Wikipedia

Hasil penelusuran

Rabu, 21 Agustus 2013

Negri Tanpa Tuhan



           Jendela. Dari jendela itu cahaya matahari menyerap masuk melalui celah gorden, cahayanya berwarna kuning terang laksana baju emas seorang raja yang menyimbolkan sikap tegas dan penuh kebijaksanaan. Namun gerakan cahaya yang masuk melalui celah gorden sangat perlahan bagai orang kerdil bodoh yang tabah menunggu putri salju malang bangun dari tidur panjangnya. Pelan tapi pasti cahaya matahari itu masuk menyinari ruangan gelap nan sempit dari balik jendela, seolah disambut dengan sukarela, guna menyinari ruang suram yang nampak penuh dosa. Di hadapan sang jendela terlihat seorang pria kurus dengan rambut acak tak karuan terbangun tatkala kilau terang matahari menerobos masuk. Dia sangat tak senang dengan silau cahaya itu, karna menyebabkan kepalanya sakit sebelum akhirnya membuat matanya perih. Cahaya matahari adalah hal yang paling dibenci oleh pria lemah bernama Thukul ini. Dia selalu berdoa dalam hati, “Semoga Tuhan tidak menciptakan matahari, paling tidak jika memang harus ada matahari ada baiknya jika kadar cahayanya dikurangi. Karna akan lebih baik jika bulan terus bersenggama dengan bintang diatas langit kelam yang luas.” Kata kata itu selalu diucapkan dengan lafal yang tepat oleh Thukul, setiap bangun pagi kata kata itu sudah seperti anchor yang muncul dari dalam benaknya secara otomatis setelah kata “brengsek”.
                
         Thukul beranjak dari tempat tidurnya lalu berjalan terhuyung kearah meja yang berada tepat di depan jendela. Dia duduk termenung dengan tangan kanan menopang dagunya agar tetap seimbang, dia memikirkan melihat cahaya matahari yang masuk melalui celah gorden. Dia berpikir dengan sangat dalam, melihat sekitar dan merenung sesuatu yang tampaknya tak harus dia pikirkan. Dia tersenyum lirih, pagi ini tak seperti biasanya Thukul menertawakan doa pagi yang telah menjadi rutinitasnya setiap hari. Dia menertawakan doa pagi yang pasti hanya terbang bebas seperti dedaunan yang terhempas ganasnya angin. Tuhan itu tidak nyata, dia yang katanya adalah maha kuasa hanya hidup dalam angan angan semu dan buku sejarah dunia kuno. Sekarang tahun 2345, bukan tahun yang bagus namun merupakan angka cantik yang sedap dipandang mata. Dunia ini berbeda dengan dunia pada umunya, dunia ini bagai cermin yang terhubung nyata dengan objek aslinya. Ini bukan imajinatif kontemporer karya picaso ataupun lirik lagu picisan favorit Morrissey, dunia ini adalah dunia paralel yang sangat nyata. Hanya ada satu perbedaan jelas yang tergurat dari fakta nyata dunia ini dan dunia yang ada dalam buku sejarah, Tuhan, dunia yang ada saat ini tak mengenal Tuhan atau apapun nama suci yang mengangungkan nama-Nya.
                
      “Tuhan telah mati karna wabah influenza akut.” Begitulah orang orang di negri ini menyebutnya.

Tuhan terjatuh dari kolong langit, awan terbelah dua, dunia bergetar hebat dan sebentuk cahaya putih terang keluar jatuh dari angkasa. Dunia membunyikan bergemuruh gagah menunjukan kekuasaan lalu samar terdengar suara terompet dari kejauhan, suara terompet yang melegenda dari kitab suci. Tapi suara hanya sekedar suara, tak terjadi apa apa setelah suara terompet terdengar, mungkin benar Tuhan telah mati. 

Cahaya putih terang membuat dunia menjadi gelap, siang dan malam menjadi sama tanpa perbedaan mendasar. Cahaya matahari berganti menjadi sinar bulan yang berwarna biru. Dunia ini sudah tidak sama lagi dengan dunia yang dulu, ini adalah dunia baru. Ini adalah dunia yang dimana masih mampu berdiri karna kemauan dan keinginan kuat penduduknya untuk mencari simbol baru. Simbol yang menandakan kekuatan, kesucian untuk pedoman baik buruk, kekuatan kekal yang melindungi dari marabahaya serta kambing hitam atas segala masalah dampak nafsu manusia. Dunia saat ini tak lebih dari sekumpulan negeri yang mencari arah tujuan, Tuhan sudah mati dan warisannya adalah negeri tanpa Tuhan. Itulah yang diyakini oleh Thukul secara pribadi.

Dia percaya bahwa dia hanyalah korban dunia paralel tidak seimbang dan saat ini berada di sebuah negri labil yang sedang mencari arah tujuan hidup. Menurut buku sejarah kuno yang pernah dia baca, sudah hampir 200 tahun dunia ini terjebak dengan kepalsuan hidup yang bersifat nyata. Kerusakan setiap tempat, perang yang berkecamuk, kelaparan merajalela, perkosaan marak dan agama baru muncul kepermukaan tanpa filter. Konsep surga dan neraka sudah tak ada lagi sehingga tak ada alasan bagi setiap orang untuk memikirkan kehidupan surgawi. 

Thukul sendiri hanyalah seorang wartawan koran lokal yang terbit sesuai dengan keadaan yang terjadi, jika ada uang koran itu terbit dan jika tak ada uang bisa mandek hingga sebulan penuh. Dia adalah seorang pribadi yang mempunyai rasa keingintahuan sangat tinggi, maka tak heran jika Thukul juga merangkap sebagai pencari sejarah. Rasa keingintahuannya tentang sejarah dunia, sejarah Tuhan bahkan sejarah kuat asal muasal manusia sangatlah besar. Walaupun fisik wajahnya tak karuan dan jauh dari kesan sedap dipandang mata namun dapat dikatakan dia memiliki intelejensi yang sangat tinggi.

Fakta yang sedang terjadi sekarang, negeri ini sedang dalam kondisi yang sangat tidak aman. Sedang terjadi perang besar antara sekte Jemaat Suci yang men-Tuhankan Beelzebub dengan sekte Son of Sun yang men-Tuhankan Mammon. Seluruh kota porak poranda karna tak ada yang mau kalah dari perang adu ideologi ini, penduduk yang tak mengerti menjadi korban keserakahan kedua sekte agama tersebut. Kedua sekte agama tersebut saling berebut untuk menambah jumlah anggota dan menyebarkan ajaran agama yang mereka anggap benar. Jemaat Suci menjanjikan kehidupan yang manis semanis gula dan mengizinkan seks tanpa adanya tameng pernikahan. Pernikahan dianggap kotor dan dapat merusak kesucian badaniah yang ada semenjak manusia lahir di dunia. Ajaran ini menuhankan beelzebub sebagai simbol rakus yang tak pernah membatasi akal dan kehendak manusia.  Sedangkan Son of Sun, belum bisa dikatakan agama tapi masih merupakan ideologi yang sedang berkembang pesat. Ideologi yang kuat dengan pemimpinnya yang sangat otoriter. Ideologi ini berpegang teguh pada kekuatan tekat untuk mendapatkan apa yang dikehendaki, dengan simbol Mammon yang gambaran kuat tanpa ampun.

“Untuk apa aku mempelajari Tuhan?”, batin Thukul bertanya tanya.

“Tuhan adalah simbol bagi manusia.”

Jawab suara yang muncul dari pojok ruangan. Itu adalah suara Elf, seorang pria muda berbadan tegap dan berwajah rupawan. Rupa wajah yang sejenak mengingatkan Thukul dengan sosok Marlon Brando yang penuh karismatik. Sudah tiga hari Elf menumpang di rumah Thukul, dia sangat berterima kasih kepada Thukul karna telah menyelamatkannya saat terjebak dalam baku tembak antara sekte Jemaat Suci dan Son of Son. Elf terkena satu tembakan yang mengenai paha sebelah kanan dan beruntung saat itu dia terjatuh tepat dihadapan Thukul yang sedang bersembunyi dibalik mobil rongsok yang digunakan sebagai tempat berlindung.

Sejenak Thukul terdiam dengan perkataan Elf barusan, apakah dia menjawab pertanyaan Thukul. “Ah rasanya tidak mungkin, aku sedang berbicara di dalam kepalaku. Ini hanya perasaanku saja karna pengaruh cahaya matahari sialan ini.”, Pikir Thukul dalam hati.

“Terima kasih telah menolongku.”, ujar Elf dengan intonasi datar yang jelas.

“Bukan masalah, kau bisa meninggalkan tempat ini kapan saja”, jawab Thukul dengan masih memandangi cahaya matahari dari celah jendela.

“Aku kemari karna suatu alasan. Tapi sebelumnya sebagai rasa terimakasih, apa ada yang kau inginkan?”

Perhatian Thukul seketika langsung beralih kearah Elf yang sekarang telah berdiri tegap disebelah kanannya. Kapan tepatnya Elf sudah sedekat itu dia juga tak mengerti. Mungkin dia melangkah selembut kapas atau mungkin juga karna Thukul terlalu sibuk dengan pemikirannya yang sanagt rumit.

“Aku tak mau apapun..”

Jawab Thukul seraya menyaksikan air muka Elf yang tanpa ekspresi berarti. Elf hanya diam dan menatap mata Thukul tajam tapi tak terlalu dalam, hanya tatapan kosong yang sedang menunggu kata kata yang akan keluar dari mulut Thukul. Hal ini membuat Thukul memalingkan wajahnya, ada sedikit rasa takut terpancar dari auranya. Lalu seperti tanpa diperintah, Thukul menyakan sebuah pertanyaan yang sebenarnya hanya sekedar basa basi kepada Elf.

“Menurutmu kapan perang akan selesai?”

            “Menurutmu apa ada yang tau kalau Elvis Presley akan menjadi "Raja Rock 'n' Roll"?”

Bukan jawaban yang keluar dari mulut Elf, dia malah menanyakan sebuah pertanyaan yang cukup ambigu kepada Thukul.

“Saat musim panas tahun 1953, Elvis membayar $4 untuk merekam dua buah lagu di perusahaan rekaman Sun Studios sebagai hadiah ulang tahun bagi ibunya. Lalu pendiri Sun tertarik pada suaranya dan memanggilnya pada Juni 1954 untuk mengisi posisi penyanyi ballad yang sedang kosong. Itu sejarah singkat Elvis.”

Belum sempat Thukul menjawab pertanyaan, Elf sudah kembali memotong perkataan Thukul dengan informasi yang sebenarnya tidak terlalu penting.

“Apa hubungannya Elvis dengan perang ini? Apa Elvis mendirikan suatu agama?”


Tawa mengejek keluar sebagai bumbu dari pertanyaan Thukul, dia sama sekali tak mngerti apa hubungan Elvis dengan perang pada masa sekarang. Hampir seribu tahun lalu Elvis meninggal dan Thukul merasa sudah terlalu kuno jika masih membahas Elvis yang sekarang hanya eksis dalam buku sejarah.

“Tidak, dia tak mendirikan agama bahkan bisa dibilang dia sepertimu, siapa yang menangis diatas chapel suci? Hanya Elvis. Elvis hanya salah satu orang yang memenangi perang.”

“Perang? Apa maksudmu?”

“Meskipun awal karirnya terkesan dinaungi keberuntungan tapi dia secara tak langsung berperang dengan seluruh orang yang datang audisi pada label rekaman tersebut. Dan dia berhasil memenangi peperangan tersebut.”

“Lantas?”

Elf terdiam sejenak seperti memikirkan lanjutan kata yang akan keluar dari mulutnya, Elf sangat pandai bicara walaupun dengan ekspresi wajah yang terkesan datar. Dia memancarkan aura tertentu saat sedang serius.

“Dia menjadi raja. Raja Rock n Roll. Itu adalah hadiah yang dia dapatkan karna memenangi peperangan dan juga namanya dicatat dalam sejarah.”

Thukul terdiam, otaknya mengolah kisah Elvis ini dengan kenyataan perang yang sedang terjadi saat ini. Seperti kucing yang baru lahir, otaknya sedikit demi sedikit menemukan maksud dari sejarah Elvis tersebut. Kucing yang baru lahir tengah mencoba untuk berdiri.

“Jadi, perang antara kedua sekte ini ibarat persaingan demi merebutkan sebuah tahta, siapa saja berpeluang menang. Tapi hanya yang memiliki keberuntungan seperti Elvis yang mampu memenangi medan perang.” Ujar Thukul dengan cukup tenang.

“Bisa dibilang seperti itu, tapi yang lebih penting apa yang akan terjadi setelah mereka menjadi raja? Kau berpikir kedua sekte ini membawa pengaruh negatif kan?”

“Ya benar sekali, saat ini aku merasa bahwa tak beragama adalah pilihan yang tepat.”

Pembicaraan yang tadinya hanya bermaksud basa basi belaka tiba tiba berubah menjadi pembicaraan serius tanpa sumber yang jelas. Pria misterius yang ditolong Thukul tiba tiba saja berubah menjadi pria dengan karakter kuat yang memancarkan aura yang ditunjukan seorang pemimpin besar. Seperti ada sesuatu yang spesial dari dalam diri pria ini.

“Elvis hanyalah jendela sama seperti kedua sekte agama yang sedang berperang itu.”

Thukul kembali terdiam mendengar ucapan Elf yang baru saja keluar dari bibirnya. Ungkapan jendela tersebut sama seperti ungkapan yang muncul dari dalam pikiran Thukul. Dia tak pernah membicarakan itu secara terbuka, hanya dia dan Tuhan saja yang tau isi pikirannya, itupun jika Tuhan belum mati. Atau mungkin itu hanya ungkapan yang kebetulan sama, mengingat saat ini mereka berdua sedang berbicara didepan jendela bergorden yang memancarkan cahaya matahari menerobos masuk kedalam ruangan.

“Maksudmu jendela?”

“Oh iya, maaf jika aku meminjam istilahmu dengan lancang...”

Mendengar ucapan Elf membuat Thukul takjub dan sedikit kebingungan, "Tak mungkin dia membaca pikiranku", racau Thukul dalam hati. Elf tersenyum lebar menunjukan tanda kepuasan yang amat sangat. Air muka yang tadinya datar seketika hilang bak tersapu ombak, kini air muka itu berganti dengan ekspresi bersahabat yang sedikit angkuh.

“Elvis adalah adalah jendela dan gorden adalah label rekaman. Sedangkan akal, kemampuan berpikir dan kreatifitas menjadi mataharinya. Cahaya matahari masuk dari celah jendela sebelum di filter oleh label rekaman.” 

“Kau membaca pikira...?” Belum selesai Thukul menyelesaikan pembicaraannya, ucapannya kembali dipotong tanpa bisa dia bantah seperkatapun.

“Perang sekte agama ini hanyalah jendela yang terkena efek cahaya matahari, kekuatan sebenarnya jauh lebih besar. Tapi aku pun tidak tau “matahari” apa yang menjadi sumbernya. Tapi yang pasti kekuatannya sangat besar dan bergerak cepat untuk mengatur keadaan yang terjadi sekarang.”

“Kau membaca pikiranku?” Ulang Thukul sekali lagi, masih dengan nada bicara sedikit terkejut.

“Itu tidak penting.”

“Ingin minum Coca Cola.. Sekarang...”

“Apa maksudmu?” Elf menajadi bingung mendengar perkataan aneh yang keluar dari mulut Thukul saat ini.

“Tadi kau tanya apa yang aku inginkan? Aku ingin Coca Cola. Sekarang.”

Mata Thukul berbinar melihat air muka Elf yang tadinya memancarkan keangkuhan kembali menjadi datar, dia penasaran apa yang akan terjadi setidaknya semenit kemudian. Apakah benar Coca Cola akan benar benar muncul di hadapannya,  kenyataannya dunia saat ini Coca Cola sudah punah, hampir seratus tahun yang lalu. Bentuknya saja dia tak tau, dia hanya mengetahui coca cola dari buku yang berjudul “Brand Yang Mendunia” yang ditemukannya dibawah serpihan puing sisa peperangan. 

Elf terlihat sedang berkonsentrasi penuh, entah sedang berkonsentrasi untuk apa. Thukul sebenarnya pun tak mau terlihat bodoh, tapi entah apa atau kenapa dia seperti tak ada nyali untuk sekedar memotong omongan Elf. Pikirannya meyakini bahwa pria misterius yang ditolongnya ini bukan manusia biasa, dia adalah manusia spesial. Tiga puluh detik berlalu tiba tiba Thukul seperti merasakan ada sesuatu yang tidak beres dari dalam perutnya. Ginjal dan ususnya seperti menyempit, kemudian darahnya seolah bergerak dengan cepat keseluruh penjuru arah bagian tubuhnya. Perutnya sangat tidak enak tapi itu hanya berlangsung selama beberapa detik sebelum akhirnya dia merasakan sebuah sensasi aneh di dalam mulutnya. Tiba tiba saja mulutnya dipenuhi dengan air besensasi dingin yang menggigit dinding mulut dan lidahnya. Air tersebut datang terus menerus memenuhi ruang kosong mulut Thukul sebelum akhirnya terjun laksana niagara jatuh kedalam tenggorokan yang paling dalam. Dingin, menggigit dan bergas itulah yang dirasakan Thukul. Rasanya sangat manis dan sangat menyegarkan, sensasi hanya berlangsung sekitar sepuluh detik saja. Memang sangat singkat, tapi bagi Thukul sensasi langka seperti ini dapat di sejajarkan dengan sensasi saat mengalami ejakulasi setelah penetrasi yang sangat dahsyat. “Apakah ini Coca Cola itu?” Batin Thukul bertanya tanya mencari jawaban.

“Benar. Dan kau benar bahwa aku bisa dikatakan aku spesial.” Elf menjawab pentanyaan dalam jiwa Thukul yang masih bertanya tanya tentang dirinya.

“Aku mengajukan tawaran untukmu, aku harap kau menerimanya secara sukarela. Ini menyangkut masa depan negri ini.” Lanjut Elf kembali dengan wajah ceria penuh rasa percaya diri yang sangat tinggi.

“Aku mendengarkan, lanjutkan perkataanmu..” jawab Thukul menanggapi perkataan yang dilontarkan oleh Elf.

“Aku adalah “matahari” dan kau telah kupilih sebagi “jendela”. Kita sekarang adalah tim seperti Sherlock dan Watson.”

Kembali otak Thukul yang pintar dipaksa untuk berputar guna mengartikan maksud dari perkataan Elf. Pikirannya menyusun hipotesa hipotesa yang memungkinkan untuk ditelaah. Kesimpulan yang bersifat nyata yang bisa diterima dengan akal sehat, walaupun sebenarnya sensasi Coca Cola yang baru saja terjadi berada di luar nalar pikiran. Dan itu adalah bentuk dari sebuah keajaiban.

“Maksudmu kita ikut berperang dengan kedua sekte agama itu? Hanya kita berdua?” 

Thukul memastikan kembali maksud dan tujuan Elf berkata seperti tadi. Walaupun Elf spesial tapi tidak mungkin berperang melawan sekte agama yang mempunyai pasokan senjata lengkap dan anggota yang banyak.

“Ya kita berdua, tapi kita di sini berperan sebagi Elvis.”

“Tunggu dulu. Tunggu dulu. Jika yang menang adalah salah satu dari mereka? Bagaimana nasib kita?” Tanya Thukul.

“Elvis mati diusia 42 tahun, dia hanya menjadi raja selama 34 tahun. Siapapun yang menang, nantinya juga bakal mati dan digantikan yang baru. Ini hanyalah siklus.”

“Dengan kata lain kau juga menyebarkan agama baru?”

“Bukan baru.”

“Lalu, kau ini orang yang semacam apa?” Tanya Thukul kembali dengan rasa penasaran yang telah memuncak hingga ke ubun ubun kepala.

“Semacam jawaban atas doa pagimu.”

Thukul membisu tak tau harus memilih kata apa lagi untuk melanjutkan pembicaraan ini. Lirik picisan lagu lagu Morrissey hilang dari dalam otaknya, tak ada lagi kata positif yang di produksi masal oleh jaringan otaknya. Sebuah tanda tanya yang sangat besar memuncak dari benaknya, sebuah rasa ingin tau yang lebih dan ingin lebih banyak lagi. Dia hanya ingin mengetahui informasi apa lagi yang akan keluar dari mulut pria muda nan misterius ini.

“Aku memiliki sebuah buku.”

“Kitab agama baru milikmu?”

“Bukan, ini agama kuno, berasal dari negeri bagian timur. Agama ini awalnya kuat lalu perlahan punah karna tergerus era modern dan komersialisasi. Pola pikiran manusia yang selalu mencari kepuasan tanpa batas membuat dunia ini tenggelam pada masa seperti ini.”

“Kalau aku pakai analogi Elvis tadi, dulu agama adalah raja bagi setiap orang. Lalu kemudian tergerus oleh kemajuan zaman dan akan digantikan oleh agama yang baru. Dan sekarang adalah masa transisi menuju pergantian agama baru ini?”

“Benar, dan sekali lagi kau sekarang adalah jendelaku.”

“Seperti Muhammad dan Abu Bakar?” Tanya Thukul kembali, namun kali ini dengan persamaan yang cukup tepat pada pokok pembahasan.

Elf hanya diam tak ada satu patah katapun keluar dari dalam mulutnya. Dia menatap nanar kosong kearah jendela singkat namun penuh arti. Kemudian dia mengambil suatu barang yang dia simpan dibalik jaket kulitnya yang sudah sangat lusuh. Dia mengeluarkan buku kecil yang dibungkus dengan kain putih seakan untuk melindunginya agar tetap bersih. Dia memperhatikan buku itu sekilas namun penuh seksama lalu memberikannya kepada Thukul, dia seolah memberi kode agar Thukul membaca buku itu.

“Bacalah, agar kau paham kekuatan besar yang tak terlihat itu.”

Thukul makin penasaran mendengar perkataan Elf, dia meraih buku itu dengan rasa ingin tau yang sangat besar. Dan dengan cepat dia membuka halaman pertama.

“Kita harus bergerak cepat, aku telah menyusun rencara.”

Seringai licik kembali terpancar dari air muka Elf. Seringai khas yang mendukung kata kata yang bermaksa serius yang baru keluar dari mulutnya. Keadaan sudah sangat penting dan dia merasa harus secepatnya ikut terjun ke medan peperangan dan sementara di sisi lain Thukul dengan antusias terus membuka halaman selanjutnya dari buku itu.

“Sebuah kekuatan besar telah bergerak cukup lama untuk mengatur hidup manusia yang hanya sekali. Kekuatan itu sangat kuat sehingga sering bertentangan dengan akal pikiran kompleks dalam otak tiap manusia. Kekuatan tak kasat mata, namun bisa dirasakan dengan rasa dan perputaran dunia. Kekuatan abadi yang menjadi penuntut arah tujuan semua manusia untuk menjalani hidup. Sebuah Simbol yang bisa diibaratkan dengan benar bagi manusia yang berpikir dengan hati.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar