Jika
kalian membaca tulisan ini, aku yakin kalian akan berpikir aku tidak waras.
Terserah dan masa bodoh dengan pendapat kalian, tapi kejadian ini memang sangat
nyata bagiku. Aku tau mustahil bagiku untuk meminta kalian mempercayainya,
sesuatu yang bahkan sebenarnya tak dapat diterima akal sehat. Aku bukan orang
gila yang suka meracau tentang khayalan,
aku yakin ini bukan mimpi, ini nyata. Kalian tau, aku sekarat, jantungku
mulai membeku dan aku yakin 1 jam lagi aku akan mati, ya 1 jam lagi, maka dari
itu aku berharap dapat mengurangi sedikit sampah dalam beban hidupku sampai
kematianku datang. Aku menulis ini bukan untuk meminta simpati kalian, tujuanku
menceritakan ini saya untuk menceritakan apa yang sedang kualami di sini, di
rumah ini. Ini semua aku tulis apa adanya, tanpa ada embel embel penyedap rasa
ataupun tambahan kiri kanan dramatisasi cerita.
Kejadian ini sangat menyiksaku,
bahkan terus menghantui dan menyiksaku sejak lama. Aku harap setelah aku
menceritakan kejadian yang kualami ini, kalian yang masih berpikiran tenang dan
logis dapat memahami apa yang kurasakan, rasa takut yang menyeruak hingga ubun
ubun kepala. Rasa waspada yang selalu menyiksaku dari belakang kepala. Sekarang
pun, saat aku sedang menulis ini tanganku benar benar terasa sangat berat tiap
menggerakan ujung pena, kepalaku bergetar merinding, dan aku yakin saat ini
diawasi oleh banyak pasang mata yang ada di seluruh sudut ruangan kecil ini.
Ini benar, aku tidak bohong. Aku tidak gila.
Sejak
kecil, tepatnya saat aku masih sekolah dasar aku sudah ditampung di panti
asuhan lokal di daerahku, Karlsruhe. Ayah dan ibuku mati karna tertangkap
tangan telah membantu keluarga Yahudi untuk bersembunyi dari kejaran tentara
Nazi. Kedua orang tuaku ditembak ditempat (tepat di kepala) di depan kedua
mataku. Kejadian itu masih sangat membekas dalam pikiranku, aku masih sanggup
mengingat dengan detail bagaimana darah dan serpihan otak keluar dari kepala
orang tuaku.
Menyedihkan
memang, mungkin karna itulah aku jadi dikenal orang sebagai seorang pendiam dan
penurut. Sangat jarang bahkan hampir tidak pernah aku berdebat dan mencari
masalah dengan orang lain tapi semua itu tak ada guna nya, sampai saat ini aku
tidak punya teman. Semua orang mengganggap aku aneh karna aku tak mampu berkata
tidak, banyak dari mereka berburuk sangka padaku apalagi aku hanya anak yatim
piatu yang sangat miskin. Tapi aku tak butuh belas kasihan.
Rasa
kesepianku hanya dapat kulimpahkan dalam bentuk sebuah tulisan, dalam sebuah
tulisan aku dapat merancang skenario apapun yang aku inginkan sesuai dengan
keinginanku. Aku dapat membuat kalian mati dalam tulisanku. Pada awalnya
menulis hanya jadi sekedar hobi bagiku namun seiring waktu, dari tulisanku
sudah dapat membeli rumah tua sederhana, hasil dari jerih payahku menulis
cerpen untuk koran lokal. Ya walaupun sebenarnya bangunan rumah ini hanya
dikelilingi batu bata yang tinggi dan tebal, dengan atap yang terbuat dari kayu
oak. Dan secara jujur kukatakan sebenarnya tempat ini lebih terlihat seperti
penjara dibanding rumah. Oh ya, aku lupa memperkenalkan diri. Kalian bisa panggil
aku Oliver, Oliver Malaka. Tentu saja ini bukan nama asliku, jika kalian sering
membaca koran pagi Karlsruhe kalian pasti sudah tau aku ini siapa.
Cukup
sudah basa basi busukku. Beginilah cerita yang membuatku sangat ketakutan.
Sekali lagi kuingatkan, aku tidak butuh pendapat kalian yang membaca tulisanku
ini, aku hanya ingin bercerita.
Tiga
tahun yang lalu, saat aku berusia 30 tahun aku menikah dengan seorang wanita muda
yang mengaku sebagai penggemarku, dia selalu berkata bahwa dia sangat menyukai
caraku menulis misteri yang menurutnya tulisanku sangat nyata. Dia mengajakku
menikah dan langsung kuiyakan karna tak kupungkiri bahwa saat itu aku butuh
teman berbagi cerita dan hasrat seksualku harus dilampiaskan, walaupun
sebenarnya dia gendut dan sangat cerewet. Sudah dua tahun, dan pernikahan kami
baik baik saja walaupun belum dikaruniai anak. Aku masih sibuk dengan
pekerjaanku sebagai penulis, sedangkan istriku memang lebih fokus mengurus
rumah dan berkebun menanam bunga matahari di taman kecil 3x3 meter milik kami
yang berada disebelah kiri rumah. Suasana rumah tangga kami yang harmonis tiba
tiba berubah setelah dia memelihara kucing yang dia temukan sedang menggali
tanah di taman kami. Aku sangat tidak suka dengan hewan namun istriku ngotot
ingin memelihara dengan alasan kesepian karna sering kutinggal kerja, aku tak
dapat menolaknya dan akhirnya kuizinkan kucing itu menjadi salah satu dari
anggota keluarga kami.
Kucing
hitam bertubuh besar dan berbulu hitam pekat itu sangat pintar, sangat sering
aku mendengar pujian yang diberikan istriku kepada kucing yang dia beri nama
Bruxa. Dalam bahasa Portugis, Bruxa dapat diartikan penyihir. Sebenarnya nama
Bruxa sendiri merupakan nama salah satu tokoh cerita yang pernah kubuat dalam
salah satu cerpenku, yang berkisah tentang penyihir yang dapat berubah wujud
menjadi seekor kucing. Istriku berujar kucing ini sangat pintar seperti Yahudi
yang berusaha kabur dari kejaran Nazi dan dia berkata bahwa kucing tersebut
pasti jelmaan penyihir. Isriku mempunyai rasa humor yang sangat bagus, bukan?
Lambat
laun aku mulai terganggu dengan kehadiran Bruxa, seringkali dia mengeong keras
saat aku sedang konsentrasi mengerjakan tulisanku. Bahkan kuhitung sudah tujuh
kali dia secara terang terangan menghampiriku dengan tatapan yang menantang.
Kucing ini memang bangsat, dia tau bagaimana cara membuatku kesal. Hingga
akhirnya, atau tepatnya 3 hari yang lalu aku mendapat kabar, bahwa teman
lamaku, Oliver Malaka –yang asli- datang berkunjung ke rumahku dan dia ingin
menginap selama tiga hari sebelum melanjutkan perjalanannya ke India.
Sudah
10 tahun aku tak bertemu dengan Oliver, bahkan dari kabar terakhir yang
kudengar dia sudah mati di medan perang saat menjadi tentara sukarela Nazi. Dia
datang tak sendiri, dia membawa kucing peliharaannya yang sangat mirip dengan
Bruxa. Dari bulu yang berwarna hitam pekat dan tubuh yang besar sangat
mencerminkan Bruxa, benar benar kembar yang otentik.
Di
sinilah keanehan mulai terjadi di rumah ini. Semenjak kedatangan Oliver, Bruxa
hilang entah kemana. Aku sudah tak pernah lagi mendengar suara bahkan melihat
tatapan bengisnya. Istrikupun beberapa kali memintaku untuk mencari Bruxa ke
hutan, tapi dengan halus kutolak permintaannya dengan alasan tidak enak
meninggalkan Oliver di rumah. Sebenarnya aku sangat senang tak bertemu lagi
dengan kucing berisik itu. Namun semalam pada saat aku sedang tidur lelap, tiba
tiba aku mendengar suara kucing mengeong, tepat disebelah telinga kananku. Aku
membuka mataku ternyata ada seekor kucing berdiri diujung ranjangku. Aku tak
yakin apakah kucing itu Bruxa atau kucing Oliver. Sontak aku membangunkan
istriku, namun dia tak bergeming. Dia masih terlelap dengan dunia mimpinya,
atau mungkin badannya yang gendut membuat senggolanku tak berarti apa apa.
Kucing
itu berjalan mendekat kearahku bak seorang jagoan. Dia menantangku dengan
tatapan matanya yang terus tertuju padaku. Aku takut. Aku bingung. Tak tau
harus berbuat apa. Tiba tiba dengan cepat kucing setan itu melompat kearahku,
dan terjadilah pertempuran antara aku dan kucing itu. Dia mengeluarkan kukunya
yang tajam dan mengarahkannya ke wajahku, aku dapat merasakan wajahku tercabik
terkena cakar tersebut. Aku sangat marah. Aku hanya berpikir, kucing ini harus
mati! Harus mati!
Kucing
besar ini bukanlah makhluk yang mudah dikalahkan, tubuhnya yang besar membuatku
seperti melawan seorang pria dengan kekuatan penuh. Dengan kekuatan penuh
akhirnya aku berhasil mendorong kucing tersebut ke lantai dan dengan cepat aku
mengambil pisau yang memang sengaja kusimpan di meja kecil disebelah ranjang.
Aku ambil pisau itu dan langsung kurajam lehernya hingga nyaris putus!
Kucungkil mata kanannya lalu kucabik cabik tubuhnya yang besar! Seketika aku
dapat merasakan jantungku memompa darah lebih cepat, tubuhku bergetar, wajahku
memerah, aku sangat menikmati hal ini tiap darah yang keluar dari kucing ini
membuatku makin bersemangat!
Hahahaa! Aku tertawa dengan lantang. Badanku
bergetar hebat, aku merasa sangat gagah. Ini lah rasanya menang! Ini lah bau
kemenangan, ini lah rasa nya berhasil mengalahkan kucing iblis yang terus
menerus menggangguku.
Istriku!
Istriku! Aku mencoba membangunkan istriku untuk memperlihatkan padanya
kemanangan yang telah kudapatkan dari kucing tersebut. Cukup lama aku
menggoyang goyangkan tubuh istriku namun sama sekali tak ada tanggapan darinya.
Aku mulai cemas dan langsung membuka selimut untuk memastikan keadaan istriku.
Oh Tuhan – ada apa ini?! Aku melihat darah merah keluar dari tubuh istriku.
Warnanya merah pekat menyimbolkan sebuah red rum dan bau nya, bau nya seperti
tempe basi yang siap disajikan untuk makan malam ratu tikus.
Astaga
apa yang terjadi pada istriku? Darah bercucuran dari tubuhnya, lehernya nyaris
putus dan matanya.. mata kanannya hilang, persis seperti kucing tadi. Eh tunggu
dulu, aku seperti melupakan sesuatu. Bagaimana mungkin keadaan istriku tiba
tiba persis keadaan kucing tadi? Bagaimana bisa? Aku langsung mengecek jasad
kucing tadi, tapi jasad itu sudah hilang bagai ditelan bumi. Hah? Apa mungkin
yang kubunuh tadi adalah istriku?
Suasana
malam menjadi sangat mencekam, bulan bagaikan mendekat kearahku untuk
menakutiku. Aku mencoba tenang, aku mencoba untuk tidak takut. Tapi semakin aku
mengelak, makin juga aku membohongi diriku sendiri. Dalam lubuk hatiku yang
jauh di dalam, entah mengapa aku meyakini bahwa aku yang telah melakukan ini
pada istriku tapi kenyataannya tidak! Aku membunuh kucing itu – bukan istriku!
Kau
membunuhnya – terdengar suara Oliver, ternyata dia telah berdiri tepat dihadapanku
entah sejak kapan. Apa maksudmu? Kucing itu yang kubunuh! Oliver tersenyum
mendengar ucapanku. Sebuah senyuman kotor yang pertama kali kulihat seumur
hidupku, senyuman licik dari seorang teman lama yang misterius. Tiba tiba dia
mengangkat tangan kanannya yang ternyata sudah memegang pisau yang tadi
kugunakan untuk membunuh kucing besar tadi.
Pisau
itu?! Bagaimana bisa? Aku ingat jelas bahwa pisau itu tadi masih tertancap di
tubuh gendut istriku. Oliver menyeringai penuh kepuasan dan tak ada sepatah
katapun keluar dari mulutnya. Dia tersenyum dengan saat puas sebelum akhirnya
menghunuskan pisau tersebut tepat ke dadanya sendiri. Aku terkejut dengan apa
yang kulihat ini, apakah Oliver sudah mulai gila. Keadaan di sini sudah mulai
tak terkontrol, otakku sudah mulai kacau untuk menelaah kejadian ini dengan
akal sehat.
Tapi
anehnya Oliver sama sekali tak menunjukan ekspresi sakit karna terhunus pisau,
dia masih tersenyum bahkan kali ini menyeringai dengan sangat lebar hingga
memperlihatkan semua giginya. Argghh- ada apa ini? Dadaku tiba tiba saja sakit.
Ternyata ada sebuah pisau menancap di dadaku, pisau apa ini? Pikirku dalam hati
dengan penuh rasa terkejut. Dengan penuh kesadaran bahwa pisau ini adalah pisau
yang sama dengan yang dipegang Oliver tadi dan juga pisau yang sama kugunakan
untuk mencongkel mata kucing tadi.
Kali
ini yang berdiri dengan penuh rasa kemenangan adalah Oliver. Dia merentangkan
kedua tangannya layaknya seorang pesulap yang berhasil menunjukan trik
masterpiece kepada penonton. Dan di sisi lain aku sudah mulai merasakan
kehilangangan banyak darah, darah mengalir keluar dari dadaku tiada henti.
Oliver mendekatiku yang sudah tak dapat bergerak, aku merasakan jantungku mulai
membeku. Dia berkata sesuatu, aku mendengarnya dengan sangat jelas tapi aku tak
mengerti apa yang dia maksud. Saat ini aku hanya dapat memejamkan mata menahan
rasa sakit yang teramat sangat dari dadaku, otakku tak bisa diajak untuk
berpikir rumit saat ini. Ditengah menahan sakit aku masih berusaha mencari
kertas dan pena untuk menulis pesan ini dan sosok Oliver sudah menghilang entah
kemana. Kita adalah cermin – ujar Oliver padaku tadi.
Enatah
ini ilusiku atau ini kenyataan aku melihat sosok Bruxa sedang memperhatikanku.
Dia menatapku dengan sangat tajam penuh dengan emosi sebelum akhirnya
meninggalkanku santai tanpa ada perasaan berdosa...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar