Suasana
di gedung sanggar tari Jaipong benar benar sangat berantakan. Alat tari, kursi
dan meja semua tergelatak tak beraturan. Semua murid tari baik pria maupun
wanita memperlihatkan wajah ketakutan mereka, tak ada cerah bahagia hanya ada
rasa takut. Hari ini bukan hari yang menyenangkan bagi semua orang yang berada
di dalam gedung sanggar tari ini. Semangat yang ada ketika latihan tadi
seketika hilang saat dua orang membawa senjata tiba tiba masuk kedalam sanggar
dan langsung mengancam para murid tari. Sepertinya kedua orang itu sedang
dikejar oleh sesorang yang berbahaya.
Lima menit setelah itu dua orang
dengan jaket kulit tebal masuk kedalam sanggar dengan terburu buru. Salah satu
dari mereka yang bernama Henry memegang sebuah pistol dengan wajah yang sangat
masam. Seluruh wajahnya menjadi berwarna merah menahan amarah yang sudah
diambang puncak membuat usia 32 tahunnya terlihat sangat jelas. Berbanding
terbalik dengan temannya yang sangat ketakutan, keringat dingin mengucur dari
kepalanya. Sangat terlihat jika dia sangat tak siap untuk menghadapi hal yang
sangat tidak diinginkan.
Henry terdiam dia terlihat sangat
bingung dengan apa yang terjadi. Wajahnya tadi yang menunjukan amarah seketika
hilang begitu saja berganti dengan wajah yang penuh dengan tanda tanya mengapa
saat ini ia berada di hadapan tujuh orang murid sanggar tari yang sangat
ketakutan ketika melihat wajahnya.
“Dimana
ini?”, ucap Henry dengan nada heran. Dia lalu mengambil sebuah catatan kecil
yang ia simpan di kantong belakang celan jeansnya. Dengan sangat terburu buru
dia membuka lembar per lembar catatan sampai akhirnya menemukan sebuah kata
dihalaman pertama.
“Kevin,
dia sangat penting.”
Ketika membaca kata dari tulisan
tersebut, Henry segera menyadari bahwa dia datang kemari untuk suatu hal yang
termat penting.
“Kevin! Dimana yang namanya Kevin!”,
dengan kencang teriakan Henry seakan memecah kesunyian yang ada dalam ruangan
sanggar ini.
“I... Itu sa... saya Hen”, rekan
Henry yang ketakutan menjawab pertanyaan tadi. Rekan Henry ini adalah Kevin.
Dia adalah seorang penjahat kecil yang biasanya mencuri dari para gelandangan
dan pengemis. Henry dan Kevin baru bertemu sekitar 1 bulan yang lalu di kota
Bandung ini.
Henry merupakan orang yang sangat
rumit. Dia menderita penyakit anterograde
amnesia, sebuah penyakit amnesia mengacu pada ketidakmampuan sesorang untuk
menciptakan kenangan baru karena kerusakan otak. Telah tiga bulan lamanya Henry
seperti hidup di dunia mimpi, dia tidak dapat mengingat hal yang baru saja dia
alami. Kenangan baru hanya mampir 10 menit dalam otaknya lalu kenangan itu
segera hilang tanpa jejak, itu lah sebabnya Henry sangat tergantung pada note
kecilnya untuk dia membantu mengingat secara instan.
Penyakit yang diderita Henry ini tak
datang begitu saja. Sebelumnya dia adalah seorang pengacara flamboyan ibukota
yang berasal Palembang. Dia sangat disegani karna berhasil memasukan gembong
mafia kedalam jeruji besi. Hingga pada pada suatu malam ketika dia datang rumah
pacarnya dalam keadaan mabuk, dia mendapati bahwa kekasihnya Lisa telah dalam
kondisi yang tak bernyawa. Ditengah kepanikan dan rasa mabuk yang benar benar
membuat kepalanya pusing, tanpa disadari dia menerima pukulan keras dari
belakang kepalanya yang seketika membuatnya pingsan. Sejak saat itulah kematian
Lisa menjadi kenangan akhir yang hinggap permanen di dalam otaknya, sebuah
kenangan buruk yang membuatnya ingin membalas dendam pada sebuah ketidaktahuan.
Dan sekarang hanya sebuah catatan kecil yang menjadi fakta baginya, sebuah
benda penting hingga pada bagian cover pun tertulis “jangan serahkan pada siapapun”.
“Henry kau kemari karna mengejar
pembunuh pacarmu..”, dengan sedikit ketakutan Kevin berbicara. Seketika amarah
kembali muncul dalam benak Henry.
“Oke.. Oke! Apa kau tau siapa
penjahatnya?!”, ucap Henry dengan mengacungkan pistolnya ke kepala Kevin.
Seketika semua orang di dalam sanggar menjadi sangat ketakutan karna bisa saja
pikiran liar Henry makin memperkeruh keadaan.
“Aku tak tahu Hen, tadi kau kemari
dengan sangat terburu buru dan aku hanya mengikutimu dari belakang.”
“Catatanku!!”, geram Henry dan
langsung mencari catatannya dengan sangat terburu buru. Disaat tengah sibuk
mencari catatannya, Henry menyadari bahwa salah seorang penari mencoba untuk
melarikan diri dari kelompok.
Doooor! Henry melepaskan tembakan
kearah atas yang sontak saja membuat seluruh orang dalam gedung ini kaget bukan
kepalang.
“Mau kemana kau?”, ucap Henry seraya
mendekat kearah anggota sanggar yang mencoba kebur tadi.
“A... Aku takut.. Jangan bunuh...”,
ucap penari yang ternyata seorang wanita ini dengan berurai air mata. Namun air
mata tersebut tak berguna di hadapan Henry yang sudah begitu emosi. Dengan
perlahan Henry menarik pistol dan mengarahkannya kearah wanita tersebut.
“Henry.. Jangan bodoh!”, teriak
Kevin melihat Henry yang kehilangan akal sehatnya.
“Apa pedulimu?!”
Henry yang tadinya sudah akan
menarik pelatuknya kearah wanita tersebut tiba tiba menurunkan senjatanya. Dia
terkejut dengan apa yang dia lakukan, dia mundur perlahan kemudian mengambil
catatannya yang ada di saku belakang. Dia membuka lembar catatannya secara
perlahan hingga menemukan tulisan, “Kevin,
dia sangat penting”.
“Hei kau Kevin?”, Henry bertanya
dengan volume suara tinggi dan langsung disambut anggukan kepala oleh Kevin.
“Singkat saja! Kenapa aku di
sini?!”, Henry kembali mengarahkan pistolnya kepada Kevin.
“O... Oke Henry. Kau kemari untuk
mencari pembunuh pacarmu. Dan baru saja kau akan menembak seorang wanita, dia
bukan pembunuhnya. Yang kau cari dua orang lelaki komplotan Medan. Kau harus
tenang Man”, dengan tenang Kevin berbicara untuk mencairkan suasana dan
meredakan amarah Henry.
“Semuanya berbaris sekarang”, dengan
tenang Henry menyuruh semua murid tari untuk berbaris di hadapannya.
“Enam orang wanita dan empat orang
lelaki, kalau begitu pelakunya ada diantara kalian berempat.”, ujar Henry
diiringi tatapan mata menujukan kebencian dia bergeak lalu menatapi keempat
pria tersebut bergantian.
Tiba tiba Henry berhenti pada pria
botak yang terlihat berusia sekitar 30 tahun yang berdiri pada sisi kiri. Dia
menyadari suatu hal bahwa tak ada pria yang menari Jaipong, apalagi para pria
dewasa yang menggunakan kaos oblong putih, celana hitam pendek sedengkul serta
riasan wajah menor seperti ini.
“Kau siapa?”, Henry bicara seraya
mengangkat pistolnya kepada pria tersebut.
“Ja... Jangan bang... Aku OB di si..
sini..”, dengan logat sunda yang medok dan muka yang terus mengeluarkan
keringat dingin pria tersebut berbicara dengan terbata bata. Namun terlihat
dari wajah Henry dia sangat tidak mempercayai apa yang dikatakan oleh pria itu.
“Kenapa berpakaian seperti ini?”
“Aku di an.. ancam bang...”, Henry
menatap tajam kepada pria berambut botak tersebut kemudian dia beranjak pergi,
yang disambut dengan helaan nafas panjang oleh pria botak itu. Tapi belum
sempat pria tersebut lepas dari ketegangan tiba tiba Henry kembali lagi
kepadanya.
“DOOOORRR!!!”, suara tembakan
bergema diseluruh ruangan yang disambut dengan suara histeris para penari
wanita yang seraya menutup mata. Darah dan serpihan otak mengucur keluar karna
tembakan yang tepat diarahkan ke dahi. Kevin dengan sigap langsung menarik
tubuh Henry yang memerah karna terkena percikan darah.
“Hei apa yang kau lakukan? Siapa
kau?”, ujar Henry melihat Kevin menarik tubuhnya.
“Siapa aku?! Ayolah Henry! Kau baru
saja membunuh orang yang salah! Aku ini Kevin, penyakitmu ini sangat
merepotkan!”
“Siapa pembunuh pacarku?!”, dengan
penuh amarah Henry berteriak kepada Kevin.
“Dua orang komplotan Medan!”, Kevin
membalas pertanyaan Henry, kemudian dia dengan cepat menggotong mayat yang baru
saja ditembak mati oleh Henry. Suasana di dalam gedung benar benar menjadi
sangat mencekam.
“Oke, kita lupakan itu. Aku tidak
sengaja menembaknya. Dan kalian para wanita, berhenti berteriak dan menangis
kalau tak ingin seperti itu”, ujar Henry dengan ekpresi datar.
Henry mendekat kearah pria yang
berdiri disebelah pria botak tadi. Pria muda berambut gondrong ini hanya
merunduk sambil menutup matanya, dia benar benar sangat ketakutan. Perlahan
Henry mulai mendekat kepada pria itu dan perlahan pula lah pria tersebut mulai
meneteskan air mata.
“Bu.. Bukan aku bang...”, belum sepat Henry berbicara pria tersebut
langsung merunduk berlutut untuk meminta ampunan kepada Henry yang membuatnya
sedikit terkejut.
Henry sedikit tersentak karna
perbuatan pria ini tapi sudah tak ada lagi belas kasihan dalam matanya. Keadaan
ini membuat Henry menjadi sedikit canggung dan bingung, namun lama kelamaan dia
mulai menyadari keanehan. Seorang penari Jaipong pria saja sudah menunjukan
gejala tak beres, ini ditambah lagi dengan logat Sumatra yang khas. Seorang
penari Jaipong dengan logat Sumatra yang terdengar jelas. Benar benar sangat
aneh. Naluri alamiah Henry langsung bekerja dan otak Henry segera memerintahkan
tangannya untuk kembali mengacungkan pistol kearah pria tersebut.
“Dimana teman kau yang satu lagi?”,
Henry berbicara dengan volume pelan sepelan jari telunjuknya menarik pelatuk
pistol.
Pria
tersebut hanya diam tak menjawab pertanyaannya walaupun sebenarnya dia memang
tak menginginkan jawaban dari pria tersebut. Henry sadar bahwa orang Medan
adalah orang yang setia kawan, mereka pasti tak akan membiarkan temannya
kesusahan dalam keadaan sesulit apapun.
“Kalau
tak mau bilang, jangan salahkan aku.”, semua penari wanita serentak kembali
menutup mata karna tak ingin melihat kejadian mengerikan seperti tadi. Kevin
pun kali ini tak terlihat seperti ingin melakukan pencegahan, karna dia pun
yakin bahwa orang ini sadalah salah satu dari komplotan tersebut.
Henry
masih menunggu salah satu teman pria ini untuk keluar, tapi jika tak juga
menunjukan batang hidungnya dia pun tak ragu untuk menghabisi orang yang sedang
memohon ampun padanya ini. Lagipula jika pria ini mati hanya tinggal dua orang
lagi yang menjadi tersangka, bukan menjadi hal yang sulit untuknya.
“Belum
juga mau bilang?”, pelatuk mulai ditarik Henry secara perlahan. Tiba tiba pria
yang berdiri di barisan paling kanan segera berjalan maju kedepan.
“Itu
aku.. Itu aku!!, pria yang terlihat berusia 40 tahun, berambut ikal dan
bertubuh kurus ini berbicara logat Sumatra dan dengan sedikit kehati hatian
kepada Henry.
“Oh,
keluar juga kau!”, teriak Henry seraya menarik tubuh komplotan yang tadi
bersujud memohon ampun padanya. Dengan kencang Henry mencengkram pria tersebut
lalu mencungkan pistol kearah kepala. Lalu dengan tenang Henry menggerakan
kepalanya memberikan kode kepada penari yang disandera untuk segera kabur
meninggalkan gedung ini. Dan dalam sekejap semua orang berlari meninggalkan
ruangan hingga yang tersisa hanya Henry, Kevin, dua orang penjahat dan satu
mayat di ruangan tersebut.
“Tenang
Henry, aku Tom... Bukan kami pembunuhnya.. Kamu hanya disuruh..”, ujar penjahat
bernama Tom ini.
“Apa
maksudmu?”
“Kami
hanya pembunuh bayaran.. yang menyuruh kami.. Sandman.”
“Sandman?”,
seketika pikiran diotak Henry segera mengakses nama tersebut. Nama yang tak
asing baginya, sebuah nama yang menunjukan pemimpin mafia yang dulu sempat akan
dia masukan kedalam penjara. Seorang bos mafia yang mempunyai banyak anak buah
di seluruh negri. Dan seorang bos mafia yang penuh misteri karna tak ada
seorang pun yang pernah melihat wajahnya. Keberadaan Sandman seperti urban legend, tak ada seorang pun pernah
melihatnya namun kejahatannya nyata senyata gajah yang berdiri diantara semut.
Dia seperti peri yang membuat orang tertidur, tertidur lalu mendapatkan mimpi
yang buruk.
“Jelaskan
padaku?!! Singkat saja!”, Henry mulai merasakan bahwa ingatan ini akan segera
hilang dari kepalanya. Tak ada yang lain dipikarannya selain kata “cepat”.
“Sandman
menelfon kami, la.. lalu menyuruh kami..”, dengan penuh ketakutan Tom berbicara
kepada Henry meskipun dia tau ini tak akan berdampak apa pun.
“Arrrgggh!”
Doooorr!!”, Henry mengerang lalu tanpa sadar dia menarik pelatuk hingga
menewaskan salah satu komplotan tersebut. Dia terkejut lalu menjatuhkan mayat
yang dipegangnya.
Melihat
hal ini Tom memanfaatkan keadaan untuk berlari keluar gedung. Henry terlihat
masih bingung dengan apa yang baru saja terjadi. Dia melihat Tom berlari dengan
sangat ketakutan. Intuisi Henry bekerja karna merespon Tom yang tiba tiba
berlari. Dia dengan cepat menarik pelatuknya yang tepat mengenai dada Tom dari
arah belakang. Tom roboh dan seketika kehilangan nyawa dengan banyak darah yang mengucur keluar.
Hanya
kebingungan yang terlihat dari wajah Henry, dia langsung menoleh kearah Kevin
yang tercengang dan masih terduduk memegangi mayat. Dia masih tak mengerti
dengan apa yang baru saja terjadi, namun dia mengetahui bahwa baru saja terjadi
hal yang besar. Suatu hal yang dia cari selama ini. Henry dapat merasakannya
walaupun dia tak dapat mengingatnya.
***
Dibawah
terang bulan purnama Henry dan Kevin berjalan beriringan. Mereka berjalan tanpa
arah dan tujuan dibawah pepohonan rindang, sebuah tempat sunyi yang menjadi
saksi bisu kekacauan yang baru saja terjadi.
“Apa
aku berdosa?”, Henry bertanya kepada Kevin yang hanya dibalas dengan gelengan
kepala yang bermakna ambigu. Suasana sangat hening, hingga suara perut Henry
yang keroncongan terdengar sangat jelas.
“Apa
penyakitmu separah itu?”, tanya Kevin.
“Ya...
Yang kuingat hanya kematian Lisa..”, perasaan sedih masih menyelimuti Henry
setiap mengingat Lisa.
“Berarti
kau tidak ingat bagaimana kita bertemu?”, ucap Kevin.
Henry
menggelengkan kepala dengan tetap fokus berjalan dan dia baru saja lupa bahwa
tadinya dia benar benar sangat lapar. Dia segera membuka buku catatannya untuk
mengetahui apa yang akan dia lakukan saat ini.
“Oiya,
kau Kevin?”, sebuah pertanyaan yang sangat sering diajukan oleh Henry setelah
melihat buku catatannya.
“Ya.
Ehm.. bisa kulihat buku catatanmu?”, Henry menyerahkan buku catatannya kepada
Kevin setelah membaca tulisan “dendam
terbalas” di bagian akhir note nya.
“Kau
lihat ini Henry”, ujar Kevin sambil menunjuk tulisan “Kevin, dia sangat penting” yang dibalas dengan ekspresi bingung
oleh Henry.
“Tulisan
ini sangat berbeda dengan tulisanmu yang lain, apa kau tak menyadarinya?”,
Kevin berkata yang dibalas Henry dengan langsung menarik catatannya dan segera
memeriksanya, akhirnya dia menyadari bahwa tulisan tersebut memang sangat
berbeda dari tulisan tangannya.
“Kau
pasti lupa, kita pernah bertemu lima hari setelah kematian Lisa.”, ujar Kevin
diiringi senyum lebar yang tergambar dari wajah tirusnya.
“Apa
maksudmu?”
“Tidak,
aku hanya ingin beri tahu bahwa aku yang memberimu catatan itu dan aku yang
menulis kata kata itu di halaman pertama.”
Henry
sangat bingung dengan apa yang diucapkan oleh Kevin. Dia mencoba mencerna kata
kata tersebut namun gagal karna dia sama sekali tak mampu mengingat kejadian
tersebut.
“Bermain
denganmu sangat menyenangkan tapi sekarang sudah tak ada serunya lagi. Aku mau
cari permainan baru, komplotan tadi komplotan keempat yang kau bunuh dan
sekarang aku merasa bosan.”
Henry
menelaah perkataan Kevin hingga tanpa disadari dia telah berjalan lima langkah
meninggalkan Kevin dibelakang. Keringat keluar dari sela sela kepala Henry, dia
memaksa otaknya untuk mengakses maksud dari yang Kevin ucapkan saat ini.
“Apa
sebenarnya maksudmu?”, Henry berhenti berjalan kemudian bertanya dengan penuh
kebingungan.
“Aku
jelaskan, sebenarnya kita sudah bersama setahun. Dan dalam waktu selama itu, tadi
adalah komplotan keempat yang kau bunuh dengan alasan yang sama. Dan itu adalah
buku catatan keempat yang aku beri padamu. Penjahat seperti itu demi uang bisa
melakukan apa saja termasuk mengakui kejahatan yang bukan dia lakukan.. Hahahaa!”,
tawa kemengan keluar dari mulut Kevin.
“Kau tahu Sandman? Dia yang memukul kepalamu
dan dia yang membunuh... Lisa!”, Kevin kembali berkata kali ini dengan nada
sedikit mengejek.
Henry
terdiam, dia segera menyadari sesuatu. Dia mulai mengerti apa yang Kevin
ucapkan dan dia menyadari bahwa selama ini telah dipermainkan. Dia menjadi
sangat marah dan langsung menerkam Kevin dengan sangat buas.
“Kau
Sandman?!”, teriak Henry dengan penuh amarah. Kemudian ia langsung menoleh
kebelakang setelah mendengar ucapan tersebut, sebuah ucapan yang sebenarnya
sangat tidak ingin dia dengar. Namun betapa terkejutnya dia karna melihat Kevin
dengan senyum lebarnya sudah siap dengan pistol yang mengarah kearah kepalanya.
“Ya
benar kau benar Henry dan terima kasih atas permainannya.”
Keadaan
Henry benar benar sangat terdesak, dia tau saat ini dia yang harus dia lakukan
hanya lari tapi tiba tiba dia mulai melupakan apa yang harus dia lakukan.
Sekarang yang ada hanya rasa kaget melihat senjata yang diacungkan kepadanya,
dia tak tau harus berbuat apa, kedua kakinya seperti kaku tak dapat digerakan.
DOOORR!!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar