Wikipedia

Hasil penelusuran

Jumat, 30 Juni 2017

Annie Hall dan Obrolan Sore dengan Embun



Akhirnya setelah delapan tahun lamanya, aku bertemu mantan kekasihku, Embun. Aku dan Embun akan janjian untuk nonton film Woody Allen yang berjudul Annie Hall di bioskop kota. Memang itu film lama, tapi pasti membuatnya terkesan karena dia sangat menyukai Woody Allen. Dan alasan lain kenapa aku mengajaknya untuk nonton Annie Hall, karena dulu saat kami putus, aku sangat galau sampai bertanya tanya apa alasan dia meminta putus. Aku tau betul, bagaimana perasaan Alvy Singer yang ditinggal Annie Hall dan seperti apa hancurnya Tom saat ditinggal Summer di 500 Days of Summer. Tapi itu sudah delapan tahun yang lalu, apalagi yang harus aku khawatirkan sekarang?

Aku bertemu lagi dengan Embun setelah delapan tahun, adalah Kamis lalu di Pepper’s Club, sebuah bar terkenal di kota. Saat itu, aku sedang sibuk mengejar deadline novel yang akan segera terbit. Ditemani segelas vodka martini, mungkin aku di bar sudah hampir lima jam dengan hanya mengetik dan menatap layar laptop. Lalu tiba tiba saja, tercium parfum bau apel yang aku kenal. Benar saja, ada seseorang duduk disampingku lalu memanggil namaku. Saat aku menoleh ternyata itu adalah Embun. Seketika konsentrasiku buyar karena otakku memerintahkan hati dan tubuhku untuk mengajaknya ngobrol. Lalu, aku sempat teringat kalau dulu aku pernah menulis beberapa cerpen yang terinspirasi darinya. Dan cerpen yang paling berkesan berjudul, Dua Bulan di Langit, yang aku buat setelah kami berdua putus.

Meskipun pikiranku campur aduk ketika ngobrol dengan Embun. Pada akhirnya, aku dan dia malah membuat janji untuk nonton film Annie Hall, seminggu kemudian. Aku benar benar tidak tau apa yang sebenarnya aku pikirkan saat itu.

***

Hari janjian pun tiba. Selama menunggu kedatangan Embun di bioskop, aku mungkin sudah hampir lima kali bolak balik toilet hanya untuk memeriksa apakah rambutku masih terlihat rapih, apakah kacamataku terlihat sempurna atau apakah kemeja ku terlihat matching dengan sepatu yang kupakai. Bukan hanya itu, sejak dari perjalanan pun, aku juga sudah merangkai kata dan menyiapkan bahan obrolan yang akan kubicarakan dengan Embun nanti. Seperti, “memang ya, Diane Keaton bagus banget meranin Annie Hall” atau “masih inget gak, Pak Dirman guru fisika kita dulu?” atau jokes receh, “Papa kamu jualan Bakmie ya?”. Tapi seberapa sering aku mencoba merangkai kata dan bolak balik toilet, selama itu pula logika ku mencoba meyakinkan diri kalau hari ini bukanlah kencan. Dalam hati aku mensugesti diri sendiri dengan berkata, “ini bukan kencan” dan sudah tidak terhitung berapa kali aku mengucapkan kata kata itu.  

Pukul lima sore, akhirnya Embun datang di bioskop. Walaupun dia telat sepuluh menit dari janjian tapi itu seolah termaafkan dengan penampilannya yang menurutku cantik. Rambut hitamnya dikuncir kuda, dipadukan dengan kemeja putih dan blue jeans belel, bagiku sangat terlihat cantik. Menurutku, Embun sama sekali tidak berubah sejak terakhir kami bertemu delapan tahun lalu, dia masih suka telat saat janjian, dia masih terlihat cantik saat rambutnya dikuncir dan anggun saat mengenakan kemeja putih. Dan melihatnya sekarang, aku jadi ingat seperti apa perasaan saat pertama kali jatuh cinta kepadanya. Kalau diibaratkan, rasanya seperti seperti lem super yang baunya menyengat tapi bisa menempelkan benda sekeras logam.  

“Maaf aku telat, tadi ada kerjaan bentar,” Ujar Embun sambil melepas kacamatanya.

“Gapapa, aku ngerti kalo kamu sibuk.”

“Aku gak sesibuk itu kok, gimana kita jadi nonton?”

“Annie Hall?” Tanyaku pada Embun karena sebenarnya film tersebut sudah mulai sejak sepuluh menit yang lalu.

“Iya, udah telat ya?”

Aku hanya mengangguk menjawab pertanyaan Embun. Embun kemudian meminta maaf, ia terlihat merasa bersalah karena telat datang. Walaupun sedikit kecewa, aku mencoba terlihat cool dengan mengatakan, “Yaudah, gapapa kita ngobrol aja lagian filmnya kan udah pernah di tonton”. Padahal di dalam hati berkata, “Ahelaaa, udah siapin obrolan soal Annie Hall tapi malah gak jadi”. Akhirnya aku mengajak Embun untuk ngobrol di kafe bioskop sambil memesan dua gelas lemon tea. Ini salah satu yang membuatku heran dengan jalan pikir seorang pria.

“Gimana novel kamu?” Embun membuka pembicaraan.

“Masih proses nih, doain aja lancar. Kamu sendiri gimana kerjaan?”

“Hmm… kalau kerjaan aku sih masak spaghetti.

“spaghetti? Kamu punya restoran?”

“Hahahaa… ngga punya tapi udah jadi hobi aja”.

“Oh, kamu sekarang hobi masak?” Tanyaku sedikit penasaran, karena dulu dia tidak bisa masak bahkan hanya untuk mencoba saja terlalu malas.

“Iya, tapi aku cuma masak spaghetti aja ngga masakan lain.

“Kenapa?” Tanyaku heran.

“Sebenarnya aku suka proses saat makan spaghettinya dimana pasta, bumbu dan saus bercampur jadi suatu makanan yang spesial,” kata Embun.

“Ohhh, Kira kira sama seperti hidup ya? Ada senang, sedih, pertemuan dan perpisahan. Yang semuanya harus dilalui, karna itulah rasanya hidup.” Jawabku menambahkan jawaban Embun dengan sok filosofis. Karena jujur entah kenapa aku selalu merasa keren kalau sedang berfilosofis.

Tapi Embun menanggapinya dengan dingin, dia sedikit menggerakan bibirnya keatas agar terlihat seperti tersenyum padahal ia tidak mau melakukannya. Aku pun langsung berpikir untuk mencairkan suasana.

“Kamu masih suka nonton film Woody Allen?” Tanyaku pada Embun.

“Masih, tapi udah jarang, terakhir aku nonton Midnight in Paris sekitar lima bulan yang lalu. Cukup bagus sih tapi ngga begitu berkesan selain kecantikan Marion Cotillard di film itu. Kalo kamu sendiri gimana? Sudah punya pacar belum?”


“Hah, pacar? Dari bahas Woody Allen ke pacar?”

“Iya pacar, emang kenapa? Jangan jangan kamu udah punya istri?” Tanya Embun sambil tertawa lepas.

“Belum, belum… aku masih single,” jawabku sambil tersenyum. “Terlalu banyak kerjaan buat kepikiran pacar. Kalo kamu gimana? Udah punya suami?”

Mata Embun terlihat berkaca kaca setelah mendengar pertanyaan dariku. Dia sedikit berpikir sebelum menjawab pertanyaan dariku.

“Aku? Aku sudah punya suami.”

Jujur aku terkejut mendengar jawaban dari Embun, aku tidak menyangka ternyata dia sudah punya suami tapi dia masih mau menerima ajakanku untuk nonton.

“Serius? Suami kamu ngga marah kamu ketemu denganku?” Tanyaku memastikan.

“Kayaknya ngga, soalnya aku udah mau cerai.”

“Kenapa?”

“Mungkin sama kayak spaghetti yang kata kamu tadi. Mungkin ini, salah satu bumbu pahit yang harus aku makan.”

Kami berdua lalu terdiam. Dari matanya Embun terlihat kalau dia sedang masuk ke lubuk hatinya, aku bisa merasakan sebuah kesedihan yang mendalam. Aku juga tidak bisa membalas ucapannya karna keadaan seolah pecah menjadi keheningan yang sangat sunyi.
         
        “Kamu ingat cerpen “Dua Bulan di Langit”, yang dulu pernah kamu tulis waktu kita masih pacaran?” Tanya Embun.
           
           Aku terdiam, aku mencoba untuk berpura pura mengingat cerpen, “Dua Bulan di Langit” yang pernah aku tulis. Aku hanya ingin kalau Embun melihat kalau aku tidak terlalu peduli dengan cerpen yang sudah aku tulis delapan tahun lalu itu. Aku tidak ingin dia tau kalau aku masih suka mengingatnya.
           
          “Yang mana ya?” Aku pura pura tidak tau.
                
       “Ada sepasang kekasih yang sangat mencintai satu sama lain tapi takdir memisahkan mereka berdua. Tapi mereka yakin, kalau langit memiliki dua bulan yang selalu memandikan dunia dengan cara yang aneh setiap malam. Dua bulan, yang hanya dimiliki oleh masing masing dari mereka. Dua bulan agar mereka bisa melepas rindu walaupun tak bisa bersatu.” Jawab Embun menjelaskan premis cerpen dengan sangat detail.

        “Iya, aku ingat pernah menulis tentang itu. Kenapa dengan cerpen itu?” Tanyaku yang sudah tidak bisa mengelak lagi.   
                
          “Ternyata ngga bisa bareng sama orang yang kita cinta itu sakit ya?”
                
      “Makanya, kalo di dunia ini ada dua bulan mungkin menurutku lebih enak. Karena setiap pasangan punya “bulan” nya masing masing, mungkin itu bisa lebih adil. Jadi tidak ada pasangan yang sakit hati karena cuma punya satu “bulan” di langit.”

Seketika air mata Embun mulai bercucuran dari matanya, yang membuatku mulai merasa bersalah. Aku langsung mengambil tissue diatas meja, lalu memberikan pada Embun agar ia bisa menyeka air matanya, tapi dia malah menolak. Dia lebih memilih untuk menghapus air mata dengan kedua tangannya.

“Aku kira dengan terima ajakan kamu nonton, aku bisa lupain semuanya tapi kayaknya aku salah.” Ujar Embun sambil memakai kembali kacamatanya.

“Kenapa?”

“Aku pulang duluan ya, makasih untuk waktunya.” Jawab Embun sambil beranjak pergi dari tempat duduknya.

Aku hanya bisa melihat Embun pergi (lagi) meninggalkanku dan aku yakin kali ini tidak akan kembali lagi. Semakin jauh ia berjalan, semakin aku mengerti bagaimana sulitnya untuk melupakan orang yang dicinta. Mungkin di dunia ini, cuma Woody Allen yang bisa melakukannya dengan mudah di setiap film yang ia bintangi.

                                             ***

        Ketika aku bercermin tentang diriku sendiri pada saat delapan tahun lalu, yang paling aku ingat hanyalah kesepian. Saat itu, aku tidak punya pacar atau teman untuk menghangatkan tubuh dan jiwa. Aku juga tidak pernah tahu apa yang harus dilakukan setiap hari dan paling parah tidak bisa memikirkan masa depan. Aku tenggelam disedot oleh hampa diriku sendiri. Kehidupan ini dulu kulakukan selama hampir lima tahun. Lima tahun yang panjang, sangat panjang. Dan saat itu, aku selalu merasa seolah setiap malam aku sedang memandang dua bulan diatas langit, melihat dua bulan yang bersinar biru terang. Mungkin itu, hampir sama seperti Embun sekarang yang sedang melihat dua bulan di langit tapi tidak dapat berbagi keindahannya dengan siapa pun.

                                                **********

Terinspirasi:
  • Schindler's List Theme Song by John Williams & Itzhak Perlman
  • Annie Hall by Woody Allen (1977) 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar