Wikipedia

Hasil penelusuran

Rabu, 12 Juni 2013

Black Cat



Jika kalian membaca tulisan ini, aku yakin kalian akan berpikir aku tidak waras. Terserah dan masa bodoh dengan pendapat kalian, tapi kejadian ini memang sangat nyata bagiku. Aku tau mustahil bagiku untuk meminta kalian mempercayainya, sesuatu yang bahkan sebenarnya tak dapat diterima akal sehat. Aku bukan orang gila yang suka meracau tentang khayalan,  aku yakin ini bukan mimpi, ini nyata. Kalian tau, aku sekarat, jantungku mulai membeku dan aku yakin 1 jam lagi aku akan mati, ya 1 jam lagi, maka dari itu aku berharap dapat mengurangi sedikit sampah dalam beban hidupku sampai kematianku datang. Aku menulis ini bukan untuk meminta simpati kalian, tujuanku menceritakan ini saya untuk menceritakan apa yang sedang kualami di sini, di rumah ini. Ini semua aku tulis apa adanya, tanpa ada embel embel penyedap rasa ataupun tambahan kiri kanan dramatisasi cerita. 

Kejadian ini sangat menyiksaku, bahkan terus menghantui dan menyiksaku sejak lama. Aku harap setelah aku menceritakan kejadian yang kualami ini, kalian yang masih berpikiran tenang dan logis dapat memahami apa yang kurasakan, rasa takut yang menyeruak hingga ubun ubun kepala. Rasa waspada yang selalu menyiksaku dari belakang kepala. Sekarang pun, saat aku sedang menulis ini tanganku benar benar terasa sangat berat tiap menggerakan ujung pena, kepalaku bergetar merinding, dan aku yakin saat ini diawasi oleh banyak pasang mata yang ada di seluruh sudut ruangan kecil ini. Ini benar, aku tidak bohong. Aku tidak gila.

Sejak kecil, tepatnya saat aku masih sekolah dasar aku sudah ditampung di panti asuhan lokal di daerahku, Karlsruhe. Ayah dan ibuku mati karna tertangkap tangan telah membantu keluarga Yahudi untuk bersembunyi dari kejaran tentara Nazi. Kedua orang tuaku ditembak ditempat (tepat di kepala) di depan kedua mataku. Kejadian itu masih sangat membekas dalam pikiranku, aku masih sanggup mengingat dengan detail bagaimana darah dan serpihan otak keluar dari kepala orang tuaku.

Menyedihkan memang, mungkin karna itulah aku jadi dikenal orang sebagai seorang pendiam dan penurut. Sangat jarang bahkan hampir tidak pernah aku berdebat dan mencari masalah dengan orang lain tapi semua itu tak ada guna nya, sampai saat ini aku tidak punya teman. Semua orang mengganggap aku aneh karna aku tak mampu berkata tidak, banyak dari mereka berburuk sangka padaku apalagi aku hanya anak yatim piatu yang sangat miskin. Tapi aku tak butuh belas kasihan.

Rasa kesepianku hanya dapat kulimpahkan dalam bentuk sebuah tulisan, dalam sebuah tulisan aku dapat merancang skenario apapun yang aku inginkan sesuai dengan keinginanku. Aku dapat membuat kalian mati dalam tulisanku. Pada awalnya menulis hanya jadi sekedar hobi bagiku namun seiring waktu, dari tulisanku sudah dapat membeli rumah tua sederhana, hasil dari jerih payahku menulis cerpen untuk koran lokal. Ya walaupun sebenarnya bangunan rumah ini hanya dikelilingi batu bata yang tinggi dan tebal, dengan atap yang terbuat dari kayu oak. Dan secara jujur kukatakan sebenarnya tempat ini lebih terlihat seperti penjara dibanding rumah. Oh ya, aku lupa memperkenalkan diri. Kalian bisa panggil aku Oliver, Oliver Malaka. Tentu saja ini bukan nama asliku, jika kalian sering membaca koran pagi Karlsruhe kalian pasti sudah tau aku ini siapa.

Cukup sudah basa basi busukku. Beginilah cerita yang membuatku sangat ketakutan. Sekali lagi kuingatkan, aku tidak butuh pendapat kalian yang membaca tulisanku ini, aku hanya ingin bercerita.

Tiga tahun yang lalu, saat aku berusia 30 tahun aku menikah dengan seorang wanita muda yang mengaku sebagai penggemarku, dia selalu berkata bahwa dia sangat menyukai caraku menulis misteri yang menurutnya tulisanku sangat nyata. Dia mengajakku menikah dan langsung kuiyakan karna tak kupungkiri bahwa saat itu aku butuh teman berbagi cerita dan hasrat seksualku harus dilampiaskan, walaupun sebenarnya dia gendut dan sangat cerewet. Sudah dua tahun, dan pernikahan kami baik baik saja walaupun belum dikaruniai anak. Aku masih sibuk dengan pekerjaanku sebagai penulis, sedangkan istriku memang lebih fokus mengurus rumah dan berkebun menanam bunga matahari di taman kecil 3x3 meter milik kami yang berada disebelah kiri rumah. Suasana rumah tangga kami yang harmonis tiba tiba berubah setelah dia memelihara kucing yang dia temukan sedang menggali tanah di taman kami. Aku sangat tidak suka dengan hewan namun istriku ngotot ingin memelihara dengan alasan kesepian karna sering kutinggal kerja, aku tak dapat menolaknya dan akhirnya kuizinkan kucing itu menjadi salah satu dari anggota keluarga kami.

Kucing hitam bertubuh besar dan berbulu hitam pekat itu sangat pintar, sangat sering aku mendengar pujian yang diberikan istriku kepada kucing yang dia beri nama Bruxa. Dalam bahasa Portugis, Bruxa dapat diartikan penyihir. Sebenarnya nama Bruxa sendiri merupakan nama salah satu tokoh cerita yang pernah kubuat dalam salah satu cerpenku, yang berkisah tentang penyihir yang dapat berubah wujud menjadi seekor kucing. Istriku berujar kucing ini sangat pintar seperti Yahudi yang berusaha kabur dari kejaran Nazi dan dia berkata bahwa kucing tersebut pasti jelmaan penyihir. Isriku mempunyai rasa humor yang sangat bagus, bukan?

Lambat laun aku mulai terganggu dengan kehadiran Bruxa, seringkali dia mengeong keras saat aku sedang konsentrasi mengerjakan tulisanku. Bahkan kuhitung sudah tujuh kali dia secara terang terangan menghampiriku dengan tatapan yang menantang. Kucing ini memang bangsat, dia tau bagaimana cara membuatku kesal. Hingga akhirnya, atau tepatnya 3 hari yang lalu aku mendapat kabar, bahwa teman lamaku, Oliver Malaka –yang asli- datang berkunjung ke rumahku dan dia ingin menginap selama tiga hari sebelum melanjutkan perjalanannya ke India.

Sudah 10 tahun aku tak bertemu dengan Oliver, bahkan dari kabar terakhir yang kudengar dia sudah mati di medan perang saat menjadi tentara sukarela Nazi. Dia datang tak sendiri, dia membawa kucing peliharaannya yang sangat mirip dengan Bruxa. Dari bulu yang berwarna hitam pekat dan tubuh yang besar sangat mencerminkan Bruxa, benar benar kembar yang otentik.

Di sinilah keanehan mulai terjadi di rumah ini. Semenjak kedatangan Oliver, Bruxa hilang entah kemana. Aku sudah tak pernah lagi mendengar suara bahkan melihat tatapan bengisnya. Istrikupun beberapa kali memintaku untuk mencari Bruxa ke hutan, tapi dengan halus kutolak permintaannya dengan alasan tidak enak meninggalkan Oliver di rumah. Sebenarnya aku sangat senang tak bertemu lagi dengan kucing berisik itu. Namun semalam pada saat aku sedang tidur lelap, tiba tiba aku mendengar suara kucing mengeong, tepat disebelah telinga kananku. Aku membuka mataku ternyata ada seekor kucing berdiri diujung ranjangku. Aku tak yakin apakah kucing itu Bruxa atau kucing Oliver. Sontak aku membangunkan istriku, namun dia tak bergeming. Dia masih terlelap dengan dunia mimpinya, atau mungkin badannya yang gendut membuat senggolanku tak berarti apa apa.

Kucing itu berjalan mendekat kearahku bak seorang jagoan. Dia menantangku dengan tatapan matanya yang terus tertuju padaku. Aku takut. Aku bingung. Tak tau harus berbuat apa. Tiba tiba dengan cepat kucing setan itu melompat kearahku, dan terjadilah pertempuran antara aku dan kucing itu. Dia mengeluarkan kukunya yang tajam dan mengarahkannya ke wajahku, aku dapat merasakan wajahku tercabik terkena cakar tersebut. Aku sangat marah. Aku hanya berpikir, kucing ini harus mati! Harus mati!

Kucing besar ini bukanlah makhluk yang mudah dikalahkan, tubuhnya yang besar membuatku seperti melawan seorang pria dengan kekuatan penuh. Dengan kekuatan penuh akhirnya aku berhasil mendorong kucing tersebut ke lantai dan dengan cepat aku mengambil pisau yang memang sengaja kusimpan di meja kecil disebelah ranjang. Aku ambil pisau itu dan langsung kurajam lehernya hingga nyaris putus! Kucungkil mata kanannya lalu kucabik cabik tubuhnya yang besar! Seketika aku dapat merasakan jantungku memompa darah lebih cepat, tubuhku bergetar, wajahku memerah, aku sangat menikmati hal ini tiap darah yang keluar dari kucing ini membuatku makin bersemangat!

Hahahaa! Aku tertawa dengan lantang. Badanku bergetar hebat, aku merasa sangat gagah. Ini lah rasanya menang! Ini lah bau kemenangan, ini lah rasa nya berhasil mengalahkan kucing iblis yang terus menerus menggangguku.

Istriku! Istriku! Aku mencoba membangunkan istriku untuk memperlihatkan padanya kemanangan yang telah kudapatkan dari kucing tersebut. Cukup lama aku menggoyang goyangkan tubuh istriku namun sama sekali tak ada tanggapan darinya. Aku mulai cemas dan langsung membuka selimut untuk memastikan keadaan istriku. Oh Tuhan – ada apa ini?! Aku melihat darah merah keluar dari tubuh istriku. Warnanya merah pekat menyimbolkan sebuah red rum dan bau nya, bau nya seperti tempe basi yang siap disajikan untuk makan malam ratu tikus.

Astaga apa yang terjadi pada istriku? Darah bercucuran dari tubuhnya, lehernya nyaris putus dan matanya.. mata kanannya hilang, persis seperti kucing tadi. Eh tunggu dulu, aku seperti melupakan sesuatu. Bagaimana mungkin keadaan istriku tiba tiba persis keadaan kucing tadi? Bagaimana bisa? Aku langsung mengecek jasad kucing tadi, tapi jasad itu sudah hilang bagai ditelan bumi. Hah? Apa mungkin yang kubunuh tadi adalah istriku?

Suasana malam menjadi sangat mencekam, bulan bagaikan mendekat kearahku untuk menakutiku. Aku mencoba tenang, aku mencoba untuk tidak takut. Tapi semakin aku mengelak, makin juga aku membohongi diriku sendiri. Dalam lubuk hatiku yang jauh di dalam, entah mengapa aku meyakini bahwa aku yang telah melakukan ini pada istriku tapi kenyataannya tidak! Aku membunuh kucing itu – bukan istriku!

Kau membunuhnya – terdengar suara Oliver, ternyata dia telah berdiri tepat dihadapanku entah sejak kapan. Apa maksudmu? Kucing itu yang kubunuh! Oliver tersenyum mendengar ucapanku. Sebuah senyuman kotor yang pertama kali kulihat seumur hidupku, senyuman licik dari seorang teman lama yang misterius. Tiba tiba dia mengangkat tangan kanannya yang ternyata sudah memegang pisau yang tadi kugunakan untuk membunuh kucing besar tadi.

Pisau itu?! Bagaimana bisa? Aku ingat jelas bahwa pisau itu tadi masih tertancap di tubuh gendut istriku. Oliver menyeringai penuh kepuasan dan tak ada sepatah katapun keluar dari mulutnya. Dia tersenyum dengan saat puas sebelum akhirnya menghunuskan pisau tersebut tepat ke dadanya sendiri. Aku terkejut dengan apa yang kulihat ini, apakah Oliver sudah mulai gila. Keadaan di sini sudah mulai tak terkontrol, otakku sudah mulai kacau untuk menelaah kejadian ini dengan akal sehat.

Tapi anehnya Oliver sama sekali tak menunjukan ekspresi sakit karna terhunus pisau, dia masih tersenyum bahkan kali ini menyeringai dengan sangat lebar hingga memperlihatkan semua giginya. Argghh- ada apa ini? Dadaku tiba tiba saja sakit. Ternyata ada sebuah pisau menancap di dadaku, pisau apa ini? Pikirku dalam hati dengan penuh rasa terkejut. Dengan penuh kesadaran bahwa pisau ini adalah pisau yang sama dengan yang dipegang Oliver tadi dan juga pisau yang sama kugunakan untuk mencongkel mata kucing tadi.

Kali ini yang berdiri dengan penuh rasa kemenangan adalah Oliver. Dia merentangkan kedua tangannya layaknya seorang pesulap yang berhasil menunjukan trik masterpiece kepada penonton. Dan di sisi lain aku sudah mulai merasakan kehilangangan banyak darah, darah mengalir keluar dari dadaku tiada henti. Oliver mendekatiku yang sudah tak dapat bergerak, aku merasakan jantungku mulai membeku. Dia berkata sesuatu, aku mendengarnya dengan sangat jelas tapi aku tak mengerti apa yang dia maksud. Saat ini aku hanya dapat memejamkan mata menahan rasa sakit yang teramat sangat dari dadaku, otakku tak bisa diajak untuk berpikir rumit saat ini. Ditengah menahan sakit aku masih berusaha mencari kertas dan pena untuk menulis pesan ini dan sosok Oliver sudah menghilang entah kemana. Kita adalah cermin – ujar Oliver padaku tadi.


Enatah ini ilusiku atau ini kenyataan aku melihat sosok Bruxa sedang memperhatikanku. Dia menatapku dengan sangat tajam penuh dengan emosi sebelum akhirnya meninggalkanku santai tanpa ada perasaan berdosa...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar