Wikipedia

Hasil penelusuran

Jumat, 20 September 2013

Kemarin dan Wanita Sempurna



        Kemarin adalah kemarin sedangkan hari ini adalah sebuah kenyataan yang sedang terjadi. Siang ini matahari menyinari dunia dengan sangat semangat, teriknya begitu menyengat membuat hati dan perasaan menjadi tak menentu. Siang hari ini semuanya tampak begitu asing, burung yang berterbangan, dahan yang tertiup sepoi angin, bahkan kendaraan yang berjalan tak ada yang sama dengan kemarin. Perlahan aku mencoba membuka mata melihat apa yang terjadi hari ini namun terik matahari membuatku takut untuk melangkah menikmati indahnya hari. 

     Terik siang benar benar mengingatkanku bagaimana kejadian indah hari kemarin. Sebuah hal yang menyakitkan ketika bagaimana baru saja aku kehilangan seorang wanita yang menurutku sangat sempurna. Seorang gadis yang tak begitu cantik, bermata sipit, bertubuh kurus dengan dada rata yang tak terlihat menonjol, dan rambut panjang padat ketinggalan jaman khas tahun 90an. Tidak cantik bahkan banyak orang mengatakan tak menarik tapi dialah wanita yang sempurna bagiku, dialah wanita yang aku yakini sebagai partner tepat seumur hidup. Lain kemarin lain sekarang, dia menghilang, dia menjauh dariku, dia pergi tanpa alasan. Tak ada pertengkaran hebat sebelumnya bahkan hanya menunjukan emosi pun kami tak pernah melakukannya. Hubungan kami berjalan dengan teratur dan menyenangkan, senyum dan melihat bintang di langit selalu menyelimuti hari bahagia kami tiap malam. Memang tidak tiap malam tapi kurasa hampir tiap saat kami selalu memandangi langit untuk mencari bintang yang bersinar paling terang.
      
      Bintang berganti langit, malam dingin berganti siang yang terik. Siklus hidup selalu datang menghampiri tiap kegiatan dan perilaku manusia, tak ada hal yang selalu indah, tak semua hal yang kita inginkan pasti mulus tercapai. Semuanya terjadi tanpa di prediksi seperti siang yang tak selalu terik dan bintang yang mungkin bosan menemani malam. Dia, wanita yang sempurna itu, mungkin telah jauh meninggalkanku tanpa sepatah katapun hanya senyuman tanda perpisahan mengiri kepergiannya. Awalnya aku tak mengerti maksud senyuman itu namun sebuah senyum bukan hanya simbol kebahagiaan, itu dapat berarti banyak hal. Dalam kasus ini, berarti tak ada lagi menghitung bintang, tak ada lagi bintang terang bersinar, tak ada lagi kecupan kening mesra dan tak ada lagi senyum murni tanda kebahagiaan.
                
        “Hari ini adalah hari yang sangat buruk bagiku,” aku berkata pada seorang bartender sebuah bar, dimana bar ini adalah tempat pertama kali aku bertemu dengan wanitaku di hari ketigapuluh penghujung bulan September tahun lalu.




                
           “Wiski Cutty Sark?”, Ujar pelayan itu dengan menuangkan wiski ke gelas.
                
          “Tidak, tidak sekarang, aku sedang tidak ingin.”
                
          “Free, aku traktir khusus hari ini.”
                
       Bartender meletakan segelas wiski dihadapanku, dengan penuh senyum ceria dia mendekat kearahku seperti tertarik dengan apa yang aku alami hari ini.
                
           “Ada apa denganmu?”
                
           “Dia meninggalkanku.”
                
           “Siapa? Wanitamu?”
                
           “Ya wanitaku, wanita yang sering kuajak kemari.”
                
           “Begitukah? Bagaimana bisa?”
                
      “Aku juga tak mengerti, dia pergi meninggalkanku tadi saat siang terik melanda. Aku tak tau alasannya, sesaat aku tak yakin bahwa itu dirinya namun kenyataannya itu adalah dia. Aku seperti tak mengenalnya tapi benar, dia wanitaku!”
                
         Padahal kemarin malam aku masih bertemu dengannya, melihat sinar bintang bersamanya dan masih saling beradu kecupan di malam yang terang. Dia juga masih tersenyum kepadaku walaupun dengan wajah datar karna rasa letih, tiap detik aku melihat wajahnya tiap detik pula lah aku yakin bahwa dialah wanita sempurna untukku. Aku telah menyimpan namanya di dalam lubuk hatiku, aku telah meyakinkan diriku akan perjalan cinta yang selama ini aku cari. Aku mengecup keningnya sebelum dia pergi kembali pulang kerumah.
                
        Pagi ini, ketika membuka mata segera rasa rindu menyelimuti pikiranku padahal baru saja kemarin malam aku bertemu dengannya. Cinta memang gila, cinta membutakan pikiran rasionalku seperti jam antik yang dijual mahal di pelelangan, tak masuk akal tapi sangat berharga. Tak pernah aku merasa serindu ini dengan seseorang bahkan dengan keluargaku sendiri. Aku menghubunginya namun tak ada jawaban, beberapa kali aku mencoba untuk menelfonnya tapi sepertinya sia sia bahkan saat panggilan kelima tiba tiba saja handphonenya tidak aktif.
                
        Akhirnya aku memutuskan untuk menemuinya dan sekedar memberikannya surprise kecil beruba cincin murah yang kubeli di pusat pertokoan tengah kota. Wanitaku bekerja sebagai seorang kasir di sebuah toko buku kecil di pusat pertokoan itu, dia adalah seorang pegawai teladan jadi pada jam jam kantor seperti ini dia biasanya berdiri manis melayani pengunjung yang membeli buku. Namun tak seperti biasanya, siang ini toko buku sangat ramai dengan pengunjung yang hampir memenuhi seluruh isi toko. Aku tak perduli dengan keadaan toko, aku hanya fokus mencari keberadaan wanitaku, pikiranku pun hanya fokus menyusun kalimat apa yang harus aku ucapkan ketika bertemu dengannya. Hampir lima belas menit aku mencari keberadaannya namun sama sekali aku tak melihat dirinya, sampai akhirnya aku melihatnya berjalan santai dengan membawa sekeranjang buku yang sepertinya akan dipajang di rak.
                
          “Hai, tidak jaga kasir?”
                
          “Tidak, ada perlu apa?” Tanya wanitaku tanpa sedikitpun menoleh.
                
        “Hanya ingin menemuimu dan memberikanmu ini.” Dengan perlahan aku menyodorkan sebuah kado kecil berisi cincin kepadanya.
                
           “Apa maksudmu?” Akhirnya dia menoleh kearahku.
                
          Aku bingung melihat tindakannya, mungkin dia sedang bercanda kepadaku tapi yang kurasakan hanya sebuah ekspresi defensif yang sangat serius. Dia menatapku seperti menatap orang asing yang sedang mengancam keselamatan jiwanya.
                
           “Aku kekasihmu.”
                
           “Kau? Aku bahkan tak mengenalmu!”
                
          “Jangan bercanda, ini tidak lucu!” Ujarku dengan sedikit emosi, inilah kali pertama aku tak dapat menahan emosiku terhadapnya.
                
         “Kau yang jangan bercanda. Jika memang tak ada yang bisa kubantu, lebih baik kau menyingkir, Tuan.”
                
     Seperti lonceng gereja yang jatuh, aku merasakan pikiran rasionalku mulai pergi meninggalkanku, menghilang kedalam sebuah vacum cleaner raksasa. Disaat aku mencoba tetap bertahan di hari yang terik ini, hal aneh lain kemudian kembali menghantamku. Seorang pria muda, tampan dengan dandanan rapi nan gagah datang menghampiri kami, dia menyadari keributan kecil yang kami timbulkan.
                
          “Ada apa ini?” Ujar pria itu.
                
       “Tidak ada apa apa..” Jawab wanitaku yang dibalas rangkulan mesra pria asing itu, kemudian ciuman mesra diarahkan pria itu ke bibir wanitaku yang dibalas dengan sangat mesra olehnya. Aku bingung. Aku tak percaya. Serasa ditembak tepat dikepala berkali kali.
                 
           “Aku tak apa apa sayang, dia hanya pria asing yang sedikit gila.”
                
          Setelah ditembak tepat dikepala, aku langsung double combo seperti terkena serangan jantung mendadak mendengar ucapannya barusan. Tak percaya, dan aku merasa tak lagi seperti manusia seutuhnya. Bayang bayang muncul menghantui isi kepalaku, tiba tiba saja aku merindukan kemarin saat kami berdua masih tersenyum melihat bintang. Duniaku berputar terbalik, aku seperti berada di planet lain dimana aku sendiri tidak mengenal diriku sendiri. Otakku hanya flashback kejadian kemarin, kemarin dan kemarin.
                                                                                                
                                                                                    ****

       “Sangat menyedihkan..” Ujar bartender seraya kembali menuangkan segelas Wiski Cutty Sark kepadaku.
                
          Suasana bar menjadi sangat tenang entah karna memang sedang sepi, karna suasana hatiku yang gundah atau mungkin karna aku yang sudah sedikit mabuk, aku sudah tak peduli sekitarku. Dalam benak dan pikiranku hanya satu hal yang kuinginkan, aku hanya ingin hari kemarin mengulang kembali, hari dimana terakhir kalinya aku menatap wajah syahdu wanitaku, hari dimana aku masih menatap bintang bersinar bersamanya.
                
          “Jelas kemarin jauh lebih baik dari hari ini, jika bisa aku ingin bersembunyi untuk hari ini. Aku tidak percaya dengan hari ini, aku ingin kembali kehari kemarin.”
                
          “Apa yang akan kau lakukan jika diberi kesempatan itu?”
                
     Suasana mendadak menjadi melow ketika secara random bar memutarkan lagu Yesterday dari The Beatles. Lantunan nada petikan gitar John Lennon segera menggema seluruh isi ruangan, kemudian dilanjutkan dengan syahdu suara Paul McCartney yang serasa mengiris jantungku menjadi keping - keping kecil.
                
               Why she had to go
I don't know, she wouldn't say
I said something wrong
Now I long for yesterday

Yesterday love was such an easy game to play
Now I need a place to hide away
Oh, I believe in yesterday

......
                
           “Kau sudah tau akhirnya berakhir seperti ini, percuma saja kan?”
                
           “Aku tetap yakin dia adalah wanita yang sempurna untukku.”
                 
        Setelah mengatakan itu, aku merasa semua hal seperti berbalik kepadaku. Semua seolah berjalan maju mundur melawan kehendak, kepalaku pusing tak menentu tapi kurasa ini karna aku telah mabuk parah. Sekitarku bergerak begitu cepat, semua seolah kompak berjalan mundur melebihi kecepatan cahaya. Dalam hitungan detik aku seperti merasa berputar dan terhisap kedalam kloset yang sangat besar, sekuat tenaga aku mencoba melawan tapi sekuat itulah aku merasa tak dapat melakukan apapun. Aku teringat dengan senyum licik bartender yang terus menawariku minuman, senyuman sombong penuh tipu muslihat.
                
       Dalam hitungan ketiga tiba tiba saja aku tersadar, aku melihat sekeliling semuanya tampak sama tapi tak 100% persis dengan sebelumnya. Bartender pria yang tadi melayaniku berganti dengan wanita yang terus menunjukan gestur genit menggoda, bajuku pun tiba tiba saja tak sama dengan apa yang aku kenakan tadi. Aku melihat kalender digital di jam tanganku, angka angka digital di jam tanganku memberitahukan bahwa sekrang tanggal 30 bulan 9, tepat setahun yang lalu. Sontak segera aku melihat kearah pintu kaca bar yang masih tertutup rapat kemudian dari kejauhan aku melihat sesosok wanita kurus dengan muka pucat tampaknya setengah mabuk datang mendekati bar. Rambut padat mengembang khas 90an miliknya terlebih dahulu masuk seakan mencuri finish kedalam bar namun tak seorang pun memperhatikan kehadirannya.

Secara fisik memang dia bukan wanita menarik bagi sebagian orang, tapi tak tau mengapa aku tetap bergetar ketika melihatnya melangkah, sejenak aku kembali yakin dia adalah wanitaku. Jika benar ini bukan halusinasi karna mabuk, artinya aku diberikan kesempatan kedua untuk kembali jatuh cinta kepadanya, untuk merubah akhir yang telah terjadi hari kemarin. Apakah aku harus tetap mendekatinya atau aku harus mengantisipasi akan kehadirannya, keyakinanku mulai goyah seiring dilema yang datang menyerbu seperti denting alarm bergema di pagi buta.

                                                                                                
                                                                                      ******


Inspirasi: Yesterday by The Beatles (Album Help! 1965)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar