Wikipedia

Hasil penelusuran

Selasa, 14 Mei 2013

Obrolan Serius Dengan Jeni




Minggu lalu, mungkin lebih tepatnya lima hari yang lalu, Jeni sahabatku tiba tiba saja menghubungiku ketika baru saja aku melihat album foto teman lama semasa kuliah yang kusimpan dalam laptop. Jeni, aku bingung bagaimana cara mendeskripsikan dirinya, yang pasti dia adalah seorang wanita mandiri, cantik dan supel maka tak heran semasa kuliah banyak pria yang mendekatinya. Dan kini Jeni sudah menjadi seorang desainer terkenal yang rancangannya baru saja tampil di Paris. Berbeda dengan Jeni, aku masih berkutat dengan pekerjaanku sebagai seorang dosen universitas swasta yang nyambi sebagai penulis novel misteri yang tak terkenal sama sekali. Aku merasa beruntung Jeni mau bersahabat dengan pria berantakan tak jelas sepertiku, hah, tapi bukan itu yang ingin aku ceritakan. Aku ingin menceritakan obrolanku dengan Jeni yang sampai sekarang masih lekat di kepalaku.

Sudah sebulan lebih aku dan Jeni tak berkirim kabar karna kesibukan masing masing sehingga obrolan kami di telfon awalnya sedikit canggung. Lima menit pembicaraan awal berlangsung hangat, karna hanya kami lewatkan dengan menanyakan kabar dan sedikit candaan yang membuat suasana obrolan kami makin bersahabat. Di sela obrolan mendadak Jeni menanyakan sesuatu yang tak biasa, keadaan yang tadinya hangat dengan sedikit bercanda menjadi mulai serius.

“Kira kira Nobita kalo udah gede masih butuh doraemon ga ya?”, ujar Jeni dengan nada suara yang rendah.

“Ngga lah, kan udah gede masa mau jadi bocah lagi hahahaa”, aku terbahak bahak mendengar pertanyaan Jeni.

“Eh, gue serius. Gimana menurut lo dia masih butuh doraemon ga?”

“Kayanya ngga deh, kalo udah gede Nobita nya pasti bisa ngapa ngapain sendiri lah..”

“Jadi menurut lo, makin nambah umur, dia ga mau bergantung sama doraemon lagi?”, lanjut Jeni.

“Ya mungkin gitu sih Jen.. Emm kaya gini mungkin... mungkin kaya lo pertama kali dugem hahaha!”, aku tertawa terbahak bahak mengingat dugem pertama Jeni yang penuh dengan kekacauan.

“Udah deh.. Skip lah masalah kaya gitu huuu”, gerutu Jeni dengan nada yang terdengar bete.

Aku berusaha menghentikan tawaku untuk melanjutkan obrolan yang aku sendiri tak tau maksud arah dan tujuannya. Jeni hanya dapat menghela napas mendengar olokanku ini, lalu tanpa memperdulikanku yang masih menahan tawa dia melanjutkan pembicaraannya.

“Lo udah nonton The Dark Knight Rises belom?”

Pertanyaan Jeni membuatku terdiam, aku merasa terhina ditanya pertanyaan seperti ini oleh sahabatku, tak mungkin dia tak mengetahui jawabannya. Sebagai seorang fanboy Batman kelas berat, aku rela bolos ngajar demi menonton Premier akhir trilogi Batman ini.

“Lo mau bales gue, Jen?”

“Hahahaaa! Ngga ngga.. gue cuma nanya basa basi doang sih.. Jutek amat sih mas”, kali ini Jeni yang balas menertawaiku.

“Gini, ada yang mau gue tanya soal film itu.”, lanjut Jeni yang seketika membuat otak kiriku segera berubah menjadi Wikipedia yang siap menjawab seluruh pertanyaan tentang Batman.

“Itu si Joseph Gordon Levitt akhirnya jadi Robin ya?”

“Pertanyaan macam apa sih Jen itu, persis banget kaya pertanyaan anak TK yang nanyain balik jam berapa. Iya Jen, kan di jelasin di endingnya”, jawabku ketus.

“Masih aja ya si mas doyan marah marah hahahaa! Cuma bercanda guee, peace..”

Jeni menghela nafas sejenak lalu kembali melanjutkan pertanyaannya. Kali ini dengan nada suara lugas yang menunjukan keseriusan.

“Yang mau gue tanyain, kenapa ya kok Batman baru butuh Robin pas dia udah lemah?”

“Kan dia udah mulai tua, wajar kan kalo dia butuh partner yang bisa bantuin dia buat nyelesain tugasnya. Jadi Batman itu berat loh.”, ujarku menjawab pertanyaan jeni.

 “Jadi intinya makin nambah umur, orang orang pada butuh partner apa ngga sih?”, Jeni menambahkan pertanyaan yang makin membuatku bingung.

“Sumpah Jen, gue bingung sama pertanyaan lo. Emang ada apa sih?”

“Gini yaa.. Kemungkinan Nobita ga butuh doraemon lagi kalo doi udah gede tapi Batman makin butuh Robin karna dia udah makin tua. Bingung kan lo?!”

Rada bingung sih Jen, tapi kayanya kontennya sedikit beda deh kalo kata gue..”, aku menjawab pertanyaan Jeni dengan hati hati, aku sadar sepertinya Jeni sedang ada masalah yang membuatnya bingung. Saat ini dia tak butuh saran apapun dariku, yang dia butuhkan saat ini hanya teman bicara. Ya teman untuk mendengarkan keluh kesahnya.

Suara Jeni makin terdengar samar dari ujung telfon, hingga akhirnya kami harus mengakhiri obrolan karna besok pagi Jeni ada janji temu dengan seorang model. Jarang aku mendengar Jeni bicara serius seperti ini, menurutku sepertinya Jeni sedang ada masalah percintaan yang sangat rumit atau mungkin dia sedang ada masalah dengan pekerjaannya.

Walaupun aku tak tau masalah apa yang sedang Jeni hadapi saat ini, tapi sebuah kesimpulan dapat aku tarik dari obrolan tersebut.

Kita pasti bosan bila mengerjakan sesuatu yang sama secara terus menerus walaupun itu adalah sesuatu yang kita sukai, mungkin inilah yang ada dalam benak Batman yang membuatnya memutuskan mencari partner yang bisa saling bekerjasama satu sama lain. Dan di sisi lain, kita juga pasti akan bosan jika bertemu dengan orang ataupun lingkungan yang itu itu saja sepanjang waktu, mungkin inilah yang ada dalam benak Nobita dewasa hingga memutuskan meninggalkan partnernya, Doraemon.

Mungkin jika telah dewasa Nobita tak membutuhkan Doraemon lagi. Berbeda halnya dengan Batman yang makin bertambah usia dan pengalaman hidup, makin dia butuh seorang partner, ya partner dalam hal apapun.

Siap ataupun tak siap kita harus dapat menerima dikeadaan mana yang sedang kita alami sekarang. Keadaan Nobita ataukan keadaan Batman. Lingkungan dan orang orang baru dengan sifat dan karakter berbeda pasti akan muncul kapan saja seiring berjalannya waktu, ada yang membawa energi positif ada juga yang negatif. Sekarang hanya bagaimana cara survive, yang dapat membuat kita menjadi dewasa dalam menyikapi sebuah perubahan masa.

Dari obrolan singkatku dan Jeni, aku juga belajar suatu hal. Jeni yang selama ini kukenal sebagai seorang wanita yang kuat ternyata juga memiliki kelemahan dengan masalah yang menurutnya sulit ditemui jalan keluarnya. Memang bagi sebagian orang jalan keluar dari sebuah masalah akan terlihat samar, tapi sebenarnya jalan keluar itu dapat terlihat jelas jika menggunakan lensa kacamata yang tepat. Yang paling penting hanya kedewasaan tiap orang dalam menghadapi masalah besar dalam hidupnya. Positifnya jika boleh aku bicara pada Jeni, aku cuma ingin bilang, “Jen, ini jadi pendewasaan baru buat hidup lo”.

1 komentar: