaku pada

seorang perempuan kurus, berkulit kuning oriental dengan rambut panjang terurai dan mata tajam. Perempuan itu — yang namanya belum Nara ketahui — selalu memakai kaos oversize warna pastel dan syal putih bergambar kucing. Ekspresi wajahnya selalu cuek, dengan earphone yang selalu tertancap di kedua telinga.

Perempuan gerbong lima, seperti itu dia menyebutnya.

Nara memang pria cupu, mengajak kenalan atau sekedar senyum, caranya saja dia tidak tahu. Sebagai karyawan agency, menurutnya dia tidak punya “selling point”, selain satu hal: selera musik. Playlist musik Indonesia tahun 90an dan 2000an yang selalu dimainkan dari headphone bluetooth-nya setiap hari. Padahal di mata teman-temannya, selera musiknya gak banget – gak update dan sudah terlalu ketinggalan jaman. Katro!

*****

Hari ini jam 09.40, Nara datang buru-buru dengan memegang tumbler isi kopi yang belum sempat diminum. Sudah dipastikan dia akan telat datang ke kantor, akibat begadang karena deadline kerjaan. Kereta datang, dia langsung naik di gerbong lima.

Gerbong lima sedikit padat, membuat Nara tidak bisa merangsek ke posisi tengah. Dia berdiri tepat di depan pintu supaya cepat keluar guna mengejar waktu. Dia memakai headphone-nya, scroll playlist di ponsel berharap musiknya bisa memperbaiki pagi ini. Tapi dia tidak sadar, sedang berdiri berdampingan sejajar dengan perempuan itu.

Kereta berhenti di stasiun Pondok Ranji – satu stasiun sebelum stasiun Kebayoran. Beberapa penumpang masuk dengan tergesa, membuat posisinya bergeser karena bersenggolan. Tiba - tiba tak sengaja tumbler kopi terdorong tumpah mengenai pakaian Nara. Sepertinya Tuhan lagi menguji kesabarannya hari ini.

Ternyata orang yang membuat kopinya tumpah adalah perempuan gerbong lima.

“Ehh, maaf.. Maaf banget..” ucap perempuan itu sambil mengambil tutup tumbler yang jatuh.

Nara terpaku. Dia merasa ada sesuatu yang mengalir pelan tapi pasti. Tanpa kata, tanpa sebab. Getaran kencang KRL yang melewati rel di sekitar Tanah Kusir pun tak mampu membuatnya bergerak.

“I.. I.. iya gak apa apa,” jawab Nara dengan gagap, sambil mengambil tutup tumbler dari perempuan itu. Tapi karena tangannya gemetar, membuatnya fokusnya hilang hingga terus gagal menutup tumblernya.

“Sorry ya, mas. Maaf banget, gak sengaja..”

“Gapapa, gapapa kok,” jawab Nara yang akhirnya berhasil menutup tumblernya.

Kereta tiba di Kebayoran, dan Nara buru buru turun dengan tergesa. Mereka berpisah begitu saja.

Tapi pagi itu, Nara merasa hidupnya berubah sedikit — saat tiba tiba secara random playlist-nya memainkan lagu “Cantik” milik Kahitna: “Ooo cantik.. Ingin rasa hati berbisik..”

Lagu tersebut membuat otaknya yang cupu memproses apa yang baru saja terjadi. Apakah kopi yang tumpah merupakan puncak kesialannya hari ini atau justru jadi bukti kalau Tuhan akan segera mengubah jalan hidupnya.

*****

Esok harinya, Nara kembali naik gerbong lima. Dengan perasaan deg-degan, dia naik ke kereta. Kereta mulai berjalan pelan meninggalkan stasiun Rawa Buntu. Dia melihat perempuan itu sedang duduk memandangi layar ponsel. Dia berdiri tak jauh darinya tapi untuk mendekat sekedar basa-basi pun, masih tak bisa. Dia memilih pura-pura tidak melihat, memakai headphone dan memutar lagu.

Alunan piano mulai terdengar dari lagu “Negeri di Awan” dari Katon Bagaskara. Nara bersenandung pelan, tanpa sadar menyuarakan bait: “Kau datang padaku… Kau tawarkan hati nan lugu… Selalu mencoba mengerti…” — seolah menggambarkan harapannya untuk hari esok.

Tiba - tiba pundaknya ditepuk oleh seseorang dari belakang. Nara menoleh, ternyata perempuan gerbong lima.

“Negeri di Awan, ya?”

"Iya," jawab Nara kaget, sedikit kikuk.

Perempuan itu sudah beranjak dari tempat duduknya, sekarang mereka sedang berdiri berdampingan.

“Lagu Katon emang enak sih tapi liriknya terlalu puitis dan melankolis.”

“Lo tahu lagu ini? Dengerin juga?” Nara sedikit kaget.

“Ya tahu dong, itu lagunya enak sih. Tapi gue lebih suka Sheila on 7. Liriknya sederhana, simpel, gampang masuk ke hati,” ucap perempuan itu excited.

Perempuan yang selama ini dikira kaku dan cuek ternyata sangat cheerful ngobrol. Nara merasa garis batas yang membuatnya takut untuk memulai percakapan, mulai luntur menghilang.

“Ahh, jadi ternyata tim Eros ya? Bahasanya ringan kayak lagi cerita ke temen.”

“Ya kan. Lirik-liriknya kayak curhatan di diary.”

“Buset, diary banget tuh. Tahun 2025 nih.. Hahaha.”

“Hahaha, bisa aja. Gue selalu iri, gimana caranya Eros bisa nulis kayak gitu. Kalo lo tim Kla Project, ya?”

“Gak juga sih. Gue dengerin semua musik Indonesia tahun 90an dan 2000an gitu.”

“Ah, sama banget. Di era itu, semua musik itu simple tapi nancep.”

Mereka tertawa. Obrolan mereka mengalir tentang lagu-lagu lawas favorit masing-masing. Nara merasa seperti sudah mengenal perempuan ini sekian lama.

"Lagu - lagu jaman itu kayak jendela perasaan," kata perempuan itu. "Simpel, tapi bisa nusuk."

Tapi lagi - lagi, stasiun Kebayoran datang terlalu cepat.

“Eh, lo harus turun ya di sini?” Tanya perempuan itu.

“Iya, kantor gue dekat sini. Kalo lo turun dimana?”

“Gue abis ini turun, di Palmerah.”

Nara turun dari kereta tapi sebelum pintu tertutup, perempuan itu berkata sesuatu.

“Eh, maaf ya soal kopi yang kemarin.”

Pintu kereta tertutup. Nara tersenyum kepada perempuan itu, memberi kode bahwa kemarin bukanlah suatu masalah, melainkan berkah dari Tuhan.

*****

Hari-hari berikutnya mereka semakin sering bertegur sapa. Kadang hanya dengan anggukan, kadang dengan obrolan ringan. Suatu pagi, Nara menunjukkan playlist-nya, dan perempuan itu mencibir ketika melihat lagu "Roman Picisan" dari Dewa 19 masuk dalam daftar.

"Liriknya lebay, tapi gue akuin jujur banget," katanya sambil ngakak.

"Justru itu seninya. Kayak nulis puisi pakai kata-kata anak tongkrongan," bela Nara.

“Cintaku tak harus miliki dirimu..” – sambil berbisik perempuan itu menyanyikan reff lagu Roman Picisan.

“Kalo cinta ya harus memiliki dong. Walaupun harus dengan pengorbanan yang besar!” Lanjut perempuan itu.

Dia lalu membalas dengan memperdengarkan lagu "Antara Kita" dari girlband lawas Rida Sita Dewi, untuk pertama kalinya Nara merasa lagu itu terdengar lebih hangat dan liriknya masuk ke hati.

*****


Esok harinya, langit mendung sejak pagi. Nara ada meeting dengan klien yang mengharuskannya turun di stasiun Palmerah. Namun kepalanya sudah menyusun rencana untuk ngobrol sambil jalan dengan perempuan itu. Menurutnya, ini saatnya dia berkenalan lebih lanjut. Sekedar mengetahui nama, atau mungkin saling bertukar nomor telepon.

Nara masuk gerbong lima dan mendapati perempuan itu berdiri dekat pintu. Mereka tersenyum tanpa perlu kata pembuka. Hujan mulai turun, dari gerimis jadi deras. Kereta tiba di stasiun Palmerah. Mereka berdua turun berbarengan.

“Tumben lo turun di sini?” Tanya perempuan itu.”

“Iya, gue ada meeting sama klien di sekitaran sini. Tapi hujannya deres banget, pasti telat deh gue.”

Perempuan itu membuka payungnya bening transparan miliknya. "Bareng yuk, kali aja jalan kita searah," katanya.

Mereka berjalan berdampingan di bawah satu payung. Rintik hujan jatuh di sekitar mereka, memantul di genangan trotoar. Langkah mereka lambat, seolah tak ingin segera sampai.

"Gue suka aroma hujan di trotoar basah begini," ucap perempuan itu pelan.

Gemercik air hujan yang memantul di antara mereka seakan membuat suasana jadi makin syahdu. Nara coba cari topik untuk membalas ucapan perempuan itu.

"Kalo gue suka momen kayak gini. Jalan bareng orang asing yang nggak terasa asing," sahut Nara — entah pujangga mana yang tiba tiba merasuki otaknya. Sepersekian detik, dia mereka itu adalah kata - kata yang bodoh dan cheesy.

Perempuan itu tersenyum kecil. "Lo bukan orang asing kok."

Mereka berhenti sejenak di bawah pohon rindang, menunggu lampu hijau untuk menyeberang. Di bawah payung yang kecil itu, bahu mereka saling bersentuhan. Hening. Hanya suara hujan dan detak hati yang terasa.

"Dulu gue sempat pengen jadi penulis," katanya tiba-tiba. "Tapi ya, hidup bawa ke arah yang lain. Kadang gue iri sama orang-orang yang bisa menulis bebas tentang apa aja yang mereka rasain."

“Kenapa lo ngomong gitu?”

“Soalnya ujung - ujungnya perempuan memang harus ngalah dan cuma jadi supporting buat si pemeran utama,” – jawabnya pelan, getir.

Ekspresi wajahnya berubah jadi sendu. Tidak ada lagi senyum cheerful yang selalu ada di beberapa waktu kebelakang menghilang. Air hujan jadi terasa lebih dingin dan menusuk.

"Lo masih bisa jadi penulis. Momen hujan - hujanan kayak gini ini aja, udah cocok dibikin cerpen.. hehehe."

"Lo aja yang tulis tapi jangan pakai nama gue ya. Biar tetap jadi rahasia gerbong lima," ujarnya sambil tertawa pelan.

Mereka berhenti di halte Transjakarta, perempuan itu harus lanjut dengan bus Transjakarta ke destinasi tujuannya. Namun Nara harus jalan terus karena sebentar lagi dengan klien akan dimulai.

“Gapapa, lo bawa aja dulu payung gue. Kalo gue kan di halte, aman gak akan kena hujan.”

Perempuan itu menyerahkan payungnya lalu mereka berpisah menuju tujuan masing - masing. Nara memakai headphone-nya, memainkan lagu: Chrisye yang berjudul “Untukku”. Perlahan hujan berhenti, cahaya matahari mulai masuk menembus payung yang transparan.

*****

Keesokan harinya, Nara datang dengan membawa payung transparan milik perempuan gerbong lima. Di dalam gerbong, dia mencari keberadaan perempuan itu. Namun tidak ada. Hari - hari berikutnya terasa menggantung. Nara mulai mencarinya ke gerbong lain, mencoba menebak - nebak apa yang terjadi. Kali ini sepertinya Tuhan sudah mengembalikan hidupnya ke mode default.

Dua minggu berlalu, dan gerbong lima terasa hampa, sepi, seperti penyanyi yang lupa lirik di tengah konser. Pada suatu pagi, Nara berdiri sendiri di depan pintu kereta. Lagu "Dan" dari Sheila on 7 mengalun pelan di tengah hiruk-pikuk pagi. Saat itulah dia sadar: perempuan itu benar - benar tak datang lagi.

*****

Lewat satu setengah bulan, Nara naik kereta dari gerbong lima seperti biasa. Dia sudah tidak mencari lagi, tak berharap apa-apa. Dia memakai headphone lalu memilih lagu-lagu yang ada di playlist ponselnya. Tapi ketika kereta hampir penuh, ada yang menepuk pundaknya.

"Gue belum sempat ganti kopi lo yang tumpah waktu itu."

Perempuan itu kembali muncul dengan menyodorkan satu cup starbucks berisi kopi.

Nara terkejut tak menyangka tiba - tiba perempuan itu kembali dihadapannya. Dia mengambil kopi Starbucks pemberian perempuan itu. Wajah Nara berubah sumringah.

“Lo dari mana aja? Kok lama gak keliatan?”

Perempuan itu tertawa, "nyariin ya?” – Nara tersenyum kecut, salting karena perempuan itu bisa nebak perasaannya.

“Gue nikah, tiga minggu lalu. Terus ambil cuti kerjaan rada lama, sekalian ke Bali.”

Seperti petir, kata - kata itu menghentakan tubuhnya seraya manuver yang dilakukan masinis kereta. Kereta bergerak kencang, tapi bagi Nara, semuanya membeku. Dia tak berkata apa-apa. Nyalinya ciut, kembali cupu.

Di dalam kepalanya, seperti sedang mencari-cari lagu dalam playlist yang cocok dengan momen saat ini. Mencari sebuah bait lagu yang dulu terasa bermakna, kini justru menancap seperti busur panah. Banyak yang ingin diucapkan, tapi tak ada satu pun yang keluar. Karena semua itu tak akan mengubah apa-apa.

Rasanya seperti kehilangan sesuatu yang bahkan belum sempat dimiliki. Dan itu jauh lebih menyakitkan.

Perempuan itu tersenyum tipis, lalu berkata hampir seperti bisikan, "gue senang sempat kenal sama lo.”

Nara mengangguk. Matanya tak berani menatap langsung, bibirnya coba bergerak, tapi tetap tak ada suara yang keluar. Hanya sebuah helaan napas panjang.

“Hari ini terakhir gue di Jakarta..”

Dia menatap nanar ke arah jendela kereta. Kilau cahaya matahari menembus menyinarinya, seolah terlihat memberikan salam perpisahan.

“Gue harus pergi buat pindah ke Bali, ikut suami," lanjut perempuan itu.

Ada sesal, ada getir — kenapa Nara baru berani ngobrol dengannya belakangan ini. Tapi juga rasa syukur, karena perempuan itu pernah hadir di hidupnya walau hanya sebentar. Benar kata Ahmad Dhani di Roman Picisan, sepertinya cinta memang tak harus memiliki.

Sebelum penyesalan semakin besar, Nara memberanikan diri menanyakan satu pertanyaan terakhir.

"Nama lo siapa?" tanya Nara yang suaranya nyaris tenggelam oleh deru rel.

Perempuan itu tersenyum.

"Kirana."

“Kirana? Gue Nara.”

Mereka berjabat tangan untuk pertama kalinya, setelah hampir dua bulan obrolan tanpa ada momen perkenalan secara formal.

“Eh, sorry. Gue gak bawa payung lo, gimana nanti gue balikinnya kalo lo ke Bali?”

“Gak usah, buat lo aja. Anggap souvenir dari gue.”

Kereta tiba di stasiun Kebayoran. Nara turun perlahan lalu kembali membalikan badan. Mereka berdua saling melambaikan tangan, memberi perpisahan satu sama lain, sebelum menghilang di balik pintu gerbong.

Playlist Nara secara random memainkan lagu Kirana dari Dewa 19: “Hadir di muka bumi tak tersaji indah… Kuingin rasakan cinta…”

Besok pasti akan ada orang baru yang muncul, tapi tak akan ada lagi Kirana. Entah apa rencana Tuhan selanjutnya tapi yang pasti sejak hari itu, gerbong lima tak lagi sama.

*******