Wikipedia

Hasil penelusuran

Selasa, 02 April 2013

Whisper 2 - Tamat



“Tok.. Tok..”

Dengan pelan aku mengetuk pintu rumah Marta. Keadaan yang sepi dan gelap gulita membuatku takut. Hal yang kutakutkan bukanlah hantu atau dedemit melainkan manusia, bagaimana jika tiba tiba muncul pencuri atau siapalah, bisa habis aku diculik atau mungkin diperkosa oleh para pria bejat. Sama sekali tak ada sautan dari ketukanku, aku berhenti sejenak untuk berpikir sebaiknya apa yang harus kulakukan. Aku melihat kekanan dan kiri untuk memastikan keadaan sekitar, aku merasa seperti ada yang memperhatikanku. Semuanya seperti tertuju kearahku.

“Tok... Tok...”, aku mengetuk pintu untuk kali kedua dan juga sama sekali masih tak ada jawaban muncul dari dalam kediaman Marta. Aku makin penasaran dan makin ingin mencari tau apakah ada orang di dalam rumah atau tidak. Di sebelah kanan pintu ada sebuah jendela berukuran besar, aku perlahan mendekat kearah jendela lalu mencoba mengintip dari jendela berdiri besar itu, namun tak ada apapun ketemui. Sepanjang penglihatan yang aku lihat dari jendela tak ada satupun yang jelas, tak adanya lampu dan gorden yang menjuntai membuat semuanya hitam pekat. Aku memalingkan pandanganku dari jendela kembali ke pintu rumah, mulanya dengan pelan aku mendorong mencoba membuka pintu rumah tapi sia sia. Pintu rumah dikunci, walau kudorong dengan penuh tenaga pun rasanya percuma. Aku terdiam sejenak untuk berpikir apa yang harus kulakukan sekarang tapi yang ada di pikiranku hanyalah menelfon Marta. Namun untuk kali ini entah kenapa aku mempunyai firasat bahwa telfon ini akan memberikan sebuah jawaban.

“Ah.. Anjir”, gumamku dalam hati. Firasatku benar benar sampah. Sudah 5 kali aku mencoba menelfon Marta namun tak ada jawaban darinya, malah di ditelfon terkhir tiba tiba telfonnya mati seperti sengaja untuk di non aktifkan. Entah kenapa aku merasa seperti di permainkan oleh Marta, padahal kenyataannya aku datang kemari atas kesadaranku sendiri. Tapi tetap saja, ini adalah hal yang cukup tai yang pernah kulakukan seumur hidupku. Datang kerumah orang sendirian malam malam, sedangkan si pemilik rumah entah kemana rimbanya, kurang tai apa lagi?? “Pulang. Ya, aku harus pulang sekarang., hanya kata kata ini yang terlintas di kepalaku.

Iya pulang saja...

Ngapain di sini...

Pulang sajaa...

Aku berhenti berjalan. Aku terdiam di tempat. Suara wanita itu muncul lagi, muncul lagi! Kali ini seratus persen aku yakin bahwa sumber suara itu tepat muncul dari belakangku. Suara yang merasuk sampai kedalam tulang dan otakku. Keadaan menjadi merinding, oh, aku tak sanggup membayangkat apa yang ada di belakangku saat ini. Desiran suara asing yang terdengar lirih itu seakan mulai merobek gendang telingaku. Aku mencoba untuk menggerakan tubuhku, namun tenagaku seakan kalah oleh rasa takut yang timbul dari alam bawah sadar. Aku memacu waktu, aku mempercepat jalan pikiranku. Suara itu makin mendekat, mendekat dan mendekat. Aku mulai merasa ada sesuatu yang menempel dan menekan pundakku. Ya Tuhan.. apa itu.....

“Kriiiing... Kriiiiing....”

Dari dalam tas tiba tiba handphone ku berdering dengan cukup keras. Seketika aku tersadar dan mendadak tubuhku dapat digerakan kembali. Suara handphone yang meraung raung makin keras membuatku lupa akan keinginanku untuk memastikan apa yang ada di belakang tadi. Dengan sibuk aku mencari handphone ku untuk mengankat telfon yang berdering ini, seketika kuambil aku kaget bukan kepalang melihat siapa yang menghubungiku. Nama Martha muncul di layar, tanpa berpikir panjang aku langsung mengangkat telfon dengan penuh emosi.

“Halo! Lo dimana?!”, teriaku penuh amarah.
...........

Hening terdengar dari ujung telfon, Marta tak menjawab apa yang kutanyakan. Aku langsung melihat hp ku untuk memastikan apakah telfon tersebut masih terhubung. Dan benar itu masih terhubung. Mendadak aku kembali ketakutan, tubuhku merinding tak karuan.

“Halo Mar? Lo di sana kan?”, aku mulai memelankan tempo suaraku.

“Iya..”, dari ujung telfon suara Marta terdengar halus dan lembut sangat berbeda dari biasanya.

“Lo dimana?”
...........

Kembali hening muncul ke permukaan, suara Marta kembali menghilang. Keringatku mulai bercucuran dari kepala, mataku mulai berkunang kunang. Saat ini aku benar benar sangat takut, takut setakut takutnya.

“Gue balik ya Mar, gue takut...”, ujarku dengan suara pelan.

“Mau kemana? Ayo masuk ke rumah..”, suara Marta tiba tiba muncul kembali, suaranya yang lembut dengan tempo pelan makin membuatku ingin pulang. Aku langsung mematikan telfon tersebut, aku benar benar takut.

Rasa penasaran yang cukup kuat membuatku menoleh kearah rumah, hanya untuk sekedar memastikan apa yang telah terjadi. Namun aku terkejut dengan apa yang kulihat, rumah yang tadinya terkunci rapat kini pintunya telah terbuka lebar walaupun dengan keadaan yang masih gelap gulita. Tanpa diperintah aku berjalan menuju rumah Marta, akupun tak tau kenapa aku yang tadinya ingin pulang malah berjalan menuju dalam rumah Marta. Dengan wajah pucat dan keringat yang bercucuran, aku berjalan dengan cukup cepat menuju kedalam rumah, detik per detik pun bergerak sangat cepat. Aku sangat takut tapi aku tak kuasa menghentikan jejak langkahku yang seperti sedang digerakkan oleh sesuatu. Sesuatu yang sebenarnya aku sendiri tak tau itu apa.

Di depan pintu rumah aku masih disambut dengan keadaan gelap nan mencekam. Hanya bedanya kali ini persentase kengeriannya naik 100%, pintu rumah yang terbuka membuat aku dapat melihat keadaan rumah yang sangat berantakan. Berantakan dan sangat tak teratur, sepertinya ada dua gerobak sampah yang baru saja membuang sampah kesini. Sangat bau dan tidak nyaman.

“Mar.. Mar...”, aku mulai memanggil nama Marta untuk memastikan apakah benar yang dia katakan di telfon tadi. 1 menit berlalu, 2 menit berlalu masih juga belum ada jawaban yang kuterima. Bau sampah ini benar benar membuatku jijik dan membuatku tak dapat menahan diri lagi untuk segera meninggalkan tempat ini, tapi lagi lagi kaki ku yang tak dapat digerakkan hanya membuatku diam tak melakukan sesuatu.

Tiba tiba di dalam kegelapan ini aku melihat sebuah cahaya yang nampaknya sebuah lilin, makin lama makin mendekat. Cahaya itu makin mendekatiku membuatku benar benar panas hingga keringat kembali bercucuran dari ubun ubun kepalau. “Cahaya itu mendekat, cahaya itu mendekat!”, gumamku dalam hati. Perlahan namun pasti aku melihat sebuah wajah, sebuah wajah yang sedang membawa cahaya lilin itu. Wajah yang tak asing bagiku, wajah yang sangat aku kenal. Ya benar itu wajah Andra. Oh Tuhan apa aku berhalusinasi lagi, oh Tuhan jangan lakukan ini padaku sekarang. Aku takut.

Wajah Andra yang menyeringai tajam dengan tatapan kosongnya perlahan mendekat padaku. Namun kali ini wajahnya masih lengkap, tidak hancur seperti bagaimana dia mati. Aku yakin ini halusinasiku lagi, bagaimana mungkin Andra yang aku yakin 100% telah mati, sekarang malah muncul di hadapanku dengan sebuah lilin kecil yang dibawanya. Kini aku dan Andra berdiri saling berhadapan, aku ingin memeluknya, aku merindukannya tapi rasa takut yang amat sangat membuatku menghilangkan niat itu. Wajah Andra pucat pasih tanpa ekspresi dia hanya diam sambil melihat wajahku yang sebenarnya sudah sangat takut.

“JREEEB!”

“Oh Tuhan. Oh Tuhan. Ohhhh Tuhan. Ada apa ini?”. Aku merasalan sakit yang amat sangat di dadaku, aku tak mengerti apa yang terjadi. Tiba tiba ada sebilah pisau dapur menacap kuat di dadaku. Darahku mengucur, aku mulai merasakan pusing. Mataku kabur tak karuan. Tapi aku masih melihat Andra memegang pisau tersebut dan makin menancapkannya di dadaku. Aku tak mengerti kenapa ini terjadi, “SAKIIIIIIT!”, aku ingin berteriak dengan kencang namun mulutku tak dapat digerakkan. Oh Tuhan! Tuhan! Ada apa ini?! Ini sakit. Sakit!! Sakit!! SAKIIIIIT! Ya Tuhan kenapa kau tega?!!!

Pandanganku kearah Andra makin kabur dan semu. Rasa sakitnya sudah mulai hilang. Aku dapat merasakan tubuhku mulai kehilangan kontrol atas diriku. Inikah rasanya mati itu? Aku belum siap untuk mati..

***

“Bagaimana sudah beres?”

“Iya, sudah.”

“Sulit juga manipulasi otak itu.”, ujar Andra seorang wanita berambut pendek kepada Marta yang berdiri di sebelahnya.

S, seorang pasien rumah sakit jiwa yang kabur akhirnya telah kembali lagi ke habitatnya sebagai orang tidak waras. Sudah 2 bulan X kabur setelah membunuh salah satu suster rumah sakit dan mengambil seluruh barangnya termasuk kunci kontrakan dan sebuah handphone. Hingga akhirnya sebuah chip yang memang telah ditanam di kepala setiap pasien membuatnya kembali lagi ke sebuah rumah sakit jiwa yang dikelola secara misterius oleh pemerintah ini. 
Dany Cerebral Boig Hospital atau yang biasa disebut DCB berdiri dipinggir kota, tepat setelah melewati hutan tropis yang terkenal dengan fenomena bunuh diri masal tahun 1989.

DCB dilabeli sangat rahasia oleh pemerintah. Karna dibalik cover nya sebagai rumah sakit jiwa, di sana juga merupakan tempat uji coba sebuah chip buatan nazi sejak perang dunia kedua. Sebuah benda kecil berbentuk sebesar sim card yang gunanya hanya untuk menyiksa musuh secara psikis dengan cara memainkan cara berpikir otak terhadap objek yang akan dilihat subjek. Praktisnya, chip ini dapat membuat kita mengatur apa yang harus dilihat dan dilakukan oleh orang tersebut, dulu biasa disebut Puppe Project oleh para Nazi. Cara penggunaan chip tersebut, dikontrol dari sebuah komputer dengan menggunakan aplikasi khusus. Sebenarnya project ini sudah dilarang pemakaiannya, namun secara rahasia praktek dan uji coba chip ini masih berjalankan di DCB. Ya, dengan pasiennya sebagai kelinci percobaan.

“Tapi dia tak akan mati kan?”, ujar Marta dengan nada suara yang sedikit takut.

“Tidak, dia hanya mati dalam pikirannya tapi badannya masih tetap hidup.”, Andra menjawab dengan tenang, pelan namun pasti.

Marta terdiam sejenak namun dia langsung berinisiatif untuk menggotong tubuh X, lebih tepatnya pasien dengan kode X. Dia bermaksud untuk membawa X kembali kedalam ruangan kamarnya.

“Aku sudah sering membuatnya merasakan mati.. emm.. kalo seingatku ya.. ya mungkin udah 6 kali dia kubuat mati.. hehee..”, tiba tiba Andra melanjutkan perkataannya dengan penuh semangat, wajahnya yang tadinya tenang kini berubah 100%  layaknya seorang anak kecil yang baru saja mendapatkan mainan baru.

Marta tidak membalas perkataan Andra, dia merasa kotor dan hina. Namun dia pun tak punya kuasa untuk melawan. Andra tak terlihat tertarik membantu Marta walaupun hanya untuk sekedar memapah X. Dia lebih tertarik untuk melihat sambil memilih pilih foto foto semua pasien DCB yang teletak diatas meja kerjanya yang diiringi dengan seringaian kecil dari bibirnya.

“Hei Marta!”, kembali Andra memanggil Marta yang sebenarnya sudah tak tertarik dengan pembicaraan ini.

“Chip itu bisa membuat kita menjadi Tuhan, kau harus mencobanya hahaha!”, tawa lantang yang memecah sunyinya suasana membuat suasana ruangan kotor ini menjadi makin kotor dan menjijikan.

TAMAT

Tidak ada komentar:

Posting Komentar