“Tok.. Tok..”
Dengan
pelan aku mengetuk pintu rumah Marta. Keadaan yang sepi dan gelap gulita membuatku
takut. Hal yang kutakutkan bukanlah hantu atau dedemit melainkan manusia,
bagaimana jika tiba tiba muncul pencuri atau siapalah, bisa habis aku diculik
atau mungkin diperkosa oleh para pria bejat. Sama sekali tak ada sautan dari
ketukanku, aku berhenti sejenak untuk berpikir sebaiknya apa yang harus
kulakukan. Aku melihat kekanan dan kiri untuk memastikan keadaan sekitar, aku
merasa seperti ada yang memperhatikanku. Semuanya seperti tertuju kearahku.
“Tok... Tok...”,
aku mengetuk pintu untuk kali kedua dan juga sama sekali masih tak ada jawaban
muncul dari dalam kediaman Marta. Aku makin penasaran dan makin ingin mencari
tau apakah ada orang di dalam rumah atau tidak. Di sebelah kanan pintu ada
sebuah jendela berukuran besar, aku perlahan mendekat kearah jendela lalu mencoba
mengintip dari jendela berdiri besar itu, namun tak ada apapun ketemui.
Sepanjang penglihatan yang aku lihat dari jendela tak ada satupun yang jelas, tak
adanya lampu dan gorden yang menjuntai membuat semuanya hitam pekat. Aku
memalingkan pandanganku dari jendela kembali ke pintu rumah, mulanya dengan
pelan aku mendorong mencoba membuka pintu rumah tapi sia sia. Pintu rumah
dikunci, walau kudorong dengan penuh tenaga pun rasanya percuma. Aku terdiam
sejenak untuk berpikir apa yang harus kulakukan sekarang tapi yang ada di
pikiranku hanyalah menelfon Marta. Namun untuk kali ini entah kenapa aku
mempunyai firasat bahwa telfon ini akan memberikan sebuah jawaban.
“Ah.. Anjir”, gumamku
dalam hati. Firasatku benar benar sampah. Sudah 5 kali aku mencoba menelfon
Marta namun tak ada jawaban darinya, malah di ditelfon terkhir tiba tiba
telfonnya mati seperti sengaja untuk di non aktifkan. Entah kenapa aku merasa
seperti di permainkan oleh Marta, padahal kenyataannya aku datang kemari atas
kesadaranku sendiri. Tapi tetap saja, ini adalah hal yang cukup tai yang pernah
kulakukan seumur hidupku. Datang kerumah orang sendirian malam malam, sedangkan
si pemilik rumah entah kemana rimbanya, kurang tai apa lagi?? “Pulang. Ya, aku harus pulang sekarang.”,
hanya kata kata ini yang terlintas di kepalaku.
Iya pulang saja...
Ngapain di sini...
Pulang sajaa...
Aku
berhenti berjalan. Aku terdiam di tempat. Suara wanita itu muncul lagi, muncul
lagi! Kali ini seratus persen aku yakin bahwa sumber suara itu tepat muncul
dari belakangku. Suara yang merasuk sampai kedalam tulang dan otakku. Keadaan menjadi
merinding, oh, aku tak sanggup membayangkat apa yang ada di belakangku saat
ini. Desiran suara asing yang terdengar lirih itu seakan mulai merobek gendang
telingaku. Aku mencoba untuk menggerakan tubuhku, namun tenagaku seakan kalah
oleh rasa takut yang timbul dari alam bawah sadar. Aku memacu waktu, aku
mempercepat jalan pikiranku. Suara itu makin mendekat, mendekat dan mendekat.
Aku mulai merasa ada sesuatu yang menempel dan menekan pundakku. Ya Tuhan.. apa
itu.....
“Kriiiing...
Kriiiiing....”
Dari
dalam tas tiba tiba handphone ku berdering dengan cukup keras. Seketika aku
tersadar dan mendadak tubuhku dapat digerakan kembali. Suara handphone yang
meraung raung makin keras membuatku lupa akan keinginanku untuk memastikan apa
yang ada di belakang tadi. Dengan sibuk aku mencari handphone ku untuk
mengankat telfon yang berdering ini, seketika kuambil aku kaget bukan kepalang
melihat siapa yang menghubungiku. Nama Martha muncul di layar, tanpa berpikir
panjang aku langsung mengangkat telfon dengan penuh emosi.
“Halo!
Lo dimana?!”, teriaku penuh amarah.
...........
Hening
terdengar dari ujung telfon, Marta tak menjawab apa yang kutanyakan. Aku
langsung melihat hp ku untuk memastikan apakah telfon tersebut masih terhubung.
Dan benar itu masih terhubung. Mendadak aku kembali ketakutan, tubuhku
merinding tak karuan.
“Halo
Mar? Lo di sana kan?”, aku mulai memelankan tempo suaraku.
“Iya..”,
dari ujung telfon suara Marta terdengar halus dan lembut sangat berbeda dari
biasanya.
“Lo
dimana?”
...........
Kembali
hening muncul ke permukaan, suara Marta kembali menghilang. Keringatku mulai
bercucuran dari kepala, mataku mulai berkunang kunang. Saat ini aku benar benar
sangat takut, takut setakut takutnya.
“Gue
balik ya Mar, gue takut...”, ujarku dengan suara pelan.
“Mau
kemana? Ayo masuk ke rumah..”, suara Marta tiba tiba muncul kembali, suaranya
yang lembut dengan tempo pelan makin membuatku ingin pulang. Aku langsung
mematikan telfon tersebut, aku benar benar takut.
Rasa
penasaran yang cukup kuat membuatku menoleh kearah rumah, hanya untuk sekedar
memastikan apa yang telah terjadi. Namun aku terkejut dengan apa yang kulihat,
rumah yang tadinya terkunci rapat kini pintunya telah terbuka lebar walaupun
dengan keadaan yang masih gelap gulita. Tanpa diperintah aku berjalan menuju
rumah Marta, akupun tak tau kenapa aku yang tadinya ingin pulang malah berjalan
menuju dalam rumah Marta. Dengan wajah pucat dan keringat yang bercucuran, aku
berjalan dengan cukup cepat menuju kedalam rumah, detik per detik pun bergerak
sangat cepat. Aku sangat takut tapi aku tak kuasa menghentikan jejak langkahku
yang seperti sedang digerakkan oleh sesuatu. Sesuatu yang sebenarnya aku
sendiri tak tau itu apa.
Di
depan pintu rumah aku masih disambut dengan keadaan gelap nan mencekam. Hanya
bedanya kali ini persentase kengeriannya naik 100%, pintu rumah yang terbuka
membuat aku dapat melihat keadaan rumah yang sangat berantakan. Berantakan dan
sangat tak teratur, sepertinya ada dua gerobak sampah yang baru saja membuang
sampah kesini. Sangat bau dan tidak nyaman.
“Mar..
Mar...”, aku mulai memanggil nama Marta untuk memastikan apakah benar yang dia
katakan di telfon tadi. 1 menit berlalu, 2 menit berlalu masih juga belum ada
jawaban yang kuterima. Bau sampah ini benar benar membuatku jijik dan membuatku
tak dapat menahan diri lagi untuk segera meninggalkan tempat ini, tapi lagi
lagi kaki ku yang tak dapat digerakkan hanya membuatku diam tak melakukan
sesuatu.
Tiba
tiba di dalam kegelapan ini aku melihat sebuah cahaya yang nampaknya sebuah
lilin, makin lama makin mendekat. Cahaya itu makin mendekatiku membuatku benar
benar panas hingga keringat kembali bercucuran dari ubun ubun kepalau. “Cahaya
itu mendekat, cahaya itu mendekat!”, gumamku dalam hati. Perlahan namun pasti
aku melihat sebuah wajah, sebuah wajah yang sedang membawa cahaya lilin itu.
Wajah yang tak asing bagiku, wajah yang sangat aku kenal. Ya benar itu wajah
Andra. Oh Tuhan apa aku berhalusinasi lagi, oh Tuhan jangan lakukan ini padaku sekarang. Aku takut.
Wajah
Andra yang menyeringai tajam dengan tatapan kosongnya perlahan mendekat padaku.
Namun kali ini wajahnya masih lengkap, tidak hancur seperti bagaimana dia mati.
Aku yakin ini halusinasiku lagi, bagaimana mungkin Andra yang aku yakin 100%
telah mati, sekarang malah muncul di hadapanku dengan sebuah lilin kecil yang
dibawanya. Kini aku dan Andra berdiri saling berhadapan, aku ingin memeluknya,
aku merindukannya tapi rasa takut yang amat sangat membuatku menghilangkan niat
itu. Wajah Andra pucat pasih tanpa ekspresi dia hanya diam sambil melihat
wajahku yang sebenarnya sudah sangat takut.
“JREEEB!”
“Oh
Tuhan. Oh Tuhan. Ohhhh Tuhan. Ada apa ini?”. Aku merasalan sakit yang amat
sangat di dadaku, aku tak mengerti apa yang terjadi. Tiba tiba ada sebilah
pisau dapur menacap kuat di dadaku. Darahku mengucur, aku mulai merasakan
pusing. Mataku kabur tak karuan. Tapi aku masih melihat Andra memegang pisau
tersebut dan makin menancapkannya di dadaku. Aku tak mengerti kenapa ini
terjadi, “SAKIIIIIIT!”, aku ingin berteriak dengan kencang namun mulutku tak
dapat digerakkan. Oh Tuhan! Tuhan! Ada apa ini?! Ini sakit. Sakit!! Sakit!!
SAKIIIIIT! Ya Tuhan kenapa kau tega?!!!
Pandanganku
kearah Andra makin kabur dan semu. Rasa sakitnya sudah mulai hilang. Aku dapat
merasakan tubuhku mulai kehilangan kontrol atas diriku. Inikah rasanya mati
itu? Aku belum siap untuk mati..
***
“Bagaimana
sudah beres?”
“Iya,
sudah.”
“Sulit
juga manipulasi otak itu.”, ujar Andra seorang wanita berambut pendek kepada
Marta yang berdiri di sebelahnya.
S,
seorang pasien rumah sakit jiwa yang kabur akhirnya telah kembali lagi ke
habitatnya sebagai orang tidak waras. Sudah 2 bulan X kabur setelah membunuh
salah satu suster rumah sakit dan mengambil seluruh barangnya termasuk kunci
kontrakan dan sebuah handphone. Hingga
akhirnya sebuah chip yang memang telah ditanam di kepala setiap pasien
membuatnya kembali lagi ke sebuah rumah sakit jiwa yang dikelola secara
misterius oleh pemerintah ini.
Dany Cerebral Boig Hospital atau yang biasa
disebut DCB berdiri dipinggir kota, tepat setelah melewati hutan tropis yang
terkenal dengan fenomena bunuh diri masal tahun 1989.
DCB
dilabeli sangat rahasia oleh pemerintah. Karna dibalik cover nya sebagai rumah
sakit jiwa, di sana juga merupakan tempat uji coba sebuah chip buatan nazi
sejak perang dunia kedua. Sebuah benda kecil berbentuk sebesar sim card yang
gunanya hanya untuk menyiksa musuh secara psikis dengan cara memainkan cara
berpikir otak terhadap objek yang akan dilihat subjek. Praktisnya, chip ini
dapat membuat kita mengatur apa yang harus dilihat dan dilakukan oleh orang tersebut, dulu biasa disebut Puppe Project oleh para Nazi. Cara penggunaan chip tersebut, dikontrol
dari sebuah komputer dengan menggunakan aplikasi khusus. Sebenarnya project ini sudah dilarang pemakaiannya, namun secara rahasia praktek dan uji coba
chip ini masih berjalankan di DCB. Ya, dengan pasiennya sebagai kelinci
percobaan.
“Tapi
dia tak akan mati kan?”, ujar Marta dengan nada suara yang sedikit takut.
“Tidak,
dia hanya mati dalam pikirannya tapi badannya masih tetap hidup.”, Andra menjawab
dengan tenang, pelan namun pasti.
Marta
terdiam sejenak namun dia langsung berinisiatif untuk menggotong tubuh X, lebih
tepatnya pasien dengan kode X. Dia bermaksud untuk membawa X kembali kedalam
ruangan kamarnya.
“Aku
sudah sering membuatnya merasakan mati.. emm.. kalo seingatku ya.. ya mungkin
udah 6 kali dia kubuat mati.. hehee..”, tiba tiba Andra melanjutkan
perkataannya dengan penuh semangat, wajahnya yang tadinya tenang kini berubah
100% layaknya seorang anak kecil yang
baru saja mendapatkan mainan baru.
Marta
tidak membalas perkataan Andra, dia merasa kotor dan hina. Namun dia pun tak
punya kuasa untuk melawan. Andra tak terlihat tertarik membantu Marta walaupun
hanya untuk sekedar memapah X. Dia lebih tertarik untuk melihat sambil memilih
pilih foto foto semua pasien DCB yang teletak diatas meja kerjanya yang
diiringi dengan seringaian kecil dari bibirnya.
“Hei
Marta!”, kembali Andra memanggil Marta yang sebenarnya sudah tak tertarik
dengan pembicaraan ini.
“Chip
itu bisa membuat kita menjadi Tuhan, kau harus mencobanya hahaha!”, tawa
lantang yang memecah sunyinya suasana membuat suasana ruangan kotor ini menjadi
makin kotor dan menjijikan.
TAMAT
Tidak ada komentar:
Posting Komentar