Wikipedia

Hasil penelusuran

Rabu, 27 Februari 2013

Who Should I Shoot?




Suasana di gedung sanggar tari Jaipong benar benar sangat berantakan. Alat tari, kursi dan meja semua tergelatak tak beraturan. Semua murid tari baik pria maupun wanita memperlihatkan wajah ketakutan mereka, tak ada cerah bahagia hanya ada rasa takut. Hari ini bukan hari yang menyenangkan bagi semua orang yang berada di dalam gedung sanggar tari ini. Semangat yang ada ketika latihan tadi seketika hilang saat dua orang membawa senjata tiba tiba masuk kedalam sanggar dan langsung mengancam para murid tari. Sepertinya kedua orang itu sedang dikejar oleh sesorang yang berbahaya.
            Lima menit setelah itu dua orang dengan jaket kulit tebal masuk kedalam sanggar dengan terburu buru. Salah satu dari mereka yang bernama Henry memegang sebuah pistol dengan wajah yang sangat masam. Seluruh wajahnya menjadi berwarna merah menahan amarah yang sudah diambang puncak membuat usia 32 tahunnya terlihat sangat jelas. Berbanding terbalik dengan temannya yang sangat ketakutan, keringat dingin mengucur dari kepalanya. Sangat terlihat jika dia sangat tak siap untuk menghadapi hal yang sangat tidak diinginkan.
            Henry terdiam dia terlihat sangat bingung dengan apa yang terjadi. Wajahnya tadi yang menunjukan amarah seketika hilang begitu saja berganti dengan wajah yang penuh dengan tanda tanya mengapa saat ini ia berada di hadapan tujuh orang murid sanggar tari yang sangat ketakutan ketika melihat wajahnya.
            Dimana ini?”, ucap Henry dengan nada heran. Dia lalu mengambil sebuah catatan kecil yang ia simpan di kantong belakang celan jeansnya. Dengan sangat terburu buru dia membuka lembar per lembar catatan sampai akhirnya menemukan sebuah kata dihalaman pertama.
            “Kevin, dia sangat penting.”
            Ketika membaca kata dari tulisan tersebut, Henry segera menyadari bahwa dia datang kemari untuk suatu hal yang termat penting.
            “Kevin! Dimana yang namanya Kevin!”, dengan kencang teriakan Henry seakan memecah kesunyian yang ada dalam ruangan sanggar ini.
            “I... Itu sa... saya Hen”, rekan Henry yang ketakutan menjawab pertanyaan tadi. Rekan Henry ini adalah Kevin. Dia adalah seorang penjahat kecil yang biasanya mencuri dari para gelandangan dan pengemis. Henry dan Kevin baru bertemu sekitar 1 bulan yang lalu di kota Bandung ini.
            Henry merupakan orang yang sangat rumit. Dia menderita penyakit anterograde amnesia, sebuah penyakit amnesia mengacu pada ketidakmampuan sesorang untuk menciptakan kenangan baru karena kerusakan otak. Telah tiga bulan lamanya Henry seperti hidup di dunia mimpi, dia tidak dapat mengingat hal yang baru saja dia alami. Kenangan baru hanya mampir 10 menit dalam otaknya lalu kenangan itu segera hilang tanpa jejak, itu lah sebabnya Henry sangat tergantung pada note kecilnya untuk dia membantu mengingat secara instan.
            Penyakit yang diderita Henry ini tak datang begitu saja. Sebelumnya dia adalah seorang pengacara flamboyan ibukota yang berasal Palembang. Dia sangat disegani karna berhasil memasukan gembong mafia kedalam jeruji besi. Hingga pada pada suatu malam ketika dia datang rumah pacarnya dalam keadaan mabuk, dia mendapati bahwa kekasihnya Lisa telah dalam kondisi yang tak bernyawa. Ditengah kepanikan dan rasa mabuk yang benar benar membuat kepalanya pusing, tanpa disadari dia menerima pukulan keras dari belakang kepalanya yang seketika membuatnya pingsan. Sejak saat itulah kematian Lisa menjadi kenangan akhir yang hinggap permanen di dalam otaknya, sebuah kenangan buruk yang membuatnya ingin membalas dendam pada sebuah ketidaktahuan. Dan sekarang hanya sebuah catatan kecil yang menjadi fakta baginya, sebuah benda penting hingga pada bagian cover pun tertulis “jangan serahkan pada siapapun”.
            “Henry kau kemari karna mengejar pembunuh pacarmu..”, dengan sedikit ketakutan Kevin berbicara. Seketika amarah kembali muncul dalam benak Henry.
            “Oke.. Oke! Apa kau tau siapa penjahatnya?!”, ucap Henry dengan mengacungkan pistolnya ke kepala Kevin. Seketika semua orang di dalam sanggar menjadi sangat ketakutan karna bisa saja pikiran liar Henry makin memperkeruh keadaan.
            “Aku tak tahu Hen, tadi kau kemari dengan sangat terburu buru dan aku hanya mengikutimu dari belakang.”
            “Catatanku!!”, geram Henry dan langsung mencari catatannya dengan sangat terburu buru. Disaat tengah sibuk mencari catatannya, Henry menyadari bahwa salah seorang penari mencoba untuk melarikan diri dari kelompok.
            Doooor! Henry melepaskan tembakan kearah atas yang sontak saja membuat seluruh orang dalam gedung ini kaget bukan kepalang.
            “Mau kemana kau?”, ucap Henry seraya mendekat kearah anggota sanggar yang mencoba kebur tadi.
            “A... Aku takut.. Jangan bunuh...”, ucap penari yang ternyata seorang wanita ini dengan berurai air mata. Namun air mata tersebut tak berguna di hadapan Henry yang sudah begitu emosi. Dengan perlahan Henry menarik pistol dan mengarahkannya kearah wanita tersebut.
            “Henry.. Jangan bodoh!”, teriak Kevin melihat Henry yang kehilangan akal sehatnya.
            “Apa pedulimu?!”
            Henry yang tadinya sudah akan menarik pelatuknya kearah wanita tersebut tiba tiba menurunkan senjatanya. Dia terkejut dengan apa yang dia lakukan, dia mundur perlahan kemudian mengambil catatannya yang ada di saku belakang. Dia membuka lembar catatannya secara perlahan hingga menemukan tulisan, “Kevin, dia sangat penting”.
            “Hei kau Kevin?”, Henry bertanya dengan volume suara tinggi dan langsung disambut anggukan kepala oleh Kevin.
            “Singkat saja! Kenapa aku di sini?!”, Henry kembali mengarahkan pistolnya kepada Kevin.
            “O... Oke Henry. Kau kemari untuk mencari pembunuh pacarmu. Dan baru saja kau akan menembak seorang wanita, dia bukan pembunuhnya. Yang kau cari dua orang lelaki komplotan Medan. Kau harus tenang Man”, dengan tenang Kevin berbicara untuk mencairkan suasana dan meredakan amarah Henry.
            “Semuanya berbaris sekarang”, dengan tenang Henry menyuruh semua murid tari untuk berbaris di hadapannya.
            “Enam orang wanita dan empat orang lelaki, kalau begitu pelakunya ada diantara kalian berempat.”, ujar Henry diiringi tatapan mata menujukan kebencian dia bergeak lalu menatapi keempat pria tersebut bergantian.
            Tiba tiba Henry berhenti pada pria botak yang terlihat berusia sekitar 30 tahun yang berdiri pada sisi kiri. Dia menyadari suatu hal bahwa tak ada pria yang menari Jaipong, apalagi para pria dewasa yang menggunakan kaos oblong putih, celana hitam pendek sedengkul serta riasan wajah menor seperti ini.
            “Kau siapa?”, Henry bicara seraya mengangkat pistolnya kepada pria tersebut.
            “Ja... Jangan bang... Aku OB di si.. sini..”, dengan logat sunda yang medok dan muka yang terus mengeluarkan keringat dingin pria tersebut berbicara dengan terbata bata. Namun terlihat dari wajah Henry dia sangat tidak mempercayai apa yang dikatakan oleh pria itu.
            “Kenapa berpakaian seperti ini?”
            “Aku di an.. ancam bang...”, Henry menatap tajam kepada pria berambut botak tersebut kemudian dia beranjak pergi, yang disambut dengan helaan nafas panjang oleh pria botak itu. Tapi belum sempat pria tersebut lepas dari ketegangan tiba tiba Henry kembali lagi kepadanya.
            “DOOOORRR!!!”, suara tembakan bergema diseluruh ruangan yang disambut dengan suara histeris para penari wanita yang seraya menutup mata. Darah dan serpihan otak mengucur keluar karna tembakan yang tepat diarahkan ke dahi. Kevin dengan sigap langsung menarik tubuh Henry yang memerah karna terkena percikan darah.
            “Hei apa yang kau lakukan? Siapa kau?”, ujar Henry melihat Kevin menarik tubuhnya.  
            “Siapa aku?! Ayolah Henry! Kau baru saja membunuh orang yang salah! Aku ini Kevin, penyakitmu ini sangat merepotkan!”
            “Siapa pembunuh pacarku?!”, dengan penuh amarah Henry berteriak kepada Kevin.
            “Dua orang komplotan Medan!”, Kevin membalas pertanyaan Henry, kemudian dia dengan cepat menggotong mayat yang baru saja ditembak mati oleh Henry. Suasana di dalam gedung benar benar menjadi sangat mencekam.
            “Oke, kita lupakan itu. Aku tidak sengaja menembaknya. Dan kalian para wanita, berhenti berteriak dan menangis kalau tak ingin seperti itu”, ujar Henry dengan ekpresi datar.
            Henry mendekat kearah pria yang berdiri disebelah pria botak tadi. Pria muda berambut gondrong ini hanya merunduk sambil menutup matanya, dia benar benar sangat ketakutan. Perlahan Henry mulai mendekat kepada pria itu dan perlahan pula lah pria tersebut mulai meneteskan air mata.
            “Bu.. Bukan aku bang...”,  belum sepat Henry berbicara pria tersebut langsung merunduk berlutut untuk meminta ampunan kepada Henry yang membuatnya sedikit terkejut.
            Henry sedikit tersentak karna perbuatan pria ini tapi sudah tak ada lagi belas kasihan dalam matanya. Keadaan ini membuat Henry menjadi sedikit canggung dan bingung, namun lama kelamaan dia mulai menyadari keanehan. Seorang penari Jaipong pria saja sudah menunjukan gejala tak beres, ini ditambah lagi dengan logat Sumatra yang khas. Seorang penari Jaipong dengan logat Sumatra yang terdengar jelas. Benar benar sangat aneh. Naluri alamiah Henry langsung bekerja dan otak Henry segera memerintahkan tangannya untuk kembali mengacungkan pistol kearah pria tersebut.
            “Dimana teman kau yang satu lagi?”, Henry berbicara dengan volume pelan sepelan jari telunjuknya menarik pelatuk pistol.
Pria tersebut hanya diam tak menjawab pertanyaannya walaupun sebenarnya dia memang tak menginginkan jawaban dari pria tersebut. Henry sadar bahwa orang Medan adalah orang yang setia kawan, mereka pasti tak akan membiarkan temannya kesusahan dalam keadaan sesulit apapun.
“Kalau tak mau bilang, jangan salahkan aku.”, semua penari wanita serentak kembali menutup mata karna tak ingin melihat kejadian mengerikan seperti tadi. Kevin pun kali ini tak terlihat seperti ingin melakukan pencegahan, karna dia pun yakin bahwa orang ini sadalah salah satu dari komplotan tersebut.
Henry masih menunggu salah satu teman pria ini untuk keluar, tapi jika tak juga menunjukan batang hidungnya dia pun tak ragu untuk menghabisi orang yang sedang memohon ampun padanya ini. Lagipula jika pria ini mati hanya tinggal dua orang lagi yang menjadi tersangka, bukan menjadi hal yang sulit untuknya.
“Belum juga mau bilang?”, pelatuk mulai ditarik Henry secara perlahan. Tiba tiba pria yang berdiri di barisan paling kanan segera berjalan maju kedepan.
“Itu aku.. Itu aku!!, pria yang terlihat berusia 40 tahun, berambut ikal dan bertubuh kurus ini berbicara logat Sumatra dan dengan sedikit kehati hatian kepada Henry.
“Oh, keluar juga kau!”, teriak Henry seraya menarik tubuh komplotan yang tadi bersujud memohon ampun padanya. Dengan kencang Henry mencengkram pria tersebut lalu mencungkan pistol kearah kepala. Lalu dengan tenang Henry menggerakan kepalanya memberikan kode kepada penari yang disandera untuk segera kabur meninggalkan gedung ini. Dan dalam sekejap semua orang berlari meninggalkan ruangan hingga yang tersisa hanya Henry, Kevin, dua orang penjahat dan satu mayat di ruangan tersebut.
“Tenang Henry, aku Tom... Bukan kami pembunuhnya.. Kamu hanya disuruh..”, ujar penjahat bernama Tom ini.
“Apa maksudmu?”
“Kami hanya pembunuh bayaran.. yang menyuruh kami.. Sandman.”
“Sandman?”, seketika pikiran diotak Henry segera mengakses nama tersebut. Nama yang tak asing baginya, sebuah nama yang menunjukan pemimpin mafia yang dulu sempat akan dia masukan kedalam penjara. Seorang bos mafia yang mempunyai banyak anak buah di seluruh negri. Dan seorang bos mafia yang penuh misteri karna tak ada seorang pun yang pernah melihat wajahnya. Keberadaan Sandman seperti urban legend, tak ada seorang pun pernah melihatnya namun kejahatannya nyata senyata gajah yang berdiri diantara semut. Dia seperti peri yang membuat orang tertidur, tertidur lalu mendapatkan mimpi yang buruk.
“Jelaskan padaku?!! Singkat saja!”, Henry mulai merasakan bahwa ingatan ini akan segera hilang dari kepalanya. Tak ada yang lain dipikarannya selain kata “cepat”.
“Sandman menelfon kami, la.. lalu menyuruh kami..”, dengan penuh ketakutan Tom berbicara kepada Henry meskipun dia tau ini tak akan berdampak apa pun.
“Arrrgggh!” Doooorr!!”, Henry mengerang lalu tanpa sadar dia menarik pelatuk hingga menewaskan salah satu komplotan tersebut. Dia terkejut lalu menjatuhkan mayat yang dipegangnya.
Melihat hal ini Tom memanfaatkan keadaan untuk berlari keluar gedung. Henry terlihat masih bingung dengan apa yang baru saja terjadi. Dia melihat Tom berlari dengan sangat ketakutan. Intuisi Henry bekerja karna merespon Tom yang tiba tiba berlari. Dia dengan cepat menarik pelatuknya yang tepat mengenai dada Tom dari arah belakang. Tom roboh dan seketika kehilangan nyawa  dengan banyak darah yang mengucur keluar.
Hanya kebingungan yang terlihat dari wajah Henry, dia langsung menoleh kearah Kevin yang tercengang dan masih terduduk memegangi mayat. Dia masih tak mengerti dengan apa yang baru saja terjadi, namun dia mengetahui bahwa baru saja terjadi hal yang besar. Suatu hal yang dia cari selama ini. Henry dapat merasakannya walaupun dia tak dapat mengingatnya.
***
Dibawah terang bulan purnama Henry dan Kevin berjalan beriringan. Mereka berjalan tanpa arah dan tujuan dibawah pepohonan rindang, sebuah tempat sunyi yang menjadi saksi bisu kekacauan yang baru saja terjadi.
“Apa aku berdosa?”, Henry bertanya kepada Kevin yang hanya dibalas dengan gelengan kepala yang bermakna ambigu. Suasana sangat hening, hingga suara perut Henry yang keroncongan terdengar sangat jelas.
“Apa penyakitmu separah itu?”, tanya Kevin.
“Ya... Yang kuingat hanya kematian Lisa..”, perasaan sedih masih menyelimuti Henry setiap mengingat Lisa.
“Berarti kau tidak ingat bagaimana kita bertemu?”, ucap Kevin.
Henry menggelengkan kepala dengan tetap fokus berjalan dan dia baru saja lupa bahwa tadinya dia benar benar sangat lapar. Dia segera membuka buku catatannya untuk mengetahui apa yang akan dia lakukan saat ini.
“Oiya, kau Kevin?”, sebuah pertanyaan yang sangat sering diajukan oleh Henry setelah melihat buku catatannya.
“Ya. Ehm.. bisa kulihat buku catatanmu?”, Henry menyerahkan buku catatannya kepada Kevin setelah membaca tulisan “dendam terbalas” di bagian akhir note nya.
“Kau lihat ini Henry”, ujar Kevin sambil menunjuk tulisan “Kevin, dia sangat penting” yang dibalas dengan ekspresi bingung oleh Henry.
“Tulisan ini sangat berbeda dengan tulisanmu yang lain, apa kau tak menyadarinya?”, Kevin berkata yang dibalas Henry dengan langsung menarik catatannya dan segera memeriksanya, akhirnya dia menyadari bahwa tulisan tersebut memang sangat berbeda dari tulisan tangannya.
“Kau pasti lupa, kita pernah bertemu lima hari setelah kematian Lisa.”, ujar Kevin diiringi senyum lebar yang tergambar dari wajah tirusnya.
“Apa maksudmu?”
“Tidak, aku hanya ingin beri tahu bahwa aku yang memberimu catatan itu dan aku yang menulis kata kata itu di halaman pertama.”
Henry sangat bingung dengan apa yang diucapkan oleh Kevin. Dia mencoba mencerna kata kata tersebut namun gagal karna dia sama sekali tak mampu mengingat kejadian tersebut.
“Bermain denganmu sangat menyenangkan tapi sekarang sudah tak ada serunya lagi. Aku mau cari permainan baru, komplotan tadi komplotan keempat yang kau bunuh dan sekarang aku merasa bosan.”
Henry menelaah perkataan Kevin hingga tanpa disadari dia telah berjalan lima langkah meninggalkan Kevin dibelakang. Keringat keluar dari sela sela kepala Henry, dia memaksa otaknya untuk mengakses maksud dari yang Kevin ucapkan saat ini.
“Apa sebenarnya maksudmu?”, Henry berhenti berjalan kemudian bertanya dengan penuh kebingungan.
“Aku jelaskan, sebenarnya kita sudah bersama setahun. Dan dalam waktu selama itu, tadi adalah komplotan keempat yang kau bunuh dengan alasan yang sama. Dan itu adalah buku catatan keempat yang aku beri padamu. Penjahat seperti itu demi uang bisa melakukan apa saja termasuk mengakui kejahatan yang bukan dia lakukan.. Hahahaa!”, tawa kemengan keluar dari mulut Kevin.
 “Kau tahu Sandman? Dia yang memukul kepalamu dan dia yang membunuh... Lisa!”, Kevin kembali berkata kali ini dengan nada sedikit mengejek.
Henry terdiam, dia segera menyadari sesuatu. Dia mulai mengerti apa yang Kevin ucapkan dan dia menyadari bahwa selama ini telah dipermainkan. Dia menjadi sangat marah dan langsung menerkam Kevin dengan sangat buas.
“Kau Sandman?!”, teriak Henry dengan penuh amarah. Kemudian ia langsung menoleh kebelakang setelah mendengar ucapan tersebut, sebuah ucapan yang sebenarnya sangat tidak ingin dia dengar. Namun betapa terkejutnya dia karna melihat Kevin dengan senyum lebarnya sudah siap dengan pistol yang mengarah kearah kepalanya.
“Ya benar kau benar Henry dan terima kasih atas permainannya.”
Keadaan Henry benar benar sangat terdesak, dia tau saat ini dia yang harus dia lakukan hanya lari tapi tiba tiba dia mulai melupakan apa yang harus dia lakukan. Sekarang yang ada hanya rasa kaget melihat senjata yang diacungkan kepadanya, dia tak tau harus berbuat apa, kedua kakinya seperti kaku tak dapat digerakan. DOOORR!!

            

Tidak ada komentar:

Posting Komentar