Wikipedia

Hasil penelusuran

Minggu, 23 Juni 2013

Sajak - Tuhan dan Kamu







"Dengan sopan Tuhan memintaku mengambil golok untuk menebasmu."


"Maka kuambil golok tersebut, lalu kutebas leher Tuhan dengan penuh keyakinan!"


"Tak ada darah, tak ada jerit kesakitan. Hanya suara golok jatuh ke lantai yang bergemuruh mengisi seluruh ruang sempit."


Namun itu percuma, Dia tak mati... 


Ternyata benar, Dia kekal abadi. Dia tidak licik, Dia tidak busuk dan Dia adalah maha dari segala bentuk yang ada di dunia.


"Tapi sekarang... Apakah kau tau, sayang?"


Tuhan kita.. 


Tuhan yang kekal abadi itu, menyuruhku untuk mengambil pisau. Sebuah pisau dapur 15 cm yang tajam dan baru diasah. 


"Dia menyuruhku untuk mengulitimu. Menghilangkan kulitmu yang laksana terang bulan itu, agar terlihat rupa aslimu..."



(Oleh: Agung Gumara)

Jumat, 21 Juni 2013

Love Will be Carried Away




          Hemm.. kurasa padang rumput bekas peternakan pinggir kota Den Haag adalah terindah di dunia. Tempat ini sangat pas untuk melepaskan penat sehabis bekerja seharian penuh, sekedar duduk ataupun tiduran sambil melihat awan dan diiringi suara angin yang bertiup dinamis adalah surga dunia. Pekerjaan sebagai tukang pos bersepeda di kota Den Haag memang menyenangkan tapi juga sangat merepotkan dan melelahkan. Dalam sehari aku bisa hilir mudik dari satu tempat ketempat lain, bertemu dan berinteraksi dengan berbagai macam orang ataupun mengalami kecelakaan kecil di jalanan, sudah seperti makan siangku sehari hari. Dan rasa lelah itu semua hanya dapat diobati dengan rumput peternakan ini, surga, inilah surga.

         Sebenarnya ada sebab lain yang membuatku sangat betah berada di sini, hanya dari sini aku dapat melihat masa laluku yang sangat bahagia. Dari sini aku dapat melihat dengan jelas rumah masa kecilku, ya setidaknya dulu keluargaku hidup bahagia di rumah yang berada di sebrang peternakan ini. Dulu aku hidup bahagia dan sangat berkecukupan sebelum ibuku menjadi gila dan membakar seisi rumah yang menyisakan aku sendiri yang selamat. Ayah, kakak perempuanku dan ibuku sendiri terjabak hangus di dalam rumah, sedangkan aku berhasil selamat entah bagaimana. Aku tak mengerti bagaimana saat itu aku bisa selamat, tiba tiba saja aku terbangun dan sudah berada di rumput peternakan ini dengan keadaan rumahku yang sudah tersisa bekas kayu terbakar. Orang orang bilang aku beruntung tapi tak butuh keberuntungan, aku hanya ingin hidup bersama keluargaku.
                
         Saat pertama kali mengetahui hanya aku sendiri yang selamat dari kejadian itu, membuatku sangat shock dan stres selama berbulan bulan. Aku tinggal di sebuah panti asuhan tanpa seorang teman, aku mulai suka menyendiri dan emosional, kenyataan bahwa keluargaku telah tiada adalah cobaan yang sangat berat pada usiaku saat itu. Dan disaat seperti itu lah aku mulai bisa melihat sesuatu yang aneh, sesuatu yang tak bisa dilihat orang lain. Aku dapat melihat orang mati. Orang mati itu datang menghampiriku, hampir setiap hari. Mereka datang dengan berbagai keadaan, tanpa kepala, wajah terbakar dan juga ada yang masih berperawakan sempurna layaknya seorang manusia. Sampai sekarang hal ini sangat membuatku takut, aku menjadi makin dikucilkan dipergaulan karna tiba tiba sering menangis dan menjerit. Padahal aku melakukan itu bukan untuk cari perhatian, itu karna aku takut, aku merasa diteror, hidupku sangat tidak tenang.

Berkali kali aku mencoba bunuh diri tapi selalu saja gagal, ada saja kejadian yang membuatku tak jadi mati. Dan kegagalan yang kualami untuk bunuh diri membuatku menjadi terobsesi dengan itu. Aku berlomba dengan diriku sendiri untuk mati. Bunuh diri adalah list teratas dalam hidupku yang harus aku lakukan. Walaupun perkerjaanku yang mengharuskan bertemu orang baru tiap harinya ditambah padang rumput ini memberi arti bahwa hidupku sangat berharga dan aku suka kehidupan itu. Tapi semua hal bahagia itu kembali berganti kesedihan dan amarah ketika aku kembali melihat orang orang mati yang terus menggangguku, khususnya Carrie. Dari semua kemungkinan, cuma satu yang aku pikirkan jika Carrie muncul dan kembali menggangguku. Ya, mati. Bunuh diri adalah cara yang indah untuk mengakhiri hidupku yang sangat menyedihkan ini.


****


Hari ini adalah hari yang tepat untuk mati, aku yakin itu. Aku sudah membeli sebuah pistol revolver dengan harga yang cukup murah, walaupun pistol tersebut cukup menguras gaji bulananku. Bagiku cukup indah untuk mengakhiri hidup dengan sebuah tembakan yang diarahkan ke mulutku sendiri, aku dapat langsung tewas tanpa mati secara perlahan sangat cepat dan singkat untuk mengakhiri kehidupanku yang tak berarti ini. Aku mengambil pistol yang kusimpan di dalam tas kemudian memasukannya ke dalam mulutku. Ternyata hal ini tak semudah yang aku pikirkan, keringat bercucuran dari kepalaku, rasa takut mulai memakan keangkuhanku. Aku langsung menarik pistol tersebut dari mulutku karna tiba tiba saja aku kehilangan keberanian untuk menarik platuk. Aku tadi teringat dengan Carrie, seorang hantu wanita yang selalu mengikutiku. Dia sangat cantik walaupun dengan tubuh penuh darah bekas bacokan kapak. Carrie selalu memanggil namaku, menampakkan diri seenaknya dan terus membuatku tidak nyaman dalam melakukan kegiatanku.

Dan tadi saat aku mencoba menarik pelatuk pistolku, aku mendengar Carrie memanggil namaku. Dan benar saja, ternyata saat ini dia telah berdiri tepat dihadapanku dengan senyumannya yang lebar dan penuh penderitaan.

Kau tak bisa melakukan itu, John. Kau lemah.”

Ujar Carrie dengan suara liciknya yang meragukan keberanianku untuk menarik pelatuk guna mengakhiri hidupku.
                
          Aku tak akan menghiraukan ucapan Carrie, kali ini aku harus melakukannya. Mati di padang rumput ini mungkin adalah hal terbaik dalam hidupku, setidaknya lokasi aku mati dekat dengan lokasi keluargaku saat mati terbakar. Di sini aku dapat merasakan kehadiran seluruh anggota keluargaku, aku dapat mati dengan tenang di sini. Namun Carrie terus menerus meragukan keberanianku, dia yakin pekerjaanku sebagai tukang pos membuatku lemah. Ekspresi kebahagiaan orang yang kutemui ketika menggu pesan dari orang yang disayangi membuatku berpikir bahwa hidup bukan sekedar apa yang kita inginkan tapi tentang apa yang kita butuhkan. Argghhh, aku tak boleh lemah. Aku harus bunuh diri, ini waktu yang tepat. Aku tak boleh plin plan di depan hantu yang terus menerus mengganggku. Aku harus mengakhiri hidupku saat ini juga.
                
       Aku kembali menaruh pistol kedalam mulutku lalu kembali melepaskan. Entah mengapa saat ini aku mulai berpikiran jernih. Aku berpikir, jika nanti seseorang menemukan tubuhku yang mati dengan kepala hancur maka aku pasti dianggap gila. “Seorang pria gila mati bunuh diri”, pasti headline koran koran akan seperti ini. Aku tidak gila tapi jika aku mati seperti ini maka aku akan dianggap gila. Apalagi ibuku adalah orang gila yang membunuh seluruh keluarganya sebelum akhirnya membakar diri di dalam rumahnya sendiri. Anak orang gila, akhirnya menjadi gila dengan membunuh dirinya sendiri. Ohh – logika ini seketika kembali membuatku ragu untuk menarik pelatuk pistolku. Tiba tiba saja aku menjadi takut, aku tak sanggup melihat wajah menyeramkan Carrie dengan tawa kemenangan yang menjadi miliknya. Egoku berkata bahwa ini saatnya aku yang tertawa penuh kemenangan walaupun kenyataannya aku harus mati. Dan aku harus merelakan padang rumput, pekerjaan dan semua hal yang kusenangi pergi menjauh.
                
       Kenapa lagi John? Takut mati?, suara lirih Carrie terdengar makin seperti hinaan di telingaku.
                
       “Kau terus menggangguku Carrie, pergilah!”, emosiku mulai tersulut mendengar ocehan Carrie terus menerus.
                
     “Kau berani mengusirku? Aku temanmu John, lebih tepatnya aku satu satunya temanmu! Hahahaa!, Carrie menyelesaikan ucapan lirihnya dengan tawa lantang yang makin membuatku muak.
                
        Ucapan Carrie ada benarnya, hanya dia yang selalu muncul dalam hidupku. Aku sering bertemu dengan hantu lain namun tak ada yang selalu intens mendatangiku selain Carrie. Dulu aku sempat ngobrol dengannya tentang kematian. Sebuah obrolan aneh karna obsesiku akan bunuh diri dan secara kebetulan aku dipertemukan dengan hantu yang pastinya telah menerima kematian, walaupun dia mati karna dibunuh. Itu sama saja untukku, seorang yang mati tetap saja mati hanya penyebabnya saja yang berbeda. Tapi jika Carrie menganggap dirinya sebagai temanku, tentu saja dengan tegas aku menolaknya. Dia terus menerus menggangguku dengan suaranya yang lirih dan terus menerus mengajakku bermain sebuah game bodoh yang bisa saja telah membunuhku sejak lama. Jika saja hantu dapat mati dua kali maka aku telah membunuh Carrie sebanyak sepuluh kali.
                
        Bagaimana jika game terakhir?”, Carrie berkata kali ini dengan ekspresi serius terdengar dari suara yang keluar dari mulutnya.
                 
         “Terakhir? Apa maksudmu?



                
     Sebuah taruhan kecil, jika kau menang aku akan pergi selamanya dari hadapanmu. Tertarik?”, sebuah tantangan yang cukup menarik perhatianku keluar dari bibir Carrie.
                
        Aku tak bisa percaya begitu saja dengan apa yang diucapkan Carrie, bagaimana mungkin aku tau bahwa dia tak menipuku. Lagipula apa keuntungan yang dia dapatkan dari game seperti ini. Hantu wanita ini tak henti hentinya berhenti mempermainkanku. Tapi ini sebuah kesempatan bagiku, aku penasaran apa yang ada di pikiran Carrie hingga berani bertaruh seperti itu.
                
    Lanjutkan, apa yang kau mau?”, aku menyuruh Carrie melanjutkan perkataannya.
                
          Kau masih ingin mati kan..?

Carrie membalikan pertanyaan kepadaku, yang kubalas dengan anggukan tanda mengiyakan pertanyaan Carrie tersebut. Apapun tantangan yang diajukan Carrie, aku akan tetap berusaha untuk mati di sini, dekat dengan keluargaku yang kucintai.

Peternakan ini tempat favoritmu dan kau pasti tau tapat jam enam sore lampu jalan di sini akan menyala. Dan lima belas menit lagi tepat jam enam.”, senyum licik Carrie makin melebar mungkin saat ini selebar bibir angsa.

Dan ini permainannya, jika lampu jalan tidak menyala tepat waktu seperti biasanya, maka kau menang dan aku dengan sukarela akan meninggalkanmu. Hiduplah sebagaimana layaknya pengantar pos yang menyedihkan..., ekspresi wajah Carrie menjadi lebih serius dari sebelumnya, dia diam sejenak sebelum melanjutkan perkataannya.

Tapi - jika lampu itu menyala tepat jam enam seperti seharusnya. Maka segera kau ambil pistolmu, letakan di mulutmu, tarik pelatuknya dan semua akan terjadi sesuai maumu. Bagimana? Menarik bukan?

Sebuah tantangan yang membuat dadaku sesak. Aku mulai ragu dengan keputusanku untuk bunuh diri, keberanianku ciut dengan tantangan gila yang diajukan oleh Carrie. Jika tadi nyawaku berada diujung pistol maka sekarang nyawaku berada pada lampu jalan. Tapi jika aku tak menerima tantangan Carrie maka dia akan terus menerus menggangku hidupku dan aku hanya akan tetap hidup dengan kerinduan akan bayang bayang keluargaku. Hampa. Keyakinanku untuk mati dan bertemu dengan keluargaku jauh membumbung lebih tinggi. Untuk apa aku tetap hidup di dunia tanpa arti dan hanya ditemani oleh hantu yang membuatku gila.

Aku terima!”, aku menjawab tantangan Carrie dengan tegas namun dengan ekspresi wajah yang kurang meyakinkan. Entah kenapa kehidupanku sebagai tukang pos mulai mempengaruhi keputusanku.

Tapi jika aku mati di tengah padang rumput peternakan seperti ini maka orang orang hanya menganggapku gila, Carrie!”, rasa takut membuatku terus melakukan pembenaran walaupun aku sendiri tak tau apa gunanya aku melakukannya.

Anak dari orang gila pun takut dibilang gila? Apa kau tak sadar dari dulu kau memang sudah dianggap gila?”

Aku terdiam mendengar ucapan Carrie. Memang benar sejak selamat dari kebakaran orang orang menganggapku gila. Apalagi dengan kemampuanku bicara dengan hantu, yang membuat orang orang merlihatku seperti selalu bicara sendirian. Tak ada yang mau berteman dengan orang yang terlihat gila sepertiku.

Kau lihat diarah utara ada pohon besar. Kau bisa berdiri di sana dan menenunggu apakah lampu jalan akan menyala tepat waktu. Jika kau mau bunuh diri dibawah pohon besar maka itu akan terlihat biasa. Bunuh diri dibawah pohon adalah hal umum – hahaha!”

Aku berjalan pelan kearah pohon yang ditunjuk oleh Carrie. Langkahku sedikit berat untuk meninggalkan pekerjaan yang kucintai, meinggalkan rumput peternakan yang dapat membuatku tenang. Namun jika terus hidup, aku selalu berada dibawah tekanan kerinduan akan sosok keluarga. Aku yakin keluargaku di dunia sana sudah menunggu kedatanganku dan jika sudah berada di dunia sana aku tidak dipusingkan lagi dengan ocehan Carrie. Aku berjalan dengan penuh keraguan dan dilema yang bergemuruh di dalam otakku.

Pohon besar ini akan menjadi saksi hidupku selajutnya. Hidup dan matiku ditentukan oleh lampu jalan yang akan menyala satu menit lagi. Ya satu menit lagi. Sambil berdiri diiringi lembut angin dari rerumputan, aku menangis untuk diriku sendiri. Ternyata aku sendiri juga takut akan kematian, lubuk hatiku mengharapkan lampu jalan tak menyala tepat waktu.

Santai, John. Semua akan berjalan lancar sesuai keinginanmu. Sekarang masukan pistol itu kedalam mulutmu dan mulailah menghitung mundur..

Aku mengikuti perintah Carrie untuk langsung memasukan pistol kedalam mulutku dan mulai menghitung mundur dari detik 60 di dalam hati. Aku melihat kearah tanah kosong bekas rumahku kemudian kearah atas untuk melihat lampu jalan yang menjadi penentukan nasibku.

Tak usah takut, John. Ini permainan terakhir kita. Anggap ini adalah malam pergantian tahun baru yang biasa dirayakan oleh semua orang di dunia. Kita akan berpesta jika waktu telah dimulai. Maka sekarang kita harus menghitung mundur bersama sama..

“Tiga belas...”

“Dua belas...”

“Sebelas..”

“Sepuluh...”

“Sembilan......”


...............................



Rabu, 12 Juni 2013

Black Cat



Jika kalian membaca tulisan ini, aku yakin kalian akan berpikir aku tidak waras. Terserah dan masa bodoh dengan pendapat kalian, tapi kejadian ini memang sangat nyata bagiku. Aku tau mustahil bagiku untuk meminta kalian mempercayainya, sesuatu yang bahkan sebenarnya tak dapat diterima akal sehat. Aku bukan orang gila yang suka meracau tentang khayalan,  aku yakin ini bukan mimpi, ini nyata. Kalian tau, aku sekarat, jantungku mulai membeku dan aku yakin 1 jam lagi aku akan mati, ya 1 jam lagi, maka dari itu aku berharap dapat mengurangi sedikit sampah dalam beban hidupku sampai kematianku datang. Aku menulis ini bukan untuk meminta simpati kalian, tujuanku menceritakan ini saya untuk menceritakan apa yang sedang kualami di sini, di rumah ini. Ini semua aku tulis apa adanya, tanpa ada embel embel penyedap rasa ataupun tambahan kiri kanan dramatisasi cerita. 

Kejadian ini sangat menyiksaku, bahkan terus menghantui dan menyiksaku sejak lama. Aku harap setelah aku menceritakan kejadian yang kualami ini, kalian yang masih berpikiran tenang dan logis dapat memahami apa yang kurasakan, rasa takut yang menyeruak hingga ubun ubun kepala. Rasa waspada yang selalu menyiksaku dari belakang kepala. Sekarang pun, saat aku sedang menulis ini tanganku benar benar terasa sangat berat tiap menggerakan ujung pena, kepalaku bergetar merinding, dan aku yakin saat ini diawasi oleh banyak pasang mata yang ada di seluruh sudut ruangan kecil ini. Ini benar, aku tidak bohong. Aku tidak gila.

Sejak kecil, tepatnya saat aku masih sekolah dasar aku sudah ditampung di panti asuhan lokal di daerahku, Karlsruhe. Ayah dan ibuku mati karna tertangkap tangan telah membantu keluarga Yahudi untuk bersembunyi dari kejaran tentara Nazi. Kedua orang tuaku ditembak ditempat (tepat di kepala) di depan kedua mataku. Kejadian itu masih sangat membekas dalam pikiranku, aku masih sanggup mengingat dengan detail bagaimana darah dan serpihan otak keluar dari kepala orang tuaku.

Menyedihkan memang, mungkin karna itulah aku jadi dikenal orang sebagai seorang pendiam dan penurut. Sangat jarang bahkan hampir tidak pernah aku berdebat dan mencari masalah dengan orang lain tapi semua itu tak ada guna nya, sampai saat ini aku tidak punya teman. Semua orang mengganggap aku aneh karna aku tak mampu berkata tidak, banyak dari mereka berburuk sangka padaku apalagi aku hanya anak yatim piatu yang sangat miskin. Tapi aku tak butuh belas kasihan.

Rasa kesepianku hanya dapat kulimpahkan dalam bentuk sebuah tulisan, dalam sebuah tulisan aku dapat merancang skenario apapun yang aku inginkan sesuai dengan keinginanku. Aku dapat membuat kalian mati dalam tulisanku. Pada awalnya menulis hanya jadi sekedar hobi bagiku namun seiring waktu, dari tulisanku sudah dapat membeli rumah tua sederhana, hasil dari jerih payahku menulis cerpen untuk koran lokal. Ya walaupun sebenarnya bangunan rumah ini hanya dikelilingi batu bata yang tinggi dan tebal, dengan atap yang terbuat dari kayu oak. Dan secara jujur kukatakan sebenarnya tempat ini lebih terlihat seperti penjara dibanding rumah. Oh ya, aku lupa memperkenalkan diri. Kalian bisa panggil aku Oliver, Oliver Malaka. Tentu saja ini bukan nama asliku, jika kalian sering membaca koran pagi Karlsruhe kalian pasti sudah tau aku ini siapa.

Cukup sudah basa basi busukku. Beginilah cerita yang membuatku sangat ketakutan. Sekali lagi kuingatkan, aku tidak butuh pendapat kalian yang membaca tulisanku ini, aku hanya ingin bercerita.

Tiga tahun yang lalu, saat aku berusia 30 tahun aku menikah dengan seorang wanita muda yang mengaku sebagai penggemarku, dia selalu berkata bahwa dia sangat menyukai caraku menulis misteri yang menurutnya tulisanku sangat nyata. Dia mengajakku menikah dan langsung kuiyakan karna tak kupungkiri bahwa saat itu aku butuh teman berbagi cerita dan hasrat seksualku harus dilampiaskan, walaupun sebenarnya dia gendut dan sangat cerewet. Sudah dua tahun, dan pernikahan kami baik baik saja walaupun belum dikaruniai anak. Aku masih sibuk dengan pekerjaanku sebagai penulis, sedangkan istriku memang lebih fokus mengurus rumah dan berkebun menanam bunga matahari di taman kecil 3x3 meter milik kami yang berada disebelah kiri rumah. Suasana rumah tangga kami yang harmonis tiba tiba berubah setelah dia memelihara kucing yang dia temukan sedang menggali tanah di taman kami. Aku sangat tidak suka dengan hewan namun istriku ngotot ingin memelihara dengan alasan kesepian karna sering kutinggal kerja, aku tak dapat menolaknya dan akhirnya kuizinkan kucing itu menjadi salah satu dari anggota keluarga kami.

Kucing hitam bertubuh besar dan berbulu hitam pekat itu sangat pintar, sangat sering aku mendengar pujian yang diberikan istriku kepada kucing yang dia beri nama Bruxa. Dalam bahasa Portugis, Bruxa dapat diartikan penyihir. Sebenarnya nama Bruxa sendiri merupakan nama salah satu tokoh cerita yang pernah kubuat dalam salah satu cerpenku, yang berkisah tentang penyihir yang dapat berubah wujud menjadi seekor kucing. Istriku berujar kucing ini sangat pintar seperti Yahudi yang berusaha kabur dari kejaran Nazi dan dia berkata bahwa kucing tersebut pasti jelmaan penyihir. Isriku mempunyai rasa humor yang sangat bagus, bukan?

Lambat laun aku mulai terganggu dengan kehadiran Bruxa, seringkali dia mengeong keras saat aku sedang konsentrasi mengerjakan tulisanku. Bahkan kuhitung sudah tujuh kali dia secara terang terangan menghampiriku dengan tatapan yang menantang. Kucing ini memang bangsat, dia tau bagaimana cara membuatku kesal. Hingga akhirnya, atau tepatnya 3 hari yang lalu aku mendapat kabar, bahwa teman lamaku, Oliver Malaka –yang asli- datang berkunjung ke rumahku dan dia ingin menginap selama tiga hari sebelum melanjutkan perjalanannya ke India.

Sudah 10 tahun aku tak bertemu dengan Oliver, bahkan dari kabar terakhir yang kudengar dia sudah mati di medan perang saat menjadi tentara sukarela Nazi. Dia datang tak sendiri, dia membawa kucing peliharaannya yang sangat mirip dengan Bruxa. Dari bulu yang berwarna hitam pekat dan tubuh yang besar sangat mencerminkan Bruxa, benar benar kembar yang otentik.

Di sinilah keanehan mulai terjadi di rumah ini. Semenjak kedatangan Oliver, Bruxa hilang entah kemana. Aku sudah tak pernah lagi mendengar suara bahkan melihat tatapan bengisnya. Istrikupun beberapa kali memintaku untuk mencari Bruxa ke hutan, tapi dengan halus kutolak permintaannya dengan alasan tidak enak meninggalkan Oliver di rumah. Sebenarnya aku sangat senang tak bertemu lagi dengan kucing berisik itu. Namun semalam pada saat aku sedang tidur lelap, tiba tiba aku mendengar suara kucing mengeong, tepat disebelah telinga kananku. Aku membuka mataku ternyata ada seekor kucing berdiri diujung ranjangku. Aku tak yakin apakah kucing itu Bruxa atau kucing Oliver. Sontak aku membangunkan istriku, namun dia tak bergeming. Dia masih terlelap dengan dunia mimpinya, atau mungkin badannya yang gendut membuat senggolanku tak berarti apa apa.

Kucing itu berjalan mendekat kearahku bak seorang jagoan. Dia menantangku dengan tatapan matanya yang terus tertuju padaku. Aku takut. Aku bingung. Tak tau harus berbuat apa. Tiba tiba dengan cepat kucing setan itu melompat kearahku, dan terjadilah pertempuran antara aku dan kucing itu. Dia mengeluarkan kukunya yang tajam dan mengarahkannya ke wajahku, aku dapat merasakan wajahku tercabik terkena cakar tersebut. Aku sangat marah. Aku hanya berpikir, kucing ini harus mati! Harus mati!

Kucing besar ini bukanlah makhluk yang mudah dikalahkan, tubuhnya yang besar membuatku seperti melawan seorang pria dengan kekuatan penuh. Dengan kekuatan penuh akhirnya aku berhasil mendorong kucing tersebut ke lantai dan dengan cepat aku mengambil pisau yang memang sengaja kusimpan di meja kecil disebelah ranjang. Aku ambil pisau itu dan langsung kurajam lehernya hingga nyaris putus! Kucungkil mata kanannya lalu kucabik cabik tubuhnya yang besar! Seketika aku dapat merasakan jantungku memompa darah lebih cepat, tubuhku bergetar, wajahku memerah, aku sangat menikmati hal ini tiap darah yang keluar dari kucing ini membuatku makin bersemangat!

Hahahaa! Aku tertawa dengan lantang. Badanku bergetar hebat, aku merasa sangat gagah. Ini lah rasanya menang! Ini lah bau kemenangan, ini lah rasa nya berhasil mengalahkan kucing iblis yang terus menerus menggangguku.

Istriku! Istriku! Aku mencoba membangunkan istriku untuk memperlihatkan padanya kemanangan yang telah kudapatkan dari kucing tersebut. Cukup lama aku menggoyang goyangkan tubuh istriku namun sama sekali tak ada tanggapan darinya. Aku mulai cemas dan langsung membuka selimut untuk memastikan keadaan istriku. Oh Tuhan – ada apa ini?! Aku melihat darah merah keluar dari tubuh istriku. Warnanya merah pekat menyimbolkan sebuah red rum dan bau nya, bau nya seperti tempe basi yang siap disajikan untuk makan malam ratu tikus.

Astaga apa yang terjadi pada istriku? Darah bercucuran dari tubuhnya, lehernya nyaris putus dan matanya.. mata kanannya hilang, persis seperti kucing tadi. Eh tunggu dulu, aku seperti melupakan sesuatu. Bagaimana mungkin keadaan istriku tiba tiba persis keadaan kucing tadi? Bagaimana bisa? Aku langsung mengecek jasad kucing tadi, tapi jasad itu sudah hilang bagai ditelan bumi. Hah? Apa mungkin yang kubunuh tadi adalah istriku?

Suasana malam menjadi sangat mencekam, bulan bagaikan mendekat kearahku untuk menakutiku. Aku mencoba tenang, aku mencoba untuk tidak takut. Tapi semakin aku mengelak, makin juga aku membohongi diriku sendiri. Dalam lubuk hatiku yang jauh di dalam, entah mengapa aku meyakini bahwa aku yang telah melakukan ini pada istriku tapi kenyataannya tidak! Aku membunuh kucing itu – bukan istriku!

Kau membunuhnya – terdengar suara Oliver, ternyata dia telah berdiri tepat dihadapanku entah sejak kapan. Apa maksudmu? Kucing itu yang kubunuh! Oliver tersenyum mendengar ucapanku. Sebuah senyuman kotor yang pertama kali kulihat seumur hidupku, senyuman licik dari seorang teman lama yang misterius. Tiba tiba dia mengangkat tangan kanannya yang ternyata sudah memegang pisau yang tadi kugunakan untuk membunuh kucing besar tadi.

Pisau itu?! Bagaimana bisa? Aku ingat jelas bahwa pisau itu tadi masih tertancap di tubuh gendut istriku. Oliver menyeringai penuh kepuasan dan tak ada sepatah katapun keluar dari mulutnya. Dia tersenyum dengan saat puas sebelum akhirnya menghunuskan pisau tersebut tepat ke dadanya sendiri. Aku terkejut dengan apa yang kulihat ini, apakah Oliver sudah mulai gila. Keadaan di sini sudah mulai tak terkontrol, otakku sudah mulai kacau untuk menelaah kejadian ini dengan akal sehat.

Tapi anehnya Oliver sama sekali tak menunjukan ekspresi sakit karna terhunus pisau, dia masih tersenyum bahkan kali ini menyeringai dengan sangat lebar hingga memperlihatkan semua giginya. Argghh- ada apa ini? Dadaku tiba tiba saja sakit. Ternyata ada sebuah pisau menancap di dadaku, pisau apa ini? Pikirku dalam hati dengan penuh rasa terkejut. Dengan penuh kesadaran bahwa pisau ini adalah pisau yang sama dengan yang dipegang Oliver tadi dan juga pisau yang sama kugunakan untuk mencongkel mata kucing tadi.

Kali ini yang berdiri dengan penuh rasa kemenangan adalah Oliver. Dia merentangkan kedua tangannya layaknya seorang pesulap yang berhasil menunjukan trik masterpiece kepada penonton. Dan di sisi lain aku sudah mulai merasakan kehilangangan banyak darah, darah mengalir keluar dari dadaku tiada henti. Oliver mendekatiku yang sudah tak dapat bergerak, aku merasakan jantungku mulai membeku. Dia berkata sesuatu, aku mendengarnya dengan sangat jelas tapi aku tak mengerti apa yang dia maksud. Saat ini aku hanya dapat memejamkan mata menahan rasa sakit yang teramat sangat dari dadaku, otakku tak bisa diajak untuk berpikir rumit saat ini. Ditengah menahan sakit aku masih berusaha mencari kertas dan pena untuk menulis pesan ini dan sosok Oliver sudah menghilang entah kemana. Kita adalah cermin – ujar Oliver padaku tadi.


Enatah ini ilusiku atau ini kenyataan aku melihat sosok Bruxa sedang memperhatikanku. Dia menatapku dengan sangat tajam penuh dengan emosi sebelum akhirnya meninggalkanku santai tanpa ada perasaan berdosa...

Selasa, 04 Juni 2013

No. 420

          

           Ini merupakan kisah nyata yang baru saja kualami lima hari yang lalu, aku hanya ingin sharing tentang hal yang baru saja aku alami ini. Kalian mau percaya dengan cerita ini atau tidak, itu keputusan kalian. Jika aku jadi kalian, aku lebih memilih untuk tidak mempercai kisah ini namun kenyataannya inilah yang kisah nyata yang kualami.
           
                                                      ****

            Kemarin sore ayahku mendadak menghubungiku, dia bilang bahwa akan berkunjung ke Bandung dan aku diminta olehnya untuk segera mencarikan hotel untuk dia menginap. Namun karna aku sangat sibuk, baru pada malam harinya aku sempat untuk mencarikan hotel. Tak disangka ternyata semua hotel di daerah dago sudah full booked dan akhirnya aku putuskan untuk mencari hotel di sebuah daerah yang cukup terkenal di Bandung, ya sebuah daerah yang identik dengan nama travel.

           Untuk sebuah bangunan hotel, hotel ini terlihat sangat kuno dengan dominasi warna merah maroon. Aku kira itu hanya tampak luar saja tapi ternyata interior hotel juga ini tampak sangat kotor dengan debu yang bertebaran dimana mana. Aku segera menuju ke resepsionis untuk memesan kamar untuk hari esok, resepsionis yang berjaga ternyata sedikit aneh. Dia seorang wanita muda, berambut hitam dengan tinggi kira kira sama denganku namun mukanya sangat pucat seperti sedang depresi. Lima menit setelah pembicaraan dengan wanita aneh ini, aku memutuskan untuk memesan kamar No. 420 sebuah kamar deluxe dengan harga yang cukup murah.

Setelah itu aku berbegas untuk pulang kembali ke kosan karna malam semakin larut, tapi mendadak hujan turun dengan derasnya. Hujan deras seperti ini membuatku tidak mungkin untuk menggeber motorku. Dan karna fisik yang mulai lelah dan rasa kantuk yang menyerbu, akhirnya aku memutuskan untuk menyewa kamar tersebut mulai dari malam ini. 

Aku memilih menggunakan lift untuk menuju ke lantai 4 hotel tersebut. Lift dengan lampu yang cukup redup ini tiba tiba berhenti di lantai 2, kemudian sepasang anak kembar rambut pirang yang berusia sekitar 8 – 10 tahun masuk ke dalam lift. Aku kaget, aku melihat jam tangan sudah meunujukan pukul 10 malam. Kemana orang tua anak anak ini, pikirku dalam hati. Budaya orang bule memang tak mudah dimengerti, bagaimana mungkin orang tua anak kembar ini mengizinkan anak mereka untuk keluar tanpa pengawasan, apalagi ini sudah jam 10 malam. Akhirnya lift berhenti juga di lantai 4, aku bergegas meninggalkan lift sementara kedua anak kembar tersebut hanya diam saja sambil berpegangan tangan dengan erat. Aku menoleh kembali kearah lift sesaat setelah berjalan keluar ternyata kedua anak kembar tersebut sudah tak ada di dalam lift. Padahal baru saja aku keluar dari dalam lift, tak mungkin secepat ini kedua anak itu pergi keluar dari dalam lift.

Aku mencoba cuek dan positif thinking. Mungkin saja karna keadaanku yang sangat lelah membuatku tak menyadari kedua anak itu pergi dari dalam lift. Aku berjalan dengan santai mencari cari kamar tempatku menginap ditemani dengan lampu redup di sepanjang lorong hotel yang membuat keadaan menjadi sangat menyeramkan. Kamar 420 tempatku menginap ternyata terletang di pojok ruangan. Sebuah kamar yang cukup besar ternyata, dengan keadaan interior yang cozy dan bergaya eropa. Aku cukup terkesan dengan hotel ini, aku rasa harga murah yang ditawarkan tak sebanding dengan fasilitas yang diberikan.

Setelah beberapa saat terkesan dengan keadaan hotel. Aku segera saja meletakan tas ranselku di kasur dan langsung menuju ke dalam kamar mandi. Keadaan gerah, apalagi setelah melakukan aktifitas yang cukup berat seharian membuatku ingin mandi. Mandi air panas cukup bagiku untuk menghilangkan gerah dan memanjakan diri untuk sesaat. Tak sampai 5 menit aku keluar dari kamar mandi, memang sangat segar mandi setelah banyak beraktifitas seharian. Jam di handphone ku sudah menunjukan pulul 11 malam, namun aku masih juga belum mengantuk, hingga akhirnya kuputuskan untuk mengambil novel yang kusimpan di dalam tas ranselku. Aku bingung dan sedikit kaget. Aku yakin kalau daritadi aku sama sekali tak mnyentuh tas ranselku. Namun saat ini aku malah melihat tas ranselku sudah terbuka lebar, dan novelku sudah berada di samping tas.  Bagaimana mungkin bisa seperti ini, pikirku dalam hati.

Bulu kuduk ku mulai merinding dengan fenomena yang cukup aneh ini, namun aku masih mencoba untuk tidak memperdulikannya. Aku mengambil novel dan langsung menyalakan lampu baca, aku berharap dapat segera tidur ketika membaca novel ini. Sudah 1 jam berlalu tapi aku juga belum berhasil tidur, mataku masih sangat segar tanpa bisa tertutup.

“Hii.. hi.. hi.. Kau curang, aku akan bilang ibu!”

Tiba tiba aku mendengar sebuah suara anak anak dengan logat Indonesia beraksen Inggris yang kental. Suara itu terdengar seperti suara seorang anak wanita, yang seorang anak wanita. Apa mungkin itu anak kembar yang tadi kutemui di lift, tapi ini sudah jam 12 malam. Tak mungkin kedua anak itu belum juga kembali kedalam kamarnya. Aku sedikit ketakutan namun rasa penasaranku ternyata berhasil mengalahkannya.

Aku mengintip dari lubang pintu kamar hotel, aku melihat kedua anak kembar itu ternyata masih bermain kejar kejaran di depan kamarku, di depan kamarku pada jam 12 malam. Aku mulai merasa aneh dengan apa yang kulihat dari dalam lubang pintu, dan tiba tiba salah seorang anak berambut pirang itu terjatuh.Dia kemudian langsung duduk dan menundukan kepalanya, sepertinya dia sedang menahan tangis. Tak lama kemudian, saudara kembarnya datang menghampiri seoalah ingin menenangkannya agara tak menangis. Mendadak saudara kembarnya menoleh kearahku, seakan dia tau bahwa aku sedang menyaksikan mereka berdua.

“Mau bermain bersama kami?”

Aku kaget. Aku terjatuh ke lantai. Sangat mengerikan, sangat mengerikan. Aku melihat anak itu berbicara kearahku dari luar pintu kamar. Namun itu bukan poin mengerikan yang kulihat. Wajah anak itu, emm, wajah anak itu sangat mengerikan. Bahkan saat inipun aku masih tak dapat melupakan bagaimana mengerikannya wajah anak itu. Wajahnya yang putih pucat dengan darah yang mengucur keluar dari kepalanya, sangat menakutkan.

Aku mencoba untuk mengatur nafas panjangku. Aku masih shock dengan apa yang baru saja aku lihat. Aku memutuskan untuk kembali ke kasur, aku tak mau lagi melihat apa yang terjadi di depan pintu. Aku tak berani. Aku sangat takut.

Aku duduk diatas kasur hotel dengan terus mendekap erat selimut. Aku mencoba untuk menghubungi semua orang yang ada di handphone ku. Tapi mendadak sinyal hape ku hilang begitu saja. Aku terus mengotak atik hape ku dengan tujuan agar sinyalnya muncul kembali, tapi tanpaknya itu hanya perbuatan yang sia sia tanpa arti.

“Jleeb”

Tiba tiba listrik mati. Hotel macam apa yang mendadak tiba tiba mati lampu jam 1 malam. Wah gila, sial sekali aku malam ini. Mendadak aku menjadi sangat merinding, aku merasa tiap sudut ruangan kamar seperti mengawasi gerak gerikku. Aku menjadi mawas diri guna berjaga jaga bila ada suatu hal yang tiba tiba saja muncul. Rasa takut yang teramat sangat ini, membuatku tak dapat berpikir secara jernih tapi tiba tiba saja aku menyadari bahwa di dalam kamar hotel ini ada telfon yang langsung terhubung ke resepsionis.

Aku segera mengambil gagang telfon dengan cepat tanpa memperdulikan apa pun. Yang ada dalam pikiranku saat itu hanyalah bagaimana agar dapat meminta pertolongan orang dengan cepat. Tanpa kusangka ternyata resepsionis diujung telfon lama sekali mengangkat gagang telfon. Keringat sudah mulai bercucuran membasahi tubuhku, dan samar samar aku kembali mendengar suara anak kecil tertawa tepat di depan pintu kaamrku. Aku tak tahan lagi dengan keadaan ini, kumohon cepat angkat telfonnya!

“Hallo.. Halooo!”, aku langsung berteriak mendengar suara dari telfon.

“Ya ada yang bisa saya bantu?”, jawab resepsionis tersebut.

“Cepat ke kamar 420, di sini listrik mati dan tadi ada... Sudahlah, ayo cepat kemari!”

Aku sangat ketakutan dan sudah tak bisa berpikir dengan jernih lagi, aku hanya memerintahkan agar siapapun datang ke kamar ini. Karna untuk membuka pintu kamar saja aku tak punya keberanian.

“Maaf pak, kamar 420?”, jawab resepsionis tersebut.

“Iya, ayo ceapat suruh orang ke sini!”

“Bapak pasti salah, karna saat ini kamar 420 sedang di renovasi jadi sedang di tutup untuk umum.”

Kemudian telfon terputus. Aku menjadi makin tak mengerti dengan apa yang baru saja aku dengar, padahal resepsionis itu sendiri yang memberikanku kamar 420 ini. Aku menjadi bertanya tanya dalam hati apa yang sebenarnya terjadi saat ini.

Tangis. Ya tak salah lagi, ini suara tangis. Tiba tiba aku dikagetkan dengan suara anak kecil menangis, tepat dibelakangku. Lebih tepatnya aku rasa mungkin diatas tempat tidur. Ingin rasanya aku menoleh kebelakang untuk memastikan apa yang kudengar, namun rasa takut seakan mencoba untuk menghalangiku. Di dalam ruangan asing, dengan keadaan gelap dan tiba tiba dikagetkan dengan suara anak perempuan yang sedang menangis, kira kira apa yang akan kau lakukan?

Lampu menyala. Suara tangis anak perempuan itu tiba tiba menghilang. Aku memberanikan diri menoleh kebelakang hanya untuk sekedar memastikan asal suara tadi. Darah. Darah. Aku melihat darah berceceran diatas kasur. Semua seprei tersusun tak beraturan. Dan ada dua orang mayat anak kecil yang penuh dengan darah, yang satu terduduk diatas kasur dengan luka bacok dan yang satunya diatas karpet dengan keadaan kepala yang sudah hancur. Oh Tuhan, kenapa ini?! Aku tak tau harus berbuat apa. Tiba tiba saja rasanya isi kepalaku seperti mau pecah berhamburan. Dengan cepat aku memutuskan untuk lari keluar kamar. Tapi tiba tiba aku kembali dikagetkan dengan sosok tubuh terjtuh keluar dari dalam lemari. Itu adalah resepsionis yang tadi kutemui saat akan memesan kamar, dan dia pun sudah dalam keadaan mati.

Segera aku keluar dari kamar dan lari dengan kencang tanpa memperdulikan apapun yang ada di hadapanku. Dengan rasa takut dan fisik yang sangat lelah, aku langsung menghampiri resepsionis yang sedang berjaga.

“Woi, lo tau apa yang ada di kamar 420?!”, aku sangat marah kepada resepsionis itu.

“Itu kamarnya kan lagi dibenerin pak...”

“Bangsat! Gue diganggu setan anak kecil!”

Resepsionis tersebut menelan air ludah mendengar ucapaku barusan. Sepertinya dia juga kaget mendengar perkataanku barusan. Dengan sedikit paksaan akhirnya resepsionis itu menceritakan bahwa sebulan yang lalu terjadi pembunuhan di kamar itu. Ada seorang suami istri dan kedua anak kembarnya sedang liburan dan mereka memesan kamar 402 itu. Namun tak disangka, tiba tiba saat tengah malam si suami mengamuk tak jelas. Dia membunuh kedua anak, istrinya dan resepsionis yang berjaga saat itu dengan menggunakan kapak. Tak jelas si suami tersebut mendapatkan kapak itu darimana, tapi yang jelas saat ini dia telah diamankan di rumah sakit jiwa.

Lemas aku mendengar perkataan resepsionis itu. Aku terdiam menerawang jauh keatas plafon. Aku tak tau harus berkata apa, baru pertama kali aku mengalami hal seperti ini dan aku bersumpah hal ini tak akan terulang lagi. Ditengah ketidakpercayaanku, aku dikagetkan dengan seorang yang tiba tiba memegang jari jemari tanganku. Aku menoleh kearahnya, kulihat itu adalah seorang anak wanita berambut pirang dan dia berkata... “Kakak, ayo main...”


Bahkan sampai saat ini pun aku masih merasakan kehadiran kedua anak kemabar itu. Mereka seperti mengawasiku, mengawasi semua tindakanku..

Semoga kalian tenang di sana...