“Cepat!
Cepat! Dan cepat!” Cuma itu yang aku pikirkan saat ini melihat keadaan kota
yang padat karna penuhnya orang orang dengan kendaraannya yang berlomba untuk
mencapai garis finish. Tapi pemikiranku ini sebenarnya sudah terlalu
mainstream untuk semua orang di dunia ini, apalagi mereka yang mulai melakukan aktifitas pada
senin pagi. Semua orang di kota megapolitan ini kerjanya rata rata cuma
cari duit duit dan duit kalaupun ada yang lain, ya paling cari masalah yang nantinya bakal balik
lagi ke duit juga. Maka tak heran semua orang di kota ini geraknya cepat, karna kalo
tidak cepat ya duitnya bakal keburu diambil sama orang lain.
Di
kota ini kita memang harus berlomba dengan ratusan orang untuk berangkat ke
gedung gedung tinggi di pusat kota yang biasanya disebut dengan kantor. Ya
kantor, yang selalu jadi tujuan semua orang untuk menghidupi diri dan juga
dipakai sebagai simbol kesuksesan. Walaupun sebenarnya kesuksesan itu bukan
hanya hasil kerja keras kita sendiri tapi juga ada andil jasa dari Tuhan, ya bisa dibilang
takdir.
Dan juga di kota ini jangan harap mudah mendapatkan taksi untuk pergi ke pusat kota, tak
jarang orang malah memesan taksi pada hari minggunya supaya tidak
kehabisan taksi menuju kota. Itulah nasib jika harus kerja di pusat kota.
Walaupun sebenarnya aku tidak bekerja di pusat kota tapi kenyataannya saat ini
atau pagi ini aku juga sangat terburu buru, tapi berbeda dengan orang lain. Jika banyak orang meninggalkan apartment nya untuk bekerja ke pusat kota, aku
justru sekarang malah sedang menuju ke apartment yang ada di pinggiran kota. Sebenarnya jalan menuju pinggaran kota sangat lancar tapi karna kesalahanku yang kesiangan, jadinya malah sekarang waktunya sudah sangat mepet. Jam
tanganku sudah menunjukan pukul 6. 45 sedangkan aku janji temu pukul 7 tepat.
Dengan harap harap cemas aku menggeber vespa jadulku hingga tak terasa
apartment yang akan kutuju sudah terlihat penampakannya, sekitar 1 km lagi dari
tempatku sekarang.
“Sampai!”
Ucapkan dengan penuh membara ketika sudah memarkirkan vespaku di basement
apartmen yang sebenarnya kuparkir di sebelah motor satpam. Apartmen
sebesar Stadion Emirates ini tidak menyediakan parkir untuk motor dan kabarnya
kendaraan termurah yang pernah parkir di sini adalah mobil Toyota Camry. Turun
dari motor, aku langsung saja bergegas pergi ke lantai 19 apartment ini, karna
sangat terburu buru aku sampai lupa menanyakan suatu hal yang penting kepada
satpam berperut buncit dan berkumis tebal yang tadi mengizinkanku memarkirkan
motor di sebelah motornya.
“Pak
numpang tanya, toilet dimana ya?”
“Kalo
di sini ga ada de, paling adanya toilet saya itu di sebelah.”
“Yaudah
gapapa pak, saya pake dulu ya.”
Dalam
10 menit aku sudah keluar dari toilet dengan setelan jas lengkap dengan satu
buket bunga yang kupegang erat di tangan kananku. Dengan bergegas aku berlari
menuju lift dengan segera ke lantai 19, sesekali aku melihat jam tangan yang
sudah menunjukan pukul 7.23. “Sudah telat 23 menit.”, pikirku dalam hati. Tak
terasa pintu lift sudah terbuka, berasa sangat cepat berada dalam lift rasanya
seperti ngupil di tempat umum yang sepi. Dengan teliti aku mencari kamar 1918,
makin dekat kamar yang kutuju makin berdebar detak jantungku. Dan benar sekali!
Gugup itulah yang kurasakan saat ini, rasa gugup yang seakan membuat indraku
bekerja menjadi lebih tajam seolah sayup sayup aku sedikit mendengarkan
rintihan “ah... ah... ah... kemochi”,
oke lupakan mungkin ini cuma hayalan cabulku karna tontonanku semalam yang
menyebabkan aku kesiangan sehingga telat seperti ini.
Aku
sekarang sudah berdiri di depan pintu berwarna coklat yang bertuliskan angka
1918. Sejenak aku memandangi pintu itu untuk mengumpulkan kepercayaan diri dan
sekedar merapikan jas hitamku yang sebenarnya masih sangat rapi karna baru saja
kuambil dari laundry. Aku menarik nafas panjang kemudian memberanikan diri
mengetuk pintu dengan pelan. Kuketuk tiga kali namun belom ada tanggapan dari
si empunya apartment, aku diam sejenak dengan memegang erat bunga mawar putih
di tangan kananku. Aku mulai berpikir apa tidak ada orang di sini, karna ini
hari senin mungkin saja orangnya sedang pergi ke kantor. Namun aku masih ingin
mengetuk lagi tapi kali ini dengan sedikit keras, mungkin saja tadi ketukanku
agak pelan sehingga tidak terdengar orang yang berada di dalam.
“Iya
sebentar..”
Baru
ketukan pertama tiba tiba terdengar suara seorang wanita dari dalam kemudian
pintu terbuka sehingga aku dapat melihat dengan jelas wanita oriental berambut
pendek sebahu yang tingginya kira kira sepundak denganku. Aku sempat terpana
sepersekian detik bingung harus berbuat apa karna melihat kecantikan dan kaos
leher rendah yang dikenakannya yang membuatnya terlihat sexy.
“Ini..”
Dengan
suara terbata aku segera menyerahkan buket bunga kepada wanita cantik yang
berdiri di depan pintu itu, walaupun sebenarnya dia lebih tepat jika dikatakan
wanita manis yang sekilas mirip Aoi Sora.
“Buatku?
Oh, makasih.”, jawab wanita itu diiringi dengan senyum lebarnya.
Aku
terdiam melihat wanita itu nampak senang memeluk dan menciumi bunga tersebut.
Kemudian aku langsung teringat apa yang harus kulakukan sekarang. Aku sedikit
mundur tiga langkah kebelakang dan kemudian...
Paint my love
you should paint my love
Nyanyianku membuat wanita tersebut langsung mengalihakan pandangannya kearahku, aku menjadi sedikit takut namun hanya wajah seribu muka yang bisa kulakukan sekarang dan segera melanjutkan nyanyian agar rasa malu ini segera berakhir.“Benar benar memalukan.”,gerutuku dalam hati.
It's the picture of thousand sunsets
It's the freedom of a thousand doves
Baby you should paint my love
Aku bernyanyi dengan suara yang paling bagus dan diiringi dengan tarian kecil sebagai penunjang perform. Meskipun sudah berusaha maksimal tapi tetap hanya menghasilkan suara yang terdengar seperti suara seorang nenek yang sedang meneriaki cucunya agar tidak mencuri celana dalam miliknya sambil horse dance yang sedang terkenal itu. Tapi aku saat ini tidak sedang horse dance, aku hanya menari tarian kecil layaknya backing vokal yang sedang sok asik bernyanyi sambil menghentakan jari yang terlihat sangat atraktif.
Since you came into my life
The days before all fade to black and white
Since you came into my life
Everything has changed
Akhirnya pertunjukan pun selesai setelah aku selesai menyanyikan bagian chorus lagu tersebut diiringi dengan tarian memutar Elvis Presley. “Akhirnya kelaaaar!”, ucapku dalam hati yang rasanya ingin kuteriakan dengan sangat lantang.
“Lagu ini... Sweeeeet...”
Dengan berlinang air mata haru, wanita manis tersebut langsung memeluku dengan erat sehingga aku dapat merasakan lekukan tubuhnya yang lumayan montok menantang dan sedikit menghangatkan tubuh dan suasana yang tadinya sedikit kaku.
“Oh maaf aku terbawa suasana..”, ucap wanita itu sambil mengelap air mata yang bercucuran dari mata kecilnya.
“Gapapa kok..”, jawabku dengan tersipu malu.
Aku tersenyum membalas perkataan wanita itu. Kemudian aku teringat sesuatu yang masih kusimpan dalam tas ransel yang kuletakan disebalahku. Aku mencari cari sesuatu yang lupa kuletakan di bagian mana, tapi wanita itu masih sibuk melihat bunga dan mengusap air mata dengan tissue yang sudah dia siapkan sendiri. Akhirnya aku menemukan sepucuk amplop kecil berwarna biru muda yang langsung kuserahkan kepada wanita itu. Belum sempat aku menyerahkan amplop tersebut, wanita itu dengan cepat mengambil amplop tersebut. Kecepatan wanita itu persis seperti ibu kos yang mengambil uang bayaran kos bulanan, sangat cepat dan tepat sehingga mengakibatkan tanganku memar karna terkena kukunya. Tapi yang kulihat wanita itu tidak peduli denganku, dia hanya tertuju pada sepucuk surat yang baru saja keluar dari dalam amplop.
Dear fanie
Maaf hari ini aku ga bisa datang di anniversary 5 tahunan kita
Meskipun aku sibuk dengan pekerjaanku tapi ini kulakukan semua hanya untukmu
Untuk perkawinan kita
Untuk masa depan kita
Dan...
Semoga mawar dan lagu ini dapat menyegarkan pagimu hari ini
Sebagaimana setangkai mawar putih dapat menyatukan kita 5 tahun lalu dengan lagu ini sebagai saksi dimulainya kisah kita...
Your love
Kevin Waluyo
Dengan lantang wanita manis yang baru kuketahui bernama fanie tersebut membacakan isi suratnya. Sebenarnya aku sangat tidak ingin tahu dan tidak ada kepentingan dengan urusan dia dan pacarnya yang bernama Kevin, yang memberikanku tugas. Aku hanya agen Delivery Man dan tugasku hanyalah menyampaikan pesan dari klien sesuai request.
Seketika perasaan bete menyelimutiku. Senin pagiku serasa runtuh karena bokep semalam dan kisah anniversary wanita aneh yang ingin segera menikah, dan dia baru saja menyakitiku pergelangan tanganku karna kukunya yang tajam. Tidak hanya itu, kelakuan si Kevin yang ntah ada dimana dan menyuruhku menyanyi dan menari seperti Roger Milla saat merayakan gol di world cup 94, sangat membuat tidak nyaman. Resiko Delivery Man memang beragam tiap harinya kadang di dapet pelukan, ciuman, namun sering juga dapet apes seperti yang baru aja aku alami. Disaat seseorang senang malah aku yang merana, pagiku dimulai dengan nasib yang buruk. Apeeeees.
Seketika perasaan bete menyelimutiku. Senin pagiku serasa runtuh karena bokep semalam dan kisah anniversary wanita aneh yang ingin segera menikah, dan dia baru saja menyakitiku pergelangan tanganku karna kukunya yang tajam. Tidak hanya itu, kelakuan si Kevin yang ntah ada dimana dan menyuruhku menyanyi dan menari seperti Roger Milla saat merayakan gol di world cup 94, sangat membuat tidak nyaman. Resiko Delivery Man memang beragam tiap harinya kadang di dapet pelukan, ciuman, namun sering juga dapet apes seperti yang baru aja aku alami. Disaat seseorang senang malah aku yang merana, pagiku dimulai dengan nasib yang buruk. Apeeeees.
****
Pukul setengah sepuluh pagi akhirnya sampe juga aku di kantor. Sebenarnya letak kantorku hanya berjarak tiga blok dari apartment tadi, tapi karna tadi tugasnya harus pagi pagi sekali makanya aku jadi keteteran apalagi jarak rumah kos ku yang berada di perbatasan kota yang ditempuh 45 menit naik vespa bututku. Dengan muka melipat karna tak diberi uang tip aku memasuki kantor yang sebenarnya tidak terlalu besar ini. Kantor ini hanya memiliki tiga lantai saja dengan duapuluh karyawan yang semuanya lelaki. Makanya orang orang sering menyebut kantorku ini dengan sebutan “Diman”, padahal sudah jelas terpampang di depan kalau kantor ini bermana Delivery Man atau biasa disebut D- Man yang diperjelas juga dengan tagline “we will make you happy” yang terbukti ampuh dalam menghipnotis pasangan di kota ini. Lantas kenapa disebut Diman? Jelas bagiku ini konspirasi untuk menjatuhkan merk dagang kantorku yang unik ini karna harusnya dibaca “Di- Men”.
Kenapa bisa aku bilang unik? Kantor ini membebaskan karyawannya dalam berpakaian, tidak ada aturan yang mengharuskan berpakaian seperti layaknya pegawai negri yang kaku dan sangat pucat dari segi pemilihan warna bahan safari yang dikenakan, so old school. Dan ditambah lagi semua yang ada di kantor ini adalah lelaki yang uniknya lagi dengan usia yang bervariasi ada yang paling tua berusia 58 tahun dan yang paling muda 25 tahun dan itu adalah aku sendiri. Ya rasanya memang seperti berada di asrama lelaki, hal itulah yang kadang membuatku merasa bersyukur atas keberadaan bokep di dunia ini, setidaknya "benda itu" sampai saat ini dapat membuatku tidak menjadi homo.
“Elf, gimana tadi? Asik?”, ucap seorang pria pendek paruh baya yang sudah mulai beruban yang berpapasan denganku saat akan meaniki lift.
“Awalnya aku dipeluk.”, kataku.
“Terus gimana?”, balas pria tersebut dengan semangat.
“Aku dicakar terus ga dikasi uang tip, sial.”, gerutuku.
Tawa nyaring keluar dari mulutnya, yang hanya dapat kubalas dengan menajamkan alis mataku tanda sedikit tertanggu dengan apa yang dia lakukan.
“Ya sudah aku pergi dulu mau nganterin paket.”, ucapnya masih dengan menahan tawa karna ceritaku tadi, tawa ringkih pria tua yang sebenarnya cukup tajam bagai jarum yang siap menembus gendang telingaku.
“Semoga aja nanti kejadian juga sama kamu.”, balasku diiringi dengan senyum lebar.
“Liat aja, taruhan 20 sen!”
Aku tersenyum mendengar jawaban dari Zes. Ya begitulah pria pendek paruh baya tadi di ku panggil, bukan hanya aku tapi juga seluruh orang di kantor ini memanggilnya begitu, Zes yang berarti enam dalam bahasa Belanda. Sedangkan aku sendiri adalah Elf, semua orang di sini memanggilku dengan sebutan seperti itu. Sebuah kata dengan makna ganda bisa berarti peri, mobil travel ataupun apalah itu. Tapi yang pasti aku sangat menikmati dipanggil Elf, karna kedengarannya keren aja dan rasanya seperti pemeran utama di film Power Ranger.
Dengan segera aku menuju lantai dua untuk membuat laporan pertanggungjawaban tugasku tadi. Aku dan sembilan belas orang lainnya yang bekerja di sini memang dituntut untuk cepat dalam memberikan laporan kerja sebagai delivery man karna Ein, supervisor, kami sangat tegas dalam meminta laporan pertanggung jawaban. Tapi bukan hanya karna itu saja aku dengan pergerakan secepat kilat langsung mengerjakan laporan. Laporan itu cuma pekerjaan awal, pekerjaan sebenarnya baru akan dimulai, ya mungkin satu atau dua jam lagi.
“Ein, ini laporanku.”, dalam sepuluh menit saja aku menyelesaikan laporanku yang langsung kuberikan kepada Ein di ruangannya yang beras di pojok kanan ruangan.
“Samuel L. Jackson!”, selalu itu yanga ada di kepalaku tiap kali bertatap muka dengan Ein, bentuk muka, mimiknya, bahkan mungkin usianya sama persis dengan bintang Pulp Fiction yang ngetop dengan kegemaran membaca ayat bible.
Bersambung...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar