Akhirnya setelah
delapan tahun lamanya, aku bertemu mantan kekasihku, Embun. Aku dan
Embun akan janjian untuk nonton film Woody Allen yang berjudul Annie Hall di bioskop
kota. Memang itu film lama, tapi pasti membuatnya terkesan karena dia sangat
menyukai Woody Allen. Dan alasan lain kenapa aku mengajaknya untuk nonton Annie
Hall, karena dulu saat kami putus, aku sangat galau sampai bertanya tanya apa
alasan dia meminta putus. Aku tau betul, bagaimana perasaan Alvy Singer yang
ditinggal Annie Hall dan seperti apa hancurnya Tom saat ditinggal Summer di 500
Days of Summer. Tapi itu sudah delapan tahun yang lalu, apalagi yang harus aku
khawatirkan sekarang?
Aku bertemu lagi
dengan Embun setelah delapan tahun, adalah Kamis lalu di Pepper’s Club, sebuah
bar terkenal di kota. Saat itu, aku sedang sibuk mengejar deadline novel yang
akan segera terbit. Ditemani segelas vodka martini, mungkin aku di bar sudah hampir
lima jam dengan hanya mengetik dan menatap layar laptop. Lalu tiba tiba saja,
tercium parfum bau apel yang aku kenal. Benar saja, ada seseorang duduk
disampingku lalu memanggil namaku. Saat aku menoleh ternyata itu adalah Embun. Seketika
konsentrasiku buyar karena otakku memerintahkan hati dan tubuhku untuk mengajaknya
ngobrol. Lalu, aku sempat teringat kalau dulu aku pernah menulis beberapa
cerpen yang terinspirasi darinya. Dan cerpen yang paling berkesan berjudul, Dua
Bulan di Langit, yang aku buat setelah kami berdua putus.
Meskipun
pikiranku campur aduk ketika ngobrol dengan Embun. Pada akhirnya, aku dan dia
malah membuat janji untuk nonton film Annie Hall, seminggu kemudian. Aku benar
benar tidak tau apa yang sebenarnya aku pikirkan saat itu.
***
Hari janjian pun
tiba. Selama menunggu kedatangan Embun di bioskop, aku mungkin sudah hampir lima
kali bolak balik toilet hanya untuk memeriksa apakah rambutku masih terlihat
rapih, apakah kacamataku terlihat sempurna atau apakah kemeja ku terlihat
matching dengan sepatu yang kupakai. Bukan hanya itu, sejak dari perjalanan pun,
aku juga sudah merangkai kata dan menyiapkan bahan obrolan yang akan
kubicarakan dengan Embun nanti. Seperti, “memang ya, Diane Keaton bagus banget
meranin Annie Hall” atau “masih inget gak, Pak Dirman guru fisika kita dulu?”
atau jokes receh, “Papa kamu jualan Bakmie ya?”. Tapi seberapa sering aku mencoba
merangkai kata dan bolak balik toilet, selama itu pula logika ku mencoba
meyakinkan diri kalau hari ini bukanlah kencan. Dalam hati aku mensugesti diri
sendiri dengan berkata, “ini bukan kencan” dan sudah tidak terhitung berapa
kali aku mengucapkan kata kata itu.
Pukul lima sore,
akhirnya Embun datang di bioskop. Walaupun dia telat sepuluh menit dari janjian
tapi itu seolah termaafkan dengan penampilannya yang menurutku cantik. Rambut
hitamnya dikuncir kuda, dipadukan dengan kemeja putih dan blue jeans belel,
bagiku sangat terlihat cantik. Menurutku, Embun sama sekali tidak berubah sejak
terakhir kami bertemu delapan tahun lalu, dia masih suka telat saat janjian, dia
masih terlihat cantik saat rambutnya dikuncir dan anggun saat mengenakan kemeja
putih. Dan melihatnya sekarang, aku jadi ingat seperti apa perasaan saat
pertama kali jatuh cinta kepadanya. Kalau diibaratkan, rasanya seperti seperti
lem super yang baunya menyengat tapi bisa menempelkan benda sekeras logam.
“Maaf aku telat,
tadi ada kerjaan bentar,” Ujar Embun sambil melepas kacamatanya.
“Gapapa, aku
ngerti kalo kamu sibuk.”
“Aku gak sesibuk
itu kok, gimana kita jadi nonton?”
“Annie Hall?”
Tanyaku pada Embun karena sebenarnya film tersebut sudah mulai sejak sepuluh
menit yang lalu.
“Iya, udah telat
ya?”
Aku hanya
mengangguk menjawab pertanyaan Embun. Embun kemudian meminta maaf, ia terlihat
merasa bersalah karena telat datang. Walaupun sedikit kecewa, aku mencoba
terlihat cool dengan mengatakan, “Yaudah, gapapa kita ngobrol aja lagian filmnya
kan udah pernah di tonton”. Padahal di dalam hati berkata, “Ahelaaa, udah
siapin obrolan soal Annie Hall tapi malah gak jadi”. Akhirnya aku mengajak
Embun untuk ngobrol di kafe bioskop sambil memesan dua gelas lemon tea. Ini
salah satu yang membuatku heran dengan jalan pikir seorang pria.
“Gimana novel
kamu?” Embun membuka pembicaraan.
“Masih proses
nih, doain aja lancar. Kamu sendiri gimana kerjaan?”
“Hmm… kalau
kerjaan aku sih masak spaghetti.
“spaghetti? Kamu
punya restoran?”
“Hahahaa… ngga
punya tapi udah jadi hobi aja”.
“Oh, kamu sekarang
hobi masak?” Tanyaku sedikit penasaran, karena dulu dia tidak bisa masak bahkan
hanya untuk mencoba saja terlalu malas.
“Iya, tapi aku cuma
masak spaghetti aja ngga masakan lain.
“Kenapa?”
Tanyaku heran.
“Sebenarnya aku
suka proses saat makan spaghettinya dimana pasta, bumbu dan saus bercampur jadi
suatu makanan yang spesial,” kata Embun.
“Ohhh, Kira kira
sama seperti hidup ya? Ada senang, sedih, pertemuan dan perpisahan. Yang
semuanya harus dilalui, karna itulah rasanya hidup.” Jawabku menambahkan jawaban
Embun dengan sok filosofis. Karena jujur entah kenapa aku selalu merasa keren
kalau sedang berfilosofis.
Tapi Embun
menanggapinya dengan dingin, dia sedikit menggerakan bibirnya keatas agar
terlihat seperti tersenyum padahal ia tidak mau melakukannya. Aku pun langsung
berpikir untuk mencairkan suasana.
“Kamu masih suka nonton film Woody Allen?”
Tanyaku pada Embun.
“Masih, tapi
udah jarang, terakhir aku nonton Midnight in Paris sekitar lima bulan yang
lalu. Cukup bagus sih tapi ngga begitu berkesan selain kecantikan Marion
Cotillard di film itu. Kalo kamu sendiri gimana? Sudah punya pacar belum?”
“Hah, pacar?
Dari bahas Woody Allen ke pacar?”
“Iya pacar,
emang kenapa? Jangan jangan kamu udah punya istri?” Tanya Embun sambil tertawa
lepas.
“Belum, belum…
aku masih single,” jawabku sambil tersenyum. “Terlalu banyak kerjaan buat
kepikiran pacar. Kalo kamu gimana? Udah punya suami?”
Mata Embun
terlihat berkaca kaca setelah mendengar pertanyaan dariku. Dia sedikit berpikir
sebelum menjawab pertanyaan dariku.
“Aku? Aku sudah
punya suami.”
Jujur aku terkejut
mendengar jawaban dari Embun, aku tidak menyangka ternyata dia sudah punya
suami tapi dia masih mau menerima ajakanku untuk nonton.
“Serius? Suami
kamu ngga marah kamu ketemu denganku?” Tanyaku memastikan.
“Kayaknya ngga,
soalnya aku udah mau cerai.”
“Kenapa?”
“Mungkin sama
kayak spaghetti yang kata kamu tadi. Mungkin ini, salah satu bumbu pahit yang
harus aku makan.”
Kami berdua lalu
terdiam. Dari matanya Embun terlihat kalau dia sedang masuk ke lubuk hatinya, aku
bisa merasakan sebuah kesedihan yang mendalam. Aku juga tidak bisa membalas
ucapannya karna keadaan seolah pecah menjadi keheningan yang sangat sunyi.
“Kamu
ingat cerpen “Dua Bulan di Langit”, yang dulu pernah kamu tulis waktu kita
masih pacaran?” Tanya Embun.
Aku
terdiam, aku mencoba untuk berpura pura mengingat cerpen, “Dua Bulan di Langit”
yang pernah aku tulis. Aku hanya ingin kalau Embun melihat kalau aku tidak
terlalu peduli dengan cerpen yang sudah aku tulis delapan tahun lalu itu. Aku
tidak ingin dia tau kalau aku masih suka mengingatnya.
“Yang
mana ya?” Aku pura pura tidak tau.
“Ada sepasang kekasih yang sangat mencintai satu sama
lain tapi takdir memisahkan mereka berdua. Tapi mereka yakin, kalau langit memiliki
dua bulan yang selalu memandikan dunia dengan cara yang aneh setiap malam. Dua
bulan, yang hanya dimiliki oleh masing masing dari mereka. Dua bulan agar
mereka bisa melepas rindu walaupun tak bisa bersatu.” Jawab Embun menjelaskan premis
cerpen dengan sangat detail.
“Iya,
aku ingat pernah menulis tentang itu. Kenapa dengan cerpen itu?” Tanyaku yang
sudah tidak bisa mengelak lagi.
“Ternyata
ngga bisa bareng sama orang yang kita cinta itu sakit ya?”
“Makanya,
kalo di dunia ini ada dua bulan mungkin menurutku lebih enak. Karena setiap
pasangan punya “bulan” nya masing masing, mungkin itu bisa lebih adil. Jadi
tidak ada pasangan yang sakit hati karena cuma punya satu “bulan” di langit.”
Seketika air mata Embun mulai bercucuran dari
matanya, yang membuatku mulai merasa bersalah. Aku langsung mengambil tissue
diatas meja, lalu memberikan pada Embun agar ia bisa menyeka air matanya, tapi dia
malah menolak. Dia lebih memilih untuk menghapus air mata dengan kedua tangannya.
“Aku kira dengan
terima ajakan kamu nonton, aku bisa lupain semuanya tapi kayaknya aku salah.”
Ujar Embun sambil memakai kembali kacamatanya.
“Kenapa?”
“Aku pulang
duluan ya, makasih untuk waktunya.” Jawab Embun sambil beranjak pergi dari
tempat duduknya.
Aku hanya bisa
melihat Embun pergi (lagi) meninggalkanku dan aku yakin kali ini tidak akan
kembali lagi. Semakin jauh ia berjalan, semakin aku mengerti bagaimana sulitnya
untuk melupakan orang yang dicinta. Mungkin di dunia ini, cuma Woody Allen yang
bisa melakukannya dengan mudah di setiap film yang ia bintangi.
***
Ketika aku bercermin tentang diriku sendiri pada saat delapan tahun lalu, yang paling aku ingat hanyalah kesepian. Saat itu, aku tidak punya pacar atau teman untuk menghangatkan tubuh dan jiwa. Aku juga tidak pernah tahu apa yang harus dilakukan setiap hari dan paling parah tidak bisa memikirkan masa depan. Aku tenggelam disedot oleh hampa diriku sendiri. Kehidupan ini dulu kulakukan selama hampir lima tahun. Lima tahun yang panjang, sangat panjang. Dan saat itu, aku selalu merasa seolah setiap malam aku sedang memandang dua bulan diatas langit, melihat dua bulan yang bersinar biru terang. Mungkin itu, hampir sama seperti Embun sekarang yang sedang melihat dua bulan di langit tapi tidak dapat berbagi keindahannya dengan siapa pun.
**********
Terinspirasi:
- Schindler's List Theme Song by John Williams & Itzhak Perlman
- Annie Hall by Woody Allen (1977)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar