Minggu lalu, mungkin lebih tepatnya lima
hari yang lalu, Jeni sahabatku tiba tiba saja menghubungiku ketika baru saja
aku melihat album foto teman lama semasa kuliah yang kusimpan dalam laptop.
Jeni, aku bingung bagaimana cara mendeskripsikan dirinya, yang pasti dia adalah
seorang wanita mandiri, cantik dan supel maka tak heran semasa kuliah banyak
pria yang mendekatinya. Dan kini Jeni sudah menjadi seorang desainer terkenal
yang rancangannya baru saja tampil di Paris. Berbeda dengan Jeni, aku masih
berkutat dengan pekerjaanku sebagai seorang dosen universitas swasta yang
nyambi sebagai penulis novel misteri yang tak terkenal sama sekali. Aku merasa
beruntung Jeni mau bersahabat dengan pria berantakan tak jelas sepertiku, hah,
tapi bukan itu yang ingin aku ceritakan. Aku ingin menceritakan obrolanku
dengan Jeni yang sampai sekarang masih lekat di kepalaku.
Sudah sebulan lebih aku dan Jeni tak
berkirim kabar karna kesibukan masing masing sehingga obrolan kami di telfon
awalnya sedikit canggung. Lima menit pembicaraan awal berlangsung hangat, karna
hanya kami lewatkan dengan menanyakan kabar dan sedikit candaan yang membuat
suasana obrolan kami makin bersahabat. Di sela obrolan mendadak Jeni menanyakan
sesuatu yang tak biasa, keadaan yang tadinya hangat dengan sedikit bercanda
menjadi mulai serius.
“Kira
kira Nobita kalo udah gede masih butuh doraemon ga ya?”,
ujar Jeni dengan nada suara yang rendah.
“Ngga
lah, kan udah gede masa mau jadi bocah lagi hahahaa”, aku terbahak bahak mendengar pertanyaan
Jeni.
“Eh,
gue serius. Gimana menurut lo dia masih butuh doraemon ga?”
“Kayanya
ngga deh, kalo udah gede Nobita nya
pasti bisa ngapa ngapain sendiri lah..”
“Jadi
menurut lo, makin nambah umur, dia ga
mau bergantung sama doraemon lagi?”,
lanjut Jeni.
“Ya
mungkin gitu sih Jen.. Emm kaya gini mungkin... mungkin kaya lo pertama kali
dugem hahaha!”, aku
tertawa terbahak bahak mengingat dugem pertama Jeni yang penuh dengan
kekacauan.
“Udah
deh.. Skip lah masalah kaya gitu huuu”,
gerutu Jeni dengan nada yang terdengar bete.
Aku berusaha menghentikan tawaku untuk
melanjutkan obrolan yang aku sendiri tak tau maksud arah dan tujuannya. Jeni
hanya dapat menghela napas mendengar olokanku ini, lalu tanpa memperdulikanku
yang masih menahan tawa dia melanjutkan pembicaraannya.
“Lo
udah nonton The Dark Knight Rises belom?”
Pertanyaan Jeni membuatku terdiam, aku
merasa terhina ditanya pertanyaan seperti ini oleh sahabatku, tak mungkin dia
tak mengetahui jawabannya. Sebagai seorang fanboy Batman kelas berat, aku rela
bolos ngajar demi menonton Premier akhir trilogi Batman ini.
“Lo
mau bales gue, Jen?”
“Hahahaaa!
Ngga ngga.. gue cuma nanya basa basi doang sih.. Jutek amat sih mas”, kali ini Jeni yang balas menertawaiku.
“Gini,
ada yang mau gue tanya soal film itu.”, lanjut Jeni yang seketika membuat otak kiriku segera berubah menjadi Wikipedia
yang siap menjawab seluruh pertanyaan tentang Batman.
“Itu
si Joseph Gordon Levitt akhirnya jadi Robin ya?”
“Pertanyaan
macam apa sih Jen itu, persis banget kaya pertanyaan anak TK yang nanyain balik
jam berapa. Iya Jen, kan di jelasin di endingnya”, jawabku ketus.
“Masih
aja ya si mas doyan marah marah hahahaa! Cuma bercanda guee, peace..”
Jeni menghela nafas sejenak lalu kembali
melanjutkan pertanyaannya. Kali ini dengan nada suara lugas yang menunjukan
keseriusan.
“Yang
mau gue tanyain, kenapa ya kok Batman baru butuh Robin pas dia udah lemah?”
“Kan
dia udah mulai tua, wajar kan kalo dia butuh partner yang bisa bantuin dia buat
nyelesain tugasnya. Jadi Batman itu berat loh.”, ujarku menjawab pertanyaan jeni.
“Jadi intinya makin nambah umur, orang orang pada
butuh partner apa ngga sih?”,
Jeni menambahkan pertanyaan yang makin membuatku bingung.
“Sumpah
Jen, gue bingung sama pertanyaan lo. Emang ada apa sih?”
“Gini
yaa.. Kemungkinan Nobita ga butuh doraemon lagi kalo doi udah gede tapi Batman
makin butuh Robin karna dia udah makin tua. Bingung kan lo?!”
“Rada
bingung sih Jen, tapi kayanya kontennya sedikit beda deh kalo kata gue..”,
aku menjawab pertanyaan Jeni dengan hati hati, aku sadar sepertinya Jeni sedang
ada masalah yang membuatnya bingung. Saat ini dia tak butuh saran apapun
dariku, yang dia butuhkan saat ini hanya teman bicara. Ya teman untuk
mendengarkan keluh kesahnya.
Suara Jeni makin terdengar samar dari
ujung telfon, hingga akhirnya kami harus mengakhiri obrolan karna besok pagi
Jeni ada janji temu dengan seorang model. Jarang aku mendengar Jeni bicara serius
seperti ini, menurutku sepertinya Jeni sedang ada masalah percintaan yang
sangat rumit atau mungkin dia sedang ada masalah dengan pekerjaannya.
Walaupun aku tak tau masalah apa yang
sedang Jeni hadapi saat ini, tapi sebuah kesimpulan dapat aku tarik dari
obrolan tersebut.
Kita pasti bosan bila mengerjakan sesuatu
yang sama secara terus menerus walaupun itu adalah sesuatu yang kita sukai,
mungkin inilah yang ada dalam benak Batman yang membuatnya memutuskan mencari
partner yang bisa saling bekerjasama satu sama lain. Dan di sisi lain, kita juga
pasti akan bosan jika bertemu dengan orang ataupun lingkungan yang itu itu saja
sepanjang waktu, mungkin inilah yang ada dalam benak Nobita dewasa hingga
memutuskan meninggalkan partnernya, Doraemon.
Mungkin jika telah dewasa Nobita tak membutuhkan
Doraemon lagi. Berbeda halnya dengan Batman yang makin bertambah usia dan pengalaman
hidup, makin dia butuh seorang partner, ya partner dalam hal apapun.
Siap ataupun tak siap kita harus dapat
menerima dikeadaan mana yang sedang kita alami sekarang. Keadaan Nobita ataukan
keadaan Batman. Lingkungan dan orang orang baru dengan sifat dan karakter
berbeda pasti akan muncul kapan saja seiring berjalannya waktu, ada yang
membawa energi positif ada juga yang negatif. Sekarang hanya bagaimana cara survive, yang dapat membuat kita menjadi
dewasa dalam menyikapi sebuah perubahan masa.
Dari obrolan singkatku dan Jeni, aku juga
belajar suatu hal. Jeni yang selama ini kukenal sebagai seorang wanita yang
kuat ternyata juga memiliki kelemahan dengan masalah yang menurutnya sulit
ditemui jalan keluarnya. Memang bagi sebagian orang jalan keluar dari sebuah
masalah akan terlihat samar, tapi sebenarnya jalan keluar itu dapat terlihat
jelas jika menggunakan lensa kacamata yang tepat. Yang paling penting hanya
kedewasaan tiap orang dalam menghadapi masalah besar dalam hidupnya. Positifnya jika boleh
aku bicara pada Jeni, aku cuma ingin bilang, “Jen, ini jadi pendewasaan baru buat hidup lo”.
Saya suka tulisan ini
BalasHapus