Wikipedia

Hasil penelusuran

Selasa, 04 Juni 2013

No. 420

          

           Ini merupakan kisah nyata yang baru saja kualami lima hari yang lalu, aku hanya ingin sharing tentang hal yang baru saja aku alami ini. Kalian mau percaya dengan cerita ini atau tidak, itu keputusan kalian. Jika aku jadi kalian, aku lebih memilih untuk tidak mempercai kisah ini namun kenyataannya inilah yang kisah nyata yang kualami.
           
                                                      ****

            Kemarin sore ayahku mendadak menghubungiku, dia bilang bahwa akan berkunjung ke Bandung dan aku diminta olehnya untuk segera mencarikan hotel untuk dia menginap. Namun karna aku sangat sibuk, baru pada malam harinya aku sempat untuk mencarikan hotel. Tak disangka ternyata semua hotel di daerah dago sudah full booked dan akhirnya aku putuskan untuk mencari hotel di sebuah daerah yang cukup terkenal di Bandung, ya sebuah daerah yang identik dengan nama travel.

           Untuk sebuah bangunan hotel, hotel ini terlihat sangat kuno dengan dominasi warna merah maroon. Aku kira itu hanya tampak luar saja tapi ternyata interior hotel juga ini tampak sangat kotor dengan debu yang bertebaran dimana mana. Aku segera menuju ke resepsionis untuk memesan kamar untuk hari esok, resepsionis yang berjaga ternyata sedikit aneh. Dia seorang wanita muda, berambut hitam dengan tinggi kira kira sama denganku namun mukanya sangat pucat seperti sedang depresi. Lima menit setelah pembicaraan dengan wanita aneh ini, aku memutuskan untuk memesan kamar No. 420 sebuah kamar deluxe dengan harga yang cukup murah.

Setelah itu aku berbegas untuk pulang kembali ke kosan karna malam semakin larut, tapi mendadak hujan turun dengan derasnya. Hujan deras seperti ini membuatku tidak mungkin untuk menggeber motorku. Dan karna fisik yang mulai lelah dan rasa kantuk yang menyerbu, akhirnya aku memutuskan untuk menyewa kamar tersebut mulai dari malam ini. 

Aku memilih menggunakan lift untuk menuju ke lantai 4 hotel tersebut. Lift dengan lampu yang cukup redup ini tiba tiba berhenti di lantai 2, kemudian sepasang anak kembar rambut pirang yang berusia sekitar 8 – 10 tahun masuk ke dalam lift. Aku kaget, aku melihat jam tangan sudah meunujukan pukul 10 malam. Kemana orang tua anak anak ini, pikirku dalam hati. Budaya orang bule memang tak mudah dimengerti, bagaimana mungkin orang tua anak kembar ini mengizinkan anak mereka untuk keluar tanpa pengawasan, apalagi ini sudah jam 10 malam. Akhirnya lift berhenti juga di lantai 4, aku bergegas meninggalkan lift sementara kedua anak kembar tersebut hanya diam saja sambil berpegangan tangan dengan erat. Aku menoleh kembali kearah lift sesaat setelah berjalan keluar ternyata kedua anak kembar tersebut sudah tak ada di dalam lift. Padahal baru saja aku keluar dari dalam lift, tak mungkin secepat ini kedua anak itu pergi keluar dari dalam lift.

Aku mencoba cuek dan positif thinking. Mungkin saja karna keadaanku yang sangat lelah membuatku tak menyadari kedua anak itu pergi dari dalam lift. Aku berjalan dengan santai mencari cari kamar tempatku menginap ditemani dengan lampu redup di sepanjang lorong hotel yang membuat keadaan menjadi sangat menyeramkan. Kamar 420 tempatku menginap ternyata terletang di pojok ruangan. Sebuah kamar yang cukup besar ternyata, dengan keadaan interior yang cozy dan bergaya eropa. Aku cukup terkesan dengan hotel ini, aku rasa harga murah yang ditawarkan tak sebanding dengan fasilitas yang diberikan.

Setelah beberapa saat terkesan dengan keadaan hotel. Aku segera saja meletakan tas ranselku di kasur dan langsung menuju ke dalam kamar mandi. Keadaan gerah, apalagi setelah melakukan aktifitas yang cukup berat seharian membuatku ingin mandi. Mandi air panas cukup bagiku untuk menghilangkan gerah dan memanjakan diri untuk sesaat. Tak sampai 5 menit aku keluar dari kamar mandi, memang sangat segar mandi setelah banyak beraktifitas seharian. Jam di handphone ku sudah menunjukan pulul 11 malam, namun aku masih juga belum mengantuk, hingga akhirnya kuputuskan untuk mengambil novel yang kusimpan di dalam tas ranselku. Aku bingung dan sedikit kaget. Aku yakin kalau daritadi aku sama sekali tak mnyentuh tas ranselku. Namun saat ini aku malah melihat tas ranselku sudah terbuka lebar, dan novelku sudah berada di samping tas.  Bagaimana mungkin bisa seperti ini, pikirku dalam hati.

Bulu kuduk ku mulai merinding dengan fenomena yang cukup aneh ini, namun aku masih mencoba untuk tidak memperdulikannya. Aku mengambil novel dan langsung menyalakan lampu baca, aku berharap dapat segera tidur ketika membaca novel ini. Sudah 1 jam berlalu tapi aku juga belum berhasil tidur, mataku masih sangat segar tanpa bisa tertutup.

“Hii.. hi.. hi.. Kau curang, aku akan bilang ibu!”

Tiba tiba aku mendengar sebuah suara anak anak dengan logat Indonesia beraksen Inggris yang kental. Suara itu terdengar seperti suara seorang anak wanita, yang seorang anak wanita. Apa mungkin itu anak kembar yang tadi kutemui di lift, tapi ini sudah jam 12 malam. Tak mungkin kedua anak itu belum juga kembali kedalam kamarnya. Aku sedikit ketakutan namun rasa penasaranku ternyata berhasil mengalahkannya.

Aku mengintip dari lubang pintu kamar hotel, aku melihat kedua anak kembar itu ternyata masih bermain kejar kejaran di depan kamarku, di depan kamarku pada jam 12 malam. Aku mulai merasa aneh dengan apa yang kulihat dari dalam lubang pintu, dan tiba tiba salah seorang anak berambut pirang itu terjatuh.Dia kemudian langsung duduk dan menundukan kepalanya, sepertinya dia sedang menahan tangis. Tak lama kemudian, saudara kembarnya datang menghampiri seoalah ingin menenangkannya agara tak menangis. Mendadak saudara kembarnya menoleh kearahku, seakan dia tau bahwa aku sedang menyaksikan mereka berdua.

“Mau bermain bersama kami?”

Aku kaget. Aku terjatuh ke lantai. Sangat mengerikan, sangat mengerikan. Aku melihat anak itu berbicara kearahku dari luar pintu kamar. Namun itu bukan poin mengerikan yang kulihat. Wajah anak itu, emm, wajah anak itu sangat mengerikan. Bahkan saat inipun aku masih tak dapat melupakan bagaimana mengerikannya wajah anak itu. Wajahnya yang putih pucat dengan darah yang mengucur keluar dari kepalanya, sangat menakutkan.

Aku mencoba untuk mengatur nafas panjangku. Aku masih shock dengan apa yang baru saja aku lihat. Aku memutuskan untuk kembali ke kasur, aku tak mau lagi melihat apa yang terjadi di depan pintu. Aku tak berani. Aku sangat takut.

Aku duduk diatas kasur hotel dengan terus mendekap erat selimut. Aku mencoba untuk menghubungi semua orang yang ada di handphone ku. Tapi mendadak sinyal hape ku hilang begitu saja. Aku terus mengotak atik hape ku dengan tujuan agar sinyalnya muncul kembali, tapi tanpaknya itu hanya perbuatan yang sia sia tanpa arti.

“Jleeb”

Tiba tiba listrik mati. Hotel macam apa yang mendadak tiba tiba mati lampu jam 1 malam. Wah gila, sial sekali aku malam ini. Mendadak aku menjadi sangat merinding, aku merasa tiap sudut ruangan kamar seperti mengawasi gerak gerikku. Aku menjadi mawas diri guna berjaga jaga bila ada suatu hal yang tiba tiba saja muncul. Rasa takut yang teramat sangat ini, membuatku tak dapat berpikir secara jernih tapi tiba tiba saja aku menyadari bahwa di dalam kamar hotel ini ada telfon yang langsung terhubung ke resepsionis.

Aku segera mengambil gagang telfon dengan cepat tanpa memperdulikan apa pun. Yang ada dalam pikiranku saat itu hanyalah bagaimana agar dapat meminta pertolongan orang dengan cepat. Tanpa kusangka ternyata resepsionis diujung telfon lama sekali mengangkat gagang telfon. Keringat sudah mulai bercucuran membasahi tubuhku, dan samar samar aku kembali mendengar suara anak kecil tertawa tepat di depan pintu kaamrku. Aku tak tahan lagi dengan keadaan ini, kumohon cepat angkat telfonnya!

“Hallo.. Halooo!”, aku langsung berteriak mendengar suara dari telfon.

“Ya ada yang bisa saya bantu?”, jawab resepsionis tersebut.

“Cepat ke kamar 420, di sini listrik mati dan tadi ada... Sudahlah, ayo cepat kemari!”

Aku sangat ketakutan dan sudah tak bisa berpikir dengan jernih lagi, aku hanya memerintahkan agar siapapun datang ke kamar ini. Karna untuk membuka pintu kamar saja aku tak punya keberanian.

“Maaf pak, kamar 420?”, jawab resepsionis tersebut.

“Iya, ayo ceapat suruh orang ke sini!”

“Bapak pasti salah, karna saat ini kamar 420 sedang di renovasi jadi sedang di tutup untuk umum.”

Kemudian telfon terputus. Aku menjadi makin tak mengerti dengan apa yang baru saja aku dengar, padahal resepsionis itu sendiri yang memberikanku kamar 420 ini. Aku menjadi bertanya tanya dalam hati apa yang sebenarnya terjadi saat ini.

Tangis. Ya tak salah lagi, ini suara tangis. Tiba tiba aku dikagetkan dengan suara anak kecil menangis, tepat dibelakangku. Lebih tepatnya aku rasa mungkin diatas tempat tidur. Ingin rasanya aku menoleh kebelakang untuk memastikan apa yang kudengar, namun rasa takut seakan mencoba untuk menghalangiku. Di dalam ruangan asing, dengan keadaan gelap dan tiba tiba dikagetkan dengan suara anak perempuan yang sedang menangis, kira kira apa yang akan kau lakukan?

Lampu menyala. Suara tangis anak perempuan itu tiba tiba menghilang. Aku memberanikan diri menoleh kebelakang hanya untuk sekedar memastikan asal suara tadi. Darah. Darah. Aku melihat darah berceceran diatas kasur. Semua seprei tersusun tak beraturan. Dan ada dua orang mayat anak kecil yang penuh dengan darah, yang satu terduduk diatas kasur dengan luka bacok dan yang satunya diatas karpet dengan keadaan kepala yang sudah hancur. Oh Tuhan, kenapa ini?! Aku tak tau harus berbuat apa. Tiba tiba saja rasanya isi kepalaku seperti mau pecah berhamburan. Dengan cepat aku memutuskan untuk lari keluar kamar. Tapi tiba tiba aku kembali dikagetkan dengan sosok tubuh terjtuh keluar dari dalam lemari. Itu adalah resepsionis yang tadi kutemui saat akan memesan kamar, dan dia pun sudah dalam keadaan mati.

Segera aku keluar dari kamar dan lari dengan kencang tanpa memperdulikan apapun yang ada di hadapanku. Dengan rasa takut dan fisik yang sangat lelah, aku langsung menghampiri resepsionis yang sedang berjaga.

“Woi, lo tau apa yang ada di kamar 420?!”, aku sangat marah kepada resepsionis itu.

“Itu kamarnya kan lagi dibenerin pak...”

“Bangsat! Gue diganggu setan anak kecil!”

Resepsionis tersebut menelan air ludah mendengar ucapaku barusan. Sepertinya dia juga kaget mendengar perkataanku barusan. Dengan sedikit paksaan akhirnya resepsionis itu menceritakan bahwa sebulan yang lalu terjadi pembunuhan di kamar itu. Ada seorang suami istri dan kedua anak kembarnya sedang liburan dan mereka memesan kamar 402 itu. Namun tak disangka, tiba tiba saat tengah malam si suami mengamuk tak jelas. Dia membunuh kedua anak, istrinya dan resepsionis yang berjaga saat itu dengan menggunakan kapak. Tak jelas si suami tersebut mendapatkan kapak itu darimana, tapi yang jelas saat ini dia telah diamankan di rumah sakit jiwa.

Lemas aku mendengar perkataan resepsionis itu. Aku terdiam menerawang jauh keatas plafon. Aku tak tau harus berkata apa, baru pertama kali aku mengalami hal seperti ini dan aku bersumpah hal ini tak akan terulang lagi. Ditengah ketidakpercayaanku, aku dikagetkan dengan seorang yang tiba tiba memegang jari jemari tanganku. Aku menoleh kearahnya, kulihat itu adalah seorang anak wanita berambut pirang dan dia berkata... “Kakak, ayo main...”


Bahkan sampai saat ini pun aku masih merasakan kehadiran kedua anak kemabar itu. Mereka seperti mengawasiku, mengawasi semua tindakanku..

Semoga kalian tenang di sana...



1 komentar: