Hemm..
kurasa padang rumput bekas peternakan pinggir kota Den Haag adalah terindah di
dunia. Tempat ini sangat pas untuk melepaskan penat sehabis bekerja seharian
penuh, sekedar duduk ataupun tiduran sambil melihat awan dan diiringi suara angin
yang bertiup dinamis adalah surga dunia. Pekerjaan sebagai tukang pos bersepeda
di kota Den Haag memang menyenangkan tapi juga sangat merepotkan dan
melelahkan. Dalam sehari aku bisa hilir mudik dari satu tempat ketempat lain,
bertemu dan berinteraksi dengan berbagai macam orang ataupun mengalami
kecelakaan kecil di jalanan, sudah seperti makan siangku sehari hari. Dan rasa
lelah itu semua hanya dapat diobati dengan rumput peternakan ini, surga, inilah
surga.
Sebenarnya
ada sebab lain yang membuatku sangat betah berada di sini, hanya dari sini aku
dapat melihat masa laluku yang sangat bahagia. Dari sini aku dapat melihat
dengan jelas rumah masa kecilku, ya setidaknya dulu keluargaku hidup bahagia di
rumah yang berada di sebrang peternakan ini. Dulu aku hidup bahagia dan sangat
berkecukupan sebelum ibuku menjadi gila dan membakar seisi rumah yang menyisakan
aku sendiri yang selamat. Ayah, kakak perempuanku dan ibuku sendiri terjabak
hangus di dalam rumah, sedangkan aku berhasil selamat entah bagaimana. Aku tak
mengerti bagaimana saat itu aku bisa selamat, tiba tiba saja aku terbangun dan
sudah berada di rumput peternakan ini dengan keadaan rumahku yang sudah tersisa
bekas kayu terbakar. Orang orang bilang aku beruntung tapi tak butuh keberuntungan,
aku hanya ingin hidup bersama keluargaku.
Saat
pertama kali mengetahui hanya aku sendiri yang selamat dari kejadian itu, membuatku
sangat shock dan stres selama berbulan bulan. Aku tinggal di sebuah panti
asuhan tanpa seorang teman, aku mulai suka menyendiri dan emosional, kenyataan
bahwa keluargaku telah tiada adalah cobaan yang sangat berat pada usiaku saat
itu. Dan disaat seperti itu lah aku mulai bisa melihat sesuatu yang aneh,
sesuatu yang tak bisa dilihat orang lain. Aku dapat melihat orang mati. Orang
mati itu datang menghampiriku, hampir setiap hari. Mereka datang dengan
berbagai keadaan, tanpa kepala, wajah terbakar dan juga ada yang masih
berperawakan sempurna layaknya seorang manusia. Sampai sekarang hal ini sangat
membuatku takut, aku menjadi makin dikucilkan dipergaulan karna tiba tiba
sering menangis dan menjerit. Padahal aku melakukan itu bukan untuk cari
perhatian, itu karna aku takut, aku merasa diteror, hidupku sangat tidak
tenang.
Berkali kali
aku mencoba bunuh diri tapi selalu saja gagal, ada saja kejadian yang membuatku
tak jadi mati. Dan kegagalan yang kualami untuk bunuh diri membuatku menjadi
terobsesi dengan itu. Aku berlomba dengan diriku sendiri untuk mati. Bunuh diri
adalah list teratas dalam hidupku yang harus aku lakukan. Walaupun perkerjaanku
yang mengharuskan bertemu orang baru tiap harinya ditambah padang rumput ini
memberi arti bahwa hidupku sangat berharga dan aku suka kehidupan itu. Tapi semua
hal bahagia itu kembali berganti kesedihan dan amarah ketika aku kembali
melihat orang orang mati yang terus menggangguku, khususnya Carrie. Dari semua
kemungkinan, cuma satu yang aku pikirkan jika Carrie muncul dan kembali
menggangguku. Ya, mati. Bunuh diri adalah cara yang indah untuk mengakhiri
hidupku yang sangat menyedihkan ini.
****
Hari ini
adalah hari yang tepat untuk mati, aku yakin itu. Aku sudah membeli sebuah
pistol revolver dengan harga yang cukup murah, walaupun pistol tersebut cukup
menguras gaji bulananku. Bagiku cukup indah untuk mengakhiri hidup dengan
sebuah tembakan yang diarahkan ke mulutku sendiri, aku dapat langsung tewas
tanpa mati secara perlahan sangat cepat dan singkat untuk mengakhiri
kehidupanku yang tak berarti ini. Aku mengambil pistol yang kusimpan di dalam
tas kemudian memasukannya ke dalam mulutku. Ternyata hal ini tak semudah yang
aku pikirkan, keringat bercucuran dari kepalaku, rasa takut mulai memakan
keangkuhanku. Aku langsung menarik pistol tersebut dari mulutku karna tiba tiba
saja aku kehilangan keberanian untuk menarik platuk. Aku tadi teringat dengan
Carrie, seorang hantu wanita yang selalu mengikutiku. Dia sangat cantik
walaupun dengan tubuh penuh darah bekas bacokan kapak. Carrie selalu memanggil
namaku, menampakkan diri seenaknya dan terus membuatku tidak nyaman dalam
melakukan kegiatanku.
Dan tadi saat
aku mencoba menarik pelatuk pistolku, aku mendengar Carrie memanggil namaku.
Dan benar saja, ternyata saat ini dia telah berdiri tepat dihadapanku dengan
senyumannya yang lebar dan penuh penderitaan.
“Kau tak bisa melakukan itu, John. Kau lemah.”
Ujar Carrie
dengan suara liciknya yang meragukan keberanianku untuk menarik pelatuk guna
mengakhiri hidupku.
Aku
tak akan menghiraukan ucapan Carrie, kali ini aku harus melakukannya. Mati di
padang rumput ini mungkin adalah hal terbaik dalam hidupku, setidaknya lokasi aku
mati dekat dengan lokasi keluargaku saat mati terbakar. Di sini aku dapat
merasakan kehadiran seluruh anggota keluargaku, aku dapat mati dengan tenang di
sini. Namun Carrie terus menerus meragukan keberanianku, dia yakin pekerjaanku
sebagai tukang pos membuatku lemah. Ekspresi kebahagiaan orang yang kutemui
ketika menggu pesan dari orang yang disayangi membuatku berpikir bahwa hidup
bukan sekedar apa yang kita inginkan tapi tentang apa yang kita butuhkan.
Argghhh, aku tak boleh lemah. Aku harus bunuh diri, ini waktu yang tepat. Aku
tak boleh plin plan di depan hantu yang terus menerus mengganggku. Aku harus
mengakhiri hidupku saat ini juga.
Aku
kembali menaruh pistol kedalam mulutku lalu kembali melepaskan. Entah mengapa saat
ini aku mulai berpikiran jernih. Aku berpikir, jika nanti seseorang menemukan
tubuhku yang mati dengan kepala hancur maka aku pasti dianggap gila. “Seorang pria gila mati bunuh diri”,
pasti headline koran koran akan seperti ini. Aku tidak gila tapi jika aku mati
seperti ini maka aku akan dianggap gila. Apalagi ibuku adalah orang gila yang
membunuh seluruh keluarganya sebelum akhirnya membakar diri di dalam rumahnya
sendiri. Anak orang gila, akhirnya menjadi gila dengan membunuh dirinya
sendiri. Ohh – logika ini seketika kembali membuatku ragu untuk menarik pelatuk
pistolku. Tiba tiba saja aku menjadi takut, aku tak sanggup melihat wajah
menyeramkan Carrie dengan tawa kemenangan yang menjadi miliknya. Egoku berkata
bahwa ini saatnya aku yang tertawa penuh kemenangan walaupun kenyataannya aku
harus mati. Dan aku harus merelakan padang rumput, pekerjaan dan semua hal yang
kusenangi pergi menjauh.
“Kenapa lagi John? Takut mati?”, suara
lirih Carrie terdengar makin seperti hinaan di telingaku.
“Kau terus menggangguku Carrie, pergilah!”,
emosiku mulai tersulut mendengar ocehan Carrie terus menerus.
“Kau berani mengusirku? Aku temanmu John,
lebih tepatnya aku satu satunya temanmu! Hahahaa!”, Carrie menyelesaikan
ucapan lirihnya dengan tawa lantang yang makin membuatku muak.
Ucapan
Carrie ada benarnya, hanya dia yang selalu muncul dalam hidupku. Aku sering
bertemu dengan hantu lain namun tak ada yang selalu intens mendatangiku selain
Carrie. Dulu aku sempat ngobrol dengannya tentang kematian. Sebuah obrolan aneh
karna obsesiku akan bunuh diri dan secara kebetulan aku dipertemukan dengan
hantu yang pastinya telah menerima kematian, walaupun dia mati karna dibunuh. Itu
sama saja untukku, seorang yang mati tetap saja mati hanya penyebabnya saja
yang berbeda. Tapi jika Carrie menganggap dirinya sebagai temanku, tentu saja
dengan tegas aku menolaknya. Dia terus menerus menggangguku dengan suaranya
yang lirih dan terus menerus mengajakku bermain sebuah game bodoh yang bisa
saja telah membunuhku sejak lama. Jika saja hantu dapat mati dua kali maka aku
telah membunuh Carrie sebanyak sepuluh kali.
“Bagaimana jika game terakhir?”, Carrie
berkata kali ini dengan ekspresi serius terdengar dari suara yang keluar dari
mulutnya.
“Sebuah taruhan kecil, jika kau menang aku
akan pergi selamanya dari hadapanmu. Tertarik?”, sebuah tantangan yang
cukup menarik perhatianku keluar dari bibir Carrie.
Aku
tak bisa percaya begitu saja dengan apa yang diucapkan Carrie, bagaimana
mungkin aku tau bahwa dia tak menipuku. Lagipula apa keuntungan yang dia
dapatkan dari game seperti ini. Hantu wanita ini tak henti hentinya berhenti
mempermainkanku. Tapi ini sebuah kesempatan bagiku, aku penasaran apa yang ada
di pikiran Carrie hingga berani bertaruh seperti itu.
“Lanjutkan, apa yang kau mau?”, aku
menyuruh Carrie melanjutkan perkataannya.
“Kau masih ingin mati kan..?”
Carrie
membalikan pertanyaan kepadaku, yang kubalas dengan anggukan tanda mengiyakan
pertanyaan Carrie tersebut. Apapun tantangan yang diajukan Carrie, aku akan
tetap berusaha untuk mati di sini, dekat dengan keluargaku yang kucintai.
“Peternakan ini tempat favoritmu dan kau
pasti tau tapat jam enam sore lampu jalan di sini akan menyala. Dan lima belas
menit lagi tepat jam enam.”, senyum licik Carrie makin melebar mungkin saat
ini selebar bibir angsa.
“Dan ini permainannya, jika lampu jalan tidak
menyala tepat waktu seperti biasanya, maka kau menang dan aku dengan sukarela
akan meninggalkanmu. Hiduplah
sebagaimana layaknya pengantar pos yang menyedihkan...”, ekspresi wajah
Carrie menjadi lebih serius dari sebelumnya, dia diam sejenak sebelum
melanjutkan perkataannya.
Tapi - jika lampu itu menyala tepat jam enam
seperti seharusnya. Maka segera kau ambil pistolmu, letakan di mulutmu, tarik
pelatuknya dan semua akan terjadi sesuai maumu. Bagimana? Menarik bukan?”
Sebuah
tantangan yang membuat dadaku sesak. Aku mulai ragu dengan keputusanku untuk
bunuh diri, keberanianku ciut dengan tantangan gila yang diajukan oleh Carrie.
Jika tadi nyawaku berada diujung pistol maka sekarang nyawaku berada pada lampu
jalan. Tapi jika aku tak menerima tantangan Carrie maka dia akan terus menerus
menggangku hidupku dan aku hanya akan tetap hidup dengan kerinduan akan bayang
bayang keluargaku. Hampa. Keyakinanku untuk mati dan bertemu dengan keluargaku
jauh membumbung lebih tinggi. Untuk apa aku tetap hidup di dunia tanpa arti dan
hanya ditemani oleh hantu yang membuatku gila.
“Aku terima!”, aku menjawab tantangan
Carrie dengan tegas namun dengan ekspresi wajah yang kurang meyakinkan. Entah
kenapa kehidupanku sebagai tukang pos mulai mempengaruhi keputusanku.
Tapi jika aku mati di tengah padang rumput
peternakan seperti ini maka orang orang hanya menganggapku gila, Carrie!”,
rasa takut membuatku terus melakukan pembenaran walaupun aku sendiri tak tau
apa gunanya aku melakukannya.
“Anak dari orang gila pun takut dibilang
gila? Apa kau tak sadar dari dulu kau memang sudah dianggap gila?”
Aku terdiam
mendengar ucapan Carrie. Memang benar sejak selamat dari kebakaran orang orang
menganggapku gila. Apalagi dengan kemampuanku bicara dengan hantu, yang membuat
orang orang merlihatku seperti selalu bicara sendirian. Tak ada yang mau
berteman dengan orang yang terlihat gila sepertiku.
“Kau lihat diarah utara ada pohon besar. Kau
bisa berdiri di sana dan menenunggu apakah lampu jalan akan menyala tepat
waktu. Jika kau mau bunuh diri dibawah pohon besar maka itu akan terlihat
biasa. Bunuh diri dibawah pohon adalah hal umum – hahaha!”
Aku berjalan
pelan kearah pohon yang ditunjuk oleh Carrie. Langkahku sedikit berat untuk
meninggalkan pekerjaan yang kucintai, meinggalkan rumput peternakan yang dapat
membuatku tenang. Namun jika terus hidup, aku selalu berada dibawah tekanan
kerinduan akan sosok keluarga. Aku yakin keluargaku di dunia sana sudah
menunggu kedatanganku dan jika sudah berada di dunia sana aku tidak dipusingkan
lagi dengan ocehan Carrie. Aku berjalan dengan penuh keraguan dan dilema yang
bergemuruh di dalam otakku.
Pohon besar
ini akan menjadi saksi hidupku selajutnya. Hidup dan matiku ditentukan oleh
lampu jalan yang akan menyala satu menit lagi. Ya satu menit lagi. Sambil
berdiri diiringi lembut angin dari rerumputan, aku menangis untuk diriku sendiri.
Ternyata aku sendiri juga takut akan kematian, lubuk hatiku mengharapkan lampu
jalan tak menyala tepat waktu.
“Santai, John. Semua akan berjalan lancar
sesuai keinginanmu. Sekarang masukan pistol itu kedalam mulutmu dan mulailah
menghitung mundur..”
Aku mengikuti
perintah Carrie untuk langsung memasukan pistol kedalam mulutku dan mulai
menghitung mundur dari detik 60 di dalam hati. Aku melihat kearah tanah kosong
bekas rumahku kemudian kearah atas untuk melihat lampu jalan yang menjadi penentukan
nasibku.
“Tak usah takut, John. Ini permainan terakhir
kita. Anggap ini adalah malam pergantian tahun baru yang biasa dirayakan oleh
semua orang di dunia. Kita akan berpesta jika waktu telah dimulai. Maka
sekarang kita harus menghitung mundur bersama sama..”
“Tiga belas...”
“Dua belas...”
“Sebelas..”
“Sepuluh...”
“Sembilan......”
...............................
Tidak ada komentar:
Posting Komentar